Pendidikan menjadi salah satu ruang proses manusia dalam berdialektika, baik itu di sekolah ataupun perguruan tinggi. Di perguruan tinggi misalnya, menjadi tempat pergulatan pikiran bagi para akademisi dari dosen maupun mahasiswa.
Namun, proses tersebut tidak nampak jika melihat bagaimana iklim dialetika terjadi di ruang akademik saat ini. Pembelajaran di ruang kelas hanya sekedar pemberian dan penerimaan materi, tanpa adanya proses dialektika.
Di perguruan tinggi sekalipun, kebanyakan mahasiswa membawakan materi dengan membaca tanpa memahami, sedangkan mahasiswa lainnya hanya mendengar dan menerima materi yang diberi. Begitu juga yang terjadi ketika adanya penjelasan dari seorang dosen. Sehingga pembelajaran berlalu tanpa adanya ruang diskusi. Mahasiswa tidak menggunakan kemampuan dan kemandirian berpikirnya untuk menghidupkan dialektika.
Pembelajaran di luar ruang kelas pun semakin luntur, minat berorganisasi mahasiswa semakin minim. Membuat dinamika pendidikan di perkuliahan menjadi datar, mahasiswa hanya menjalankan sebuah rutinitas dan mengejar kuantitas akademik.
Rutinitas yang mengalir begitu saja membuat proses intelektual mahasiswa dalam memahami pengetahuan maupun realitas tidak tumbuh. Daya berpikir dan kritisisme mahasiswa tergerus dan bergerak masif mengikuti keadaaan yang terjadi.
Problem Sistem Pendidikan
Ruang dialektika yang senyap itu telah terjadi dalam sistem pendidikan sekolah SD, SMP hingga SMA. Pendidikan sekitar kita menjadikan sentral pembelajaran terfokus pada guru sebagai pemberi materi, sementara siswa hanya sebatas penerima. Guru dianggap bank pengetahuan sedangkan siswa yang tidak tahu apapun hanya memperoleh materi dari satu pintu. Sistem pendidikan tersebut pun menjadi budaya dan mengakar di Indonesia.
Problematika di lingkungan pendidikan yang redup dialektika pernah dibuatkan solusi oleh pemerintah, melalui kurikulum 2013 atau Kurtilas. Prinsip pembelajaran Kurtilas berpusat pada keaktifan siswa dalam mencari tahu soal materi, sedangkan guru hanya menjadi fasilitator selama proses pembelajaran. Namun, kurikulum 2013 tidak berjalan secara maksimal karena kebijakan tidak berjalan secara merata di semua sekolah di Indonesia. Apalagi, pengawasan sistem pendidikan itu juga kurang maksimal.
Akhirnya sampai saat ini, stigma mengenai guru sebagai gudang pengetahuan terus diyakini. Belenggu itu menjadikan kemandirian berpikir siswa sulit tumbuh. Guru sebagai sosok yang harus dihormati juga menjadi bias. Artinya, ketika siswa tidak sepakat dengan pemikiran guru, hal itu dianggap salah. Sehingga yang terjadi hanyalah kepatuhan belaka.
Pedagogi Kritis
Fenomena pendidikan tersebut juga pernah menjadi sorotan filsuf asal Brazil, Paulo Freire. Dalam filsafat pendidikannya, ia menyatakan model pendidikan yang berpusat pada guru sebagai gudang pengetahun, sementara murid hanya sebagai penerima disebutnya sebagai "metode perbankan".
Menurut Freire, metode perbankan membuat pelajar pasif, tidak terdorong untuk berfikir kritis dan merasa tidak percaya diri atas kemampuan akalnya sendiri. Dalam proses pembelajarannya juga tidak menerapkan prinsip demokratis dalam berpikir.
Untuk menghidupkan dinamika dalam dunia pendidikan, guru maupun siswa ataupun dosen dan mahasiswa untuk saling terbuka dalam proses intelektual. Di mana hal tersebut memungkinkan pengajar dan pelajar memiliki hubungan horizontal.
[Erliana H]
KOMENTAR