Sejak kasus Covid-19 pertama muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, sejumlah tindakan dilakukan untuk meredam laju penyebaran virus. Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan seperti physical distancing, pembatasan sosial serskala besar (PSBB), dan anjuran #dirumahaja. Di bidang pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim memutuskan untuk mengalihkan kegiatan akademik kepada sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Aktivitas pembelajaran yang semula dilalukan secara tatap muka di sekolah maupun perguruan tinggi berpindah tempat di ruang virtual.
Kebijakan ini awalnya hanya sebatas solusi alternatif. Namun kondisi pandemi yang belum membaik sampai saat ini mengharuskan kita beradaptasi dengan perubahan sistem dan pola pembelajaran baru. Lingkungan belajar online yang tidak pernah direncanakan sebelumnya memunculkan kendala serius. Pembelajaran yang kurang efektif dan interaktif mengaburkan esensi pendidikan tentang ilmu dan nilai.
Dalam proses pembelajaran, pendidik tidak hanya memberikan materi yang teoritis saja. Tetapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai serta membangun karakter peserta didik secara berkelanjutan. Sebagaimana filsuf Yunani Kuno Aristoteles mengatakan bahwa esensi dari pendidikan adalah adanya penanaman karakter. Di mana karakter ini dapat dibentuk melalui proses dialektika antara teori dan praktik. Seseorang bertindak jujur, bukan karena mengetahui pengertian jujur, tetapi ia terbiasa menanamkan kejujuran. Konsep ini menandakan akal budi sebagai pengarah tindakan moral seseorang.
Lunturnya Esensi Pendidikan
Sistem belajar online di lembaga pendidikan tidak lepas dari problematika. Sejumlah kendala seperti sinyal, kuota internet, dan perangkat yang kurang memadai membuat pembelajaran tidak interaktif. Ditambah lagi, banyak pengajar yang gagap teknologi, sehingga tidak bisa memaksimalkan penggunaan media. Faktor-faktor tersebut membuat ruang kelas virtual terkesan satu arah dan transfer pengetahuan tidak maksimal.
Dalam praktiknya, pembelajaran online hanya berfokus pada aspek kognitif saja. Itupun tidak maksimal tanpa menyentuh aspek afektif. Peserta didik hanya diberikan materi tanpa mengukur seberapa jauh pemahammnya kemudian dibebankan tugas. Di sisi lain banyak yang mengeluhkan sistem dan metode pembelajaran karena tidak memahamkan siswa.
Dalam dunia pendidikan, guru tidak hanya bertindak sebagai instruktur yang menyampaikan materi dan siswa bukan hanya menjadi pendengar. Guru harus mampu menciptakan pendidikan yang partisipasif. Memberikan metode pembelajaran yang kontekstual agar lebih relevan dan secara tidak langsung siswa memahami kondisi sosialnya. Selain itu, guru juga menjadi figur dan dimensi cerminan nilai yang baik bagi peserta didiknya untuk membentuk karakter yang diharapkan.
Tampaknya hal tersebut menunjukkan praktik pembelajaran online di masa pandemi telah mengurangi esensi pendidikan. Pendidikan yang sebenarnya sebagai media pengembangan intelektual dan pembentukan karakter hanya sebatas formalitas belajar. Selama proses belajar-mengajar tidak lebih dari sekadar memberi dan menerima materi saja. Tanpa pernah memikirkan implementasi pembelajaran dan kualitas pengetahuan.
Pendidikan Karakter dalam Rumah
Selama masa pandemi, siswa lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan berinteraksi dengan orang tua. Dalam hal ini rumah sebenarnya menjadi tempat selain sekolah untuk mengimplementasikan esensi pendidikan. Orang tua memiliki peran sebagai madrasah utama bagi anak-anaknya. Menjadi orang pertama yang menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk kepribadian yang luhur.
Pembelajaran jarak jauh ini menunjukkan semakin pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Mengembalikan fungsi awal keluarga sebagai pusat segala kegiatan, tempat paling potensial dalam menanamkan pendidikan karakter. Orang tua diharapkan mampu mengambil alih peran guru di sekolah formal yang dalam pembelajarannya di masa pandemi hanya terpusat pada ranah teoritis yang kurang maksimal.
Sebagaimana filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Di sini kita tidak bisa menyempitkan pemaknaan sekolah hanya sebatas lembaga resmi bergedung lengkap dengan fasilitas yang bisa digunakan sebagai sarana belajar. Dan makna guru bukan hanya sebatas gelar profesi, karena setiap orang memiliki potensi untuk memberikan pelajaran moral.
Selama di rumah orang tua tidak hanya mendampingi anak dalam belajar online. Tetapi juga dapat memberikan pembelajaran dan pengalaman tentang kehidupan sesungguhnya yang tidak diajarkan di sekolah formal. Menghabiskan waktu bersama untuk menanamkan sikap positif seperti jujur, disiplin, kepekaan, dan kepedulian. Hal ini juga dapat mempererat hubungan antara anak dan orang tua dengan menciptakan waktu yang lebih berkualitas.
Dengan adanya kebijakan belajar dari rumah, orang tua juga memiliki waktu yang lebih ekstra dalam mengawasi anaknya. Secara konsisten dapat memantau tingkah laku dan perkembangan sang anak. Dengan dampak yang menimpa psikis, orang tua bisa memberikan motivasi dan bimbingan agar tetap produktif.
Kita tidak bisa memposisikan sekolah sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam dunia pendidikan. Terlebih di situasi sulit seperti ini. Jika hanya mengharapkan pengetahuan dari materi yang diajarkan di sekolah, kita tidak lebih dari manusia yang terjebak dalam gua. Karena pembelajaran online selama pandemi ini tidaklah efektif dan interaktif.
Di masa pandemi covid-19 ini, sangat sulit memastikan apakah transfer pengetahuan dan nilai dapat berjalan maksimal secara beriringan. Padahal pendidikan karakter harus tetap ditanamkan meskipun pembelajaran online tidak memungkinkan. Namun kebijakan #dirumahaja sebenarnya menjadi alternatif bagi peserta didik untuk mendapatkan esensi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu terciptanya kualitas intelektual, penanaman nilai-nilai, serta pembentukan karakter yang mencerminkan seorang akademisi.
[Gita Fajri]
* Artikel ini pernah dimuat di Tribun Jateng Edisi 7 Januari 2021
KOMENTAR