Kecelakaan akibat truk rem blong dari arah turunan Silayur, merusak tiga ruko dan dua korban meninggal pada Kamis (21/11/24). |
Kecelakaan maut yang terjadi di Jl. Prof. Dr. Hamka, Ngaliyan, pada Kamis (21/11/24) sekitar pukul 17.00 WIB menimbulkan kekhawatiran serta kecaman dari banyak pihak. Kecelakaan tersebut disebabkan oleh truk yang mengalami rem blong, menyebabkan sejumlah bangunan hancur, beberapa orang luka-luka hingga dua orang tewas.
Pasca kecelakaan tersebut, kecaman menggema dari mahasiswa, masyarakat hingga pekerja Ngaliyan lantaran banyak aktivitas truk bermuatan lebih dari delapan ton di luar jam operasional. Padahal, jalan kota yang digunakan untuk lintasan kendaraan tonase berat dari kawasan industri Bukit Semarang Baru (BSB) merupakan kawasan padat penduduk.
Selain itu, banyak fasilitas umum yang beroperasi di pinggir jalan, seperti pasar, sekolah, universitas, rumah sakit hingga pabrik. Sehingga pada jam kerja jalanan akan dipadati oleh aktivitas warga, pekerja hingga mahasiswa.
Sebagaimana disampaikan oleh salah satu mahasiswa UIN Walisongo, Roby Rahmanda Santoso. Ia mengatakan, selain banyak medan curam, jalur tersebut merupakan lintasan yang padat oleh warga dan mahasiswa. Sehingga ia berharap pada penegak hukum supaya lebih tegas terhadap supir yang bandel.
"Karena melihat daerah Ngaliyan ini dengan porsi yang banyak itukan tidak bisa hanya sembarang-sembarang saja apalagi dengan menumpuknya jumlah mahasiswa," ucapnya saat diwawancara kru IDEAPERS.COM, pada Senin (24/11/24).
Tanjakan Silayur Rawan Kecelakaan
Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang telah menerapkan aturan bagi truk yang memiliki muatan di atas delapan ton untuk beroperasi antara pukul 23.00-04.00 WIB. Namun, nyatanya peraturan tersebut sering dilanggar oleh sopir yang bandel.
Terlebih, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk di tanjakan Silayur bukan peristiwa yang hanya terjadi sekali. Bahkan pada dini hari setelah kejadian kecelakaan truk trailer (21/11/24), sebuah truk canter terguling di depan SMP 16 Semarang (sebalah Hokben).
Tak hanya itu, mengutip laporan Tirto.id, sepanjang 2016 hingga 2024 tercatat ada lima kecelakaan maut yang terjadi di Ngaliyan, tepatnya di turunan Silayur, Jl. Prof Hamka, Semarang. Dua diantaranya terjadi di tahun 2016 di Bulan November dan Desember dengan dua korban meninggal dunia dan sejumlah orang luka-luka.
Kemudian, mengutip TribunWOW.com, pada tahun 2021, terjadi kecelakaan beruntun di depan Perum Permata Puri, Ngaliyan, dimana truk bermuatan aki menyeruduk beberapa kendaraan di depannya. Kecelakaan tersebut menyebabkan satu orang tewas.
Lalu pada tahun 2022, sebuah truk terjun ke jurang setinggi 15 meter di turunan Silayur. Mengutip Kompas.com, Kanit Lalu Lintas Polsek Ngaliyan, Ipda Riyadi mengatakan, kecelakaan disebabkan oleh kendaraan yang mengalami rem blong. Supir sengaja membanting setir ke arah kiri untuk menghindari tabrakan beruntun.
Hal serupa pun terjadi setahun kemudian, tepatnya pada Agustus 2023, truk trailer bermuatan lemari portable dari arah Mijen terguling hingga jatuh di tanjakan Silayur. Kecelakaan tersebut disebabkan oleh truk mengalami rem blong. Pada tahun yang sama, juga terjadi kecelakaan maut yang melibatkan truk muatan tanah, yang mana menyebabkan dua orang (anak-anak) meninggal dunia.
Hingga laporan ini ditulis, setelah peristiwa maut (21/11/24), masih banyak truk yang lalu-lalang di luar jam yang telah ditentukan. Seperti tak belajar dari kesalahan, baik sopir maupun pabrik masih tidak mengindahkan adanya peraturan tersebut.
Bagaimana Langkah Pemerintah?
Meskipun sudah ditegakan aturan jam operasional kendaraan bermuatan besar, namun masih banyak yang melanggar. Sebagaimana data dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng), sebanyak 4.500 kasus kecelakaan yang melibatkan truk terjadi sepanjang 2024.
Pasalnya masih ada supir yang tidak mengetahui adanya jam operasional tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang sopir truk yang terjaring dalam aksi sweping saat aksi demo mahasiswa UIN Walisongo, pada Senin (25/11/24).
"Setahu saya, aturan di BSB itu truk dilarang melintas pukul 06.00-08.00 WIB. Jadi kalau aturan baru yang jam operasionalnya pukul 23.00-04.00 WIB, saya memang tidak tahu," ujarnya.
Padahal dibeberapa titik sepanjang Jl. Prof. Hamka telah terpasang spanduk peringatan yang bertulis "TRUK MST > 8 TON DILARANG MASUK KECUALI JAM 23.00 - 04.00 WIB". Namun, tidak ada yang mengindahkan tulisan tersebut. Ia terpa panas hujan hanya sekadar untuk menjadi pajangan.
Pasca kecelakaan, upaya Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Semarang yang akan melakukan sosialisasi kepada perusahaan dan sopir truk cukup membawa angin segar bagi warga Ngaliyan. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama.
Sosialisasi tanpa tindakan tegas di lapangan hanya akan menjadi omong kosong. Perusahaan serta sopir truk akan tetap mbeling apabila tidak mendapat tindakan yang membuat jera.
Kemudian Pemkot juga menyatakan akan untuk membangun jalur penyelamatan di sekitar tanjakan Silayur. Namun, upaya tersebut disebut masih akan dikaji lebih lanjut. Wacana lain yang dihembuskan ialah pelandaian jalur sehingga kontur tanah tidak lagi curam. Akankah solusi itu akan solutif ?
Solutif Atau Sebatas Responsif?
Rencana Pemkot Samarang untuk membangun jalur penyelamatan serta pelandaian jalan bisa saja tidak menjadi solusi yang efektif serta esensial. Selain membutuhkan waktu panjang serta biaya yang besar, juga akan menyebabkan pemadatan jalan. Aktivitas perjalanan akan terganggu, memicu kemacetan dan tidak menutup kemungkinan terjadi kecelakaan serupa kapanpun.
Terlebih, kendati pembangunan jalur penyelamatan atau pelandaian jalan tetap dilaksanakan, tetapi tidak dibarengi dengan penegakan peraturan jam operasional yang tegas, maka upaya tersebut akan sia-sia. Penegakan peraturan jam operasional oleh pihak kepolisian maupun pemerintah yang tidak tegas, menujukkan tidak adanya kepedulian pada keselamatan masyarakat sipil.
Apalagi, jika langkah yang diambil hanya menujukkan bahwa Pemkot serta pihak terkait lainnya seperti "yang penting" merespon. Padahal melihat masifnya kecelakaan yang memakan korban, esensialnya pemerintah lebih memperhatikan solusi yang tidak "hanya" berfokus agar truk tetap bisa melintas, tanpa menghiraukan keselamatan bagi warga dan mahasiswa ketika berkendara di jalan.
Jika truk muatan masih beroperasi di jam kerja, maka keselamatan warga masih terancam. Di mana dalam keseharian aktivitas warga dan mahasiswa di jalan masih akan bersinggungan dengan truk-truk besar yang berpeluang menimbulkan bahaya.
Selain dengan penegakan peraturan, pihak kepolisian maupun Dinas Perhubungan juga harus mengadakan pengetatan keamanan dengan menyediakan pos penjagaan yang bertugas untuk mencegah truk muatan besar yang melintas di jam-jam terlarang. Karena, spanduk peringatan bertuliskan "TRUK MST > 8 TON DILARANG MASUK KECUALI JAM 23.00 - 04.00" saja, tidak mampu membuka kesadaran terkait pentingnya nyawa manusia.
Pos penjagaan bisa saja menjadi solusi yang solutif. Karena selain dapat mencegah truk yang bandel dari kawasan industri BSB, juga dapat mencegah truk yang melintas dari luar Semarang. Tak dipungkiri, banyak sopir truk yang berasal dari luar kota yang tidak mengetahui adanya aturan lintasan tersebut.
Sopir (Juga) Korban?
Dalam kasus laka lalu lintas, sopir kerap menjadi tersangka utama dalam penyelidikan sebuah kasus yang melibatkan maut. Sebagaimana pengertiannya, kecelakaan merupakan peristiwa yang tak dapat diduga dan diprediksi. Oleh karenanya, dalam pemprosesan sebuah kasus kecelakaan, pada dasarnya seseorang tidak dapat dihukum apabila ia tidak berbuat salah.
Sesuai dalam peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, terutama pada Pasal 310. Pengaturan untuk ganti rugi dan lain-lain secara jelas diuraikan pada Pasal 235 Ayat (1) dan Pasal 236. Kemudian, pemberian sanksi pidana terdapat pada Pasal 314 undang-undang tersebut.
Apabila sebuah kasus kecelakaan seorang sopir lalai dalam berkendara yang mengakibatkan adanya korban jiwa atau kerugian harta benda, sebagaimana telah diatur dalam undang-undang maka sopir serta perusahaan dapat dikenakan hukuman perdata hingga pidana.
Dalam kasus ini, sopir yang diduga sebagai penyebab kecelakaan akan dikenakan hukuman paling lama enam tahun penjara atau paling banyak denda sebesar 12 juta rupiah. Selain itu, sopir juga akan mendapat sanksi berupa pencabutan izin mengemudi. Kemudian, perusahaan bersama-sama dengan sopir juga memiliki tanggung jawab untuk membayar ganti rugi terhadap hilangnya nyawa dalam peristiwa tersebut.
Terlepas sopir yang menjadi penyebab kecelakaan, tanggung jawab tak sepenuhnya harus ditanggung oleh sopir sendiri. Pihak- pihak lain pun bersama-sama memiliki tanggung jawab atas hal ini. Mulai dari perusahaan sebagai pihak yang mengangkat sopir untuk mewakili urusannya, hingga Aparat Penegak Hukum (APH) yang bertugas menjaga dan menertibkan lalu lintas.
Namun, nyatanya dari kebanyakan kasus sopir selalu menjadi tersangka utama yang mendapat sanksi hukum. Padahal, bisa jadi sopir juga korban dalam hal ini. Ia juga mendapat kerugian material serta trauma.
Kelalaian Pihak Lain
Dari berbagai kasus yang terjadi di tanjakan Silayur menunjukkan penyebab terjadinya kecelakaan ialah disebabkan oleh kendaraan yang mengalami rem blog. Hal ini, kemungkinan besar disebabkan oleh perawatan kendaraan yang kurang diperhatikan oleh perusahaan. Selain itu, pernyataan sopir yang tidak tahu adanya peraturan jam operasional juga menunjukkan bahwa perusahaan tidak melakukan pendampingan terhadap sopir.
Kemudian, banyaknya truk yang melintas di jalan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum (APH) lengah dalam melakukan pengawasan serta penegakan aturan di lapangan. Menurut pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, APH oleh karena itu juga patut disalahkan.
Harusnya APH lebih tegas untuk menindak perusahaan-perusahaan yang memberi izin atau bahkan menuntut sopirnya untuk beroperasi di jam terlarang. Faktor penetapan target setoran yang dibebankan pada sopir bisa jadi yang menyebabkan sopir abai dengan peraturan lalu lintas.
Jika sistem-sistem yang diterapkan dalam pengaturan distribusi maupun operasional pabrik tidak menekankan pada hal-hal yang dianggap sepele, seperti keselamatan masyarakat di jalan, bukankah pemerintah seharusnya lebih bisa "melihat" hal ini?
Bukankah pemerintah seharusnya tidak hanya bertindak setelah suatu atau berderet-deret peristiwa terjadi? Melainkan menegakkan peraturan yang tidak hanya melicinkan operasional ekonomi, tetapi juga melihat dengan mata elang; bagaimana peraturan yang ditetapkan tidak berat sebelah satu sama lain? Bahwa keselamatan masyarakat sipil tidak kalah pentingnya dengan pembangunan proyek terbesar sekalipun.
[Erliyana Handayanisa]
KOMENTAR