- Ilustrasi Doom Spending (Sumber:iStock.com) |
Manfaat perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi telah banyak kita rasakan. Kini kita bisa berkomunikasi tanpa harus dibatasi oleh jarak. Bahkan dengan kemudahan tersebut, kita bisa merasa dekat dengan orang yang belum pernah kita temui secara langsung.
Akan tetapi, kondisi ini seperti dua mata pisau. Satu sisi perkembangan tersebut membawa kemudahan dalam kehidupan kita. Namun, disisi lain juga bisa berdampak buruk jika tidak digunakan secara bijak.
Misalnya, kita seringkali membagikan informasi pribadi kita untuk mendapat perhatian publik. Seolah-olah informasi tersebut benar-benar situasi yang kita jalani.
Tanpa kita sadari, kebiasaan tersebut menciptakan persaingan gaya hidup. Sebagian dari kita akan merasa iri dengan kehidupan orang lain yang dibagikan melalui postingan di media sosialnya. Perasaan inilah yang mendorong keinginan konsumtif.
Contoh, saat teman kita mendapat perhatian karena memposting tas barunya. Kita akan menginginkan hal serupa untuk mendapatkan perhatian yang sama juga. Kemudian kita membelinya, untuk menghilangkan perasaan kalah dari tekanan bersaing.
Tindakan belanja inilah yang dikenal dengan doom spending. Dilansir dari CNN, istilah doom spending ini menggambarkan situasi 96% generasi muda Amerika mengalami kekhawatiran terhadap kondisi finansial mereka. Berdasarkan Tempo.co dari hasil studi pengelola survei daring, Qualtrics dan anak usaha pelacak kredit Intuit, Credit Karma mengatakan 27% anak muda di Amerika mengalami doom spending.
Kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor. Mulai dari stres, menghindari masalah, maupun sedang mengalami fase ekonomi yang sulit. Kondisi-kondisi tersebut bisa menjadi pemicu perilaku doom spending.
Sedangkan, disisi lain generasi Z di Indonesia juga mengalami hal serupa. Dilansir dari riset yang melibatkan 875 responden oleh Katadata.com, sebanyak 7 dari 10 masyarakat dari kalangan gen Z memiliki kebiasaan menghabiskan uang mereka untuk membeli jajan. Atau sebesar 69% uang generasi Z digunakan untuk membeli makanan, 14% skincare, 9% untuk transportasi, serta 5% liburan dan 3% hiburan. Hal ini membuka kemungkinan jumlah pinjaman online semakin membengkak.
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan nilai pinjaman online mencapai Rp 20,53 triliun pada Agustus 2023. Angka ini didominasi oleh masyarakat dari kalangan generasi milenial dan generasi Z.
Jika kondisi ini tidak segera disadari oleh generasi milenial dan gen Z hal ini bisa mengancam kestabilan finansial dimasa depan. Hal tersebut akan memperburuk jumlah kemiskinan yang dialami oleh generasi z kita.
Bagaimana Cegah Doom Spending?
Oleh karena itu, perlu pemahaman untuk menangani kebiasaan keliru tersebut. Salah satu caranya melalui pemahaman tentang penggunaan media sosial sebagaimana mestinya. Bukan menjadikannya sebagai acuan hidup.
Selain itu, kita harus menjauhi kebiasaan belanja barang sebagai pelarian atas masalah yang dihadapi. Kita perlu menyadari bahwa permasalahan yang hadir patutnya dihadapi dan dicari problem solvingnya bukannya malah dihindari.
Akan tetapi, perlu disadari jika kita kesulitan menyelesaikan maslah sendiri. Kita bisa meminta bantuan pada orang disekitar kita untuk membantu mengurai permasalahan yang sedang kita hadapi. Pada intinya, kebiasaan hidup boros untuk hal yang tidak perlu bukan jawaban untuk masalah yang kita hadapi. [Zaqia Ulfa]
KOMENTAR