- Ilustrasi pendidikan indonesia (Sumber: iStock) |
Namun akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang mengalami krisis, di mana marak terjadi kasus kekerasan di ruang intelektual. Melansir dari data Kompas.id, setidaknya terjadi 136 kasus kekerasan di ruang pendidikan sepanjang tahun 2023. Mulai dari kasus perundungan atau bullying, kriminalitas hingga kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan data dari Solopos.com (5/1/2024), seorang siswi SMA Negeri di Salagita menjadi korban bullying oleh teman sekolahnya. Akibatnya korban mengalami trauma, sulit berkomunikasi hingga nyaris mengakhiri hidupnya.
Melansir dari Akurat.co (21/2/24), gengster sekolah di Binus School Serpong melakukan aksi perundungan kepada kepada adik kelasnya yang merupakan calon anggota geng tersebut. Korban disuruh membelikan makan dan menerima kekersan fisik hingga harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami memar dan luka bakar.
Baru- baru ini juga terjadi hal serupa, melansir dari bantenakurat.com (26/2/24), seorang santri di Kediri menjadi korban bullying oleh senior pondoknya hingga meninggal dunia. Menurut keterangan kasus tersebut dilatar belakangi adanya kesalahpaham antara korban dan pelaku. Santri menjadi pelaku bullying tersebut merupakan anak yang masih di bawah umur.
Baca Juga: Nadiem Makarim dan Nasib Pendidikan Indonesia
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh kaum terdidik ini sudah menjadi fenomena baik di dunia nyata maupun dunia maya. Pasalnya di era digital seperti sekarang, fasilitas gawai ataupun akses terhadap internet serta media sosial menjadi semakin mudah. Sayangnya kemudahan teknologi tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk hal yang positif oleh para pelajar.
Misalnya dari kasus kekerasan yang terjadi, pelaku dengan sengaja merekam aksi kekerasan lalu video tersebar media sosial tanpa sensor hingga menjadi konsumsi publik. Tidak menutup kemungkinan video-video dikonsumsi anak-anak di bawah umur dan dikhawatirkan ditiru.
Maraknya fenomena kekerasan di lingkup pendidikan baik di dunia nyata maupun di ruang maya perlu menjadi perhatian khusus. Pasalnya aksi yang terjadi bukan hanya tindakan perundungan atau bullying menimbulkan resiko psikolgis seperti trauma pada siswa. Namun juga telah mengarah pada tindakan kriminal yang menyebabkan kecacatan fisik hingga resiko kematian.
Sinergitas Implementasi Regulasi Kekerasan
Runtutan kasus kekerasan pelajar yang terus terjadi menjadi alarm bagi dunia pendidikan Indonesia. Presiden Joko Widodo dalam Kongres XIII PGRI Tahun 2024 di Jakarta, Sabtu (02/03/24) menyampaikan keprihatiannya terhadap dunia pendidikan Indonesia yang kian marak dengan kasus bullying maupun kekerasan. Untuk itu, Jokowi mengutamakan pencegahan dan menegaskan agar sekolah tidak menutupi kasus perundungan dengan alasan nama baik sekolah.
Sebagai salah satu upaya menekan kasus kekerasan, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) pada Agustus 2023. Payung hukum yang dibuat secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi serta membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.
Baca Juga: Krisis Pendidikan Karakter di Masa Pandemi
Permendikbudristek PPKSP juga mengatur mekanisme pencegahan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek serta membuat Satuan Tugas (Satgas), untuk menangani kasus kekerasan.
Meskipun telah dibentuk payung hukum, namun kasus kekerasan di lingkungan pendidikan terus menerus terjadi. Dalam implementasi regulasi yang dibuat masih lemah, dan membutuhkan sinergitas dari seluruh instrumen pendidikan.
Pencegahan kasus kekerasan tidak cukup diupayakan melalui proses-proses formalitas seperti sosialisasi atau seminar anti kekerasan kepada siswa saja. Namun seluruh instrumen pendidikan mulai dari tenaga pendidik, siswa hingga orang tua perlu pengetahuan dan pemahaman yang komperhensif mengenai kekerasan. Pasalnya seluruh warga sekolah memiliki peran dan tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah yang ramah dan aman.
Selain itu, orang tua sebagai guru dan tempat belajar terdekat dengan anak berperan juga dalam memberikan pemahaman dan membentuk karakter anak. Untuk memberikan pola asuh dan menciptakan budaya yang postif di lingkungan keluarga, orang tua perlu memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang kekerasan.
Baca Juga: Pendidikan Kita dan Belajar dari Ki Hajar Dewantara
Sebagaimana konsep Tri Pusat pendidikan milik Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan anak-anak belajar tidak hanya di sekolah tetapi juga dalam keluarga dan masyarakat. Sehingga dalam upaya pencegahan tindak kekerasan, seluruh pusat pendidikan perlu memiliki kesadaran dan pengtahun soal kekerasan.
Penguatan Pendidikan Karakter
Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengsung konsep pendidikan tentang Ngerti (cognitive), Ngroso (affective) dan Nglakoni (psychomotoric). Di mana siswa tidak hanya dididik intelektualnya saja melainkan diimbangi dengam pemahaman perasaan sehingga mampu mengimplementasikan pengetahuannya dengan baik dalam lingkungan terdekat.
Untuk mencegah kekerasan dan bullying di kalangan pelajar tidak cukup berhenti pada aspek teoritis saja. Melainkan dibutuhkan penguatan pendidikan karakter untuk membangun disiplin yang positif di sekolah. Sehingga siswa tumbuh bukan hanya secara intelektualnya saja, tetapi memiliki budi pekerti yang luhur.
Sebagaimana yang dicanangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024. Di mana salah satu tujuannya membentuk karakter siswa yang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.
Sanksi Tegas
Sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu terbuka terhadap kasus tindak kekerasan yang terjadi. Kasus kekerasan yang dianggap sebagai aib yang dapat merusak reputasi atau nama baik sekolah, sehingga seringkali ditutup-tutupi. Padalah keterbukaan ini menjadi pintu utama untuk menjalankan mekanisme penanganan pelaku maupun korban tindak kekerasan.
Sanksi bagi tindak kasus kekerasan juga seringkali melemah, dengan dalih pelaku masih pelajar dan di bawah umur. Namun untuk menekan kasus tindak kekerasan, tetap diperlukan sanksi yang edukaif dan tegas untuk memberikan efek jera.
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR