Kepala Jurusan (Kajur) MHU, Abdul Sattar sedang menguji bacaan Al-Quran mahasiswa di kantornya (Doc: IDEAPERS.COM). |
Salah satu mahasiswa MHU semester 8, sebut saja Eko (Red: bukan nama sebenarnya) membenarkan adanya kebijakan fasih mengaji saat diwawancarai Kru IDEAPERS.COM secara online, pada Jumat (24/03/23).
"Di MHU fokusnya cuma di ngaji. Misal sebagus apa skripsi atau proposal, kalau nggak bisa ngaji tetap nggak lulus," ucapnya.
Eko mengaku gagal ujian sempro karena sebelumnya ia tidak dinyatakan lolos tes mengaji. Menurutnya, tes mengaji tidak relevan dilakukan saat sempro ataupun munaqasah lantaran sudah ada tes baca tulis Al-Qur'an (BTQ) dalam kurikulum Fakultas.
"Saya kurang setuju ya dengan kebijakan seperti itu, yang namanya sempro kan seminar proposal jadi ya fokusnya ke proposal," ungkapnya.
"Kalo ngaji kan emang ada tes BTQ-nya diawal, BTQ saya padahal lulus. Kalau udah sempro saya kira lebih fokus ke proposalnya atau skripsi," tambahnya.
Secara spesifik, Eko menuturkan kefasihan mengaji dinilai dari ketepatan makhorijul huruf dan panjang pendek bacaan Al-Quran. Untuk memperbaiki itu, Eko bersama temannya yang bernasib sama berguru ngaji di luar kampus. Hal itu, karena tidak ada dosen yang bersedia untuk mengajarnya.
"Saya mengaji bersama kyai di karonsih, untuk belajar ngaji," tuturnya.
"Soalnya dosen nggak ada yang mau ngajarin ngaji. Sibuk katanya," ucapnya.
Pengalaman serupa dialami oleh Fani (red: bukan nama sebenarnya), mahasiswa MHU semester 10. Ia mengaku tidak lulus sidang munaqasah karena tak fasih mengaji.
Saat sempro, Fani mendapat peringatan soal kefasihannya dalam mengaji oleh Kepala Jurusan (Kajur) MHU, Abdul Sattar. Namun, ia juga mengaku tidak begitu fasih dalam membaca Al-Quran.
"Aku dibilangin kalau mau daftar munaqasah itu kudu di benerin ngajinya, ngaji itu waktunya lama, nggak cepat," katanya.
"Kalau boleh jujur ngajiku kurang lancar jadi aku dapet teguran. Kayak makhorijul hurufku itu kurang tepat gitu kan, mungkin karena aku juga agak cadel ya atau karena logat juga," papar dia.
Untuk memperbaiki hal itu, Fani bersama temannya belajar mengaji selama hampir dua tahun. Selain itu, ia mengatakan kebijakan terkait kefasihan mengaji sebagai standar kelulusan mahasiswa dalam ujian akhir tidak masuk akal.
"Sebenernya bukannya kami mau merendahkan agama ya, cuman buat persoalan sidang skripsi kan ngaji kurang cukup make sense gitu loh," ungkapnya.
Tanggapan Kajur MHU
Sementara itu, Kajur MHU Abdul Sattar membenarkan kebijakan tersebut. Katanya, tidak ada toleransi bagi mahasiswa yang belum fasih mengaji.
"Ndak ada ceritanya lulus di MHU ngajinya nggak beres, kalau enggak beres ya ditunda," ungkap Sattar saat didatangi Kru IDEAPERS.COM di kantornya, pada Jumat (24/03/23).
Kefasihan mengaji, kata dia, dinilai dari ketepatan hukum bacaan Al-Quran. Menurutnya, mahasiswa akan diuji kefasihan mengaji terlebih dahulu kemudian ke pembahasan skripsi dan lainnya.
"Jadi gini loh modelnya di MHU sebelum diuji yang lain-lain itu ngaji dulu, satu aja penguji yang keberatan dilanjutkan ya nggak bisa lanjut," ucapnya.
Sattar juga mengatakan beberapa kali memberi peringatan kepada mahasiswa yang dianggap belum fasih mengaji bahkan sejak awal perkuliahan di semester awal.
"Banyak yang tidak kami luluskan, ada yang saya kasih catatan kayak ini, 'Oke ini anda sempro boleh lanjut, tapi catatannya kalau ngajinya masih kayak gini, nanti munaqasah ndak lulus'. Dan standar kita hanya membaca Al-Quran bukan membaca kitab," terangnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya menguji kefasihan mahasiswa sejak semester satu untuk memetakan siapa yang dianggap belum fasih dalam membaca Al-Qur'an.
"MHU itu punya tradisi, kecuali yang corona ya, setiap awal semester kita uji baca Qurannya. Jadi kita punya petanya, 'oh ini si X ini kurang, oh si Y sudah oke' jadi kita punya catatannya, di awal semester 1," terangnya.
Tidak hanya di MHU, Sattar turut berharap agar standar kefasihan dalam membaca Al-Qur'an ini menjadi komitmen bersama di UIN Walisongo.
"Saya sebenarnya punya impian bukan hanya di MHU, harusnya semua prodi di UIN seperti itu. Karena kuliah itu paling cepat 7 semester to sarjana, moso 3 tahun nggak bisa baca Al-Quran. Wong nggak ngerti apa-apa, 3 tahun yo mesti bagus. Kalau mau ngaji. Cuma di MHU karena saya bertanggungjawab penuh, jangan sampe ada anak MHU lulus nggak iso ngaji," jelasnya.
"Gimana yo lulusan UIN, orang nggak peduli loh, kamu mau dari fakultas apa orang tidak peduli. Ngertinya UIN to? Ngertinya bisa ngaji, nanti bisa ngisi ceramah, jurusan apapun orang ndak peduli," tambahnya.
Faktor Penghambat
Selanjutnya, Sattar mengungkapkan dua faktor yang menghambat kefasihan mengaji mahasiswa.
"Kemungkinan bacaan mahasiswa belum bagus itu ada dua. Pertama ra gelem ngaji, yang kedua ngerasa sudah bisa ngaji sehingga tidak perlu ngaji lagi, ketahuannya setelah sempro," ungkapnya.
Kaitannya dengan tenaga ajar mengaji, Sattar mengaku dirinya memberi rekomendasi tempat berguru, salah satunya dengan pengajar di MHU.
"Pak Rozak (dosen MHU) bersedia dengan senang hati mau ngajari, hanya kalau saya maunya mateng, saya cuma tunjukkan ini loh tempat kalau anda ngaji yang bener, tak rekomendasiin dari Qiroati," jelasnya.
Saat menjadi dosen di Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), Sattar telah menerapkan kefasihan mengaji terhadap mahasiswa yang ujian akhir. Berdasarkan pengakuannya, ia sempat memberikan kelonggaran kepada mahasiswanya yang belum fasih mengaji.
"Sudah lama itu, sejak saya masih di BPI. Mahasiswa yang begitu ngajinya, langsung saya tutup, saya nggak nguji," katanya.
Saat itu, Sattar mengaku kerap menyita Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin Mengemudi (SIM) sebagai jaminan mahasiswa untuk belajar mengaji. Sayangnya, lanjut dia, mahasiswa menyalahgunakan kelonggaran tersebut.
"Bahkan saya satu-satunya dosen di UIN yang nahan SIM sama KTP mahasiswa di rumah, saya lakukan karena mahasiswa begini, saya itu dulu sering dikibuli sama mahasiswa, 'Pak nanti saya janji pokoknya saya belajar ngaji, sungguh-sungguh saya mau ngaji meskipun saya lulus jadi sarjana saya tetep mau ngaji' oke, akhirnya saya tahan KTP nya, SIM nya masih di rumah loh, sampe sekarang belum diambil, ada lima. Saya satu-satunya dosen di UIN yang minta KTP saat nguji untuk garansi," paparnya.
"Ternyata apa? nggak diambil mba, mereka mending nggak ngaji dari pada ngambil itu. Maksud saya SIM-nya saya tahan harapannya ia belajar ngaji, lek wis oke lolos, KTP SIM-nya tak balekke. Sampe begitu," tambah Sattar.
Akhirnya, Sattar menetapkan dengan tegas bahwa kefasihan mengaji menjadi standar kelulusan mahasiswa MHU saat ini.
"Berdasarkan pengalaman itu saya sudah tidak percaya dengan mahasiswa, dia mau bilang mau ngaji kek setelah lulus, dia mau ngasih KTP sudah tidak percaya saya," pungkasnya.[Rep. Riska/Red. Dian].
KOMENTAR