Ilustrasi. (Dok. Istimewa) |
Pernikahan dini dari masa ke masa di Indonesia masih menjadi polemik yang belum tertuntaskan. Hal ini terlihat dari angka pernikahan dini yang masih tinggi di setiap tahunnya.
Tercatat pada tahun 2018 sebanyak 1,2 juta anak perempuan menikah di usia dini dan sejak tahun 2019 hingga 2020 kasus perkawinan dini telah mengalami peningkatan drastis dari 23.126 menuju 64.211 kasus. Bahkan menurut data riset UNICEF, Puskapa, Bapenas, Indonesia termasuk kedalam 10 negara penyumbang pernikahan dini terbanyak.
Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini di Indonesia. Mulai dari tekanan ekonomi yang mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya. Kemudian rendahnya tingkat pendidikan yang akhirnya membuat seseorang mengambil keputusan untuk menikah.
Selain akses pendidikan yang tidak merata, sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki padangan miring terhadap perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Mereka menganggap perempuan hanya sebagai orang yang mengurusi wilayah domestik di dalam rumah tangga.
Budaya juga menjadi faktor yang tidak terhindarkan. Masih banyak orang di desa yang melanggengkan tradisi perjodohan. Sebagian orang tua justru merasa khawatir jika sang anak tidak segera menikah. Mereka menganggap jika anak perempuan di atas usia dua puluh tahun belum menikah disebut "perawan tua" atau tidak laku dan dianggap sebagai aib.
Efektivitas Pencegahan Pernikahan Dini
Tingginya kasus pernikahan dini juga terus menjadi perhatian pemerintah untuk menekan pertumbuhan kasus. Beberapa upaya telah diupayakan, salah satunya dengan diterbitkannya Undang-Undang yang mengatur usia minimal pernikahan.
Sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengsyaratkan usia perkawinan minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat 1 usia minimal baik perempuan maupun laki-laki 19 tahun.
Selain itu, di tahun 2018 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah mendirikan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPPA). Kemudian pemerintah juga mengupayakan Pakta integritas yang mengajak tokoh-tokoh dari berbagai macam bidang untuk mensosialisasikan larangan perkawinan dini.
Namun apakah upaya tersebut mampu menekan angka pernikahan dini yang terjadi di Indonesia?
Beberapa bulan terakhir, kasus disepensasi nikah mencuat di Indonesia. Jawa Timur menduduki posisi teratas sebagai kota yang melakukan dispensasi nikah sebanyak 15.337 atau sekitar 29,4 persen dari total pengajuan Nasional.
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat sebanyak 15.212 kasus pengajuan dispensasi nikah telah diajukan. Hal serupa juga terjadi di Ponorogo, sebanyak 266 kasus dispensasi nikah telah diterbitkan. Di Jambi tercatat sebanyak 1.012 kasus, Kota Palembang sebanyak 1.343 kasus, dan Pekanbaru sebanyak 1.168 kasus pengajuan dispensasi nikah.
Maraknya kasus pernikahan dini, menyisakan ironi terhadap generasi penerus kita. Mereka yang memutuskan menikah dini terpaksa kehilangan masa belajarnya. Ketua Pengadilan Agama Bandung, Asep M Ali Nurdin menyebutkan, usia anak yang memutuskan mengajukan dispensasi nikah kebanyakan lulusan SD atau SMP berkisar pada usia 17 sampai 18 tahun.
Usia pernikahan dini, adalah masa yang semestinya digunakan oleh generasi kita untuk belajar. Mengasah kemampuan kognitif, mengeksplor diri, membentuk karakter dan penguatan mental. Namun yang terjadi sebaliknya, mereka mengambil langkah besar yakni menikah tanpa adanya pengetahuan dan persiapan yang matang.
Bagaimana nasib generasi penerus kita, jika para pemudanya harus terjebak dalam dilema pernikahan dini.
Apakah akan membuat generasi kita semakin jauh dari cita-cita yang diharapkan?
Padahal untuk melanjutkan estafet perjuangan, bangsa kita membutuhkan pemuda yang berkualitas secara pengetahuan, karakter dan mental. Pasalnya, kita akan dihadapkan dengan tantangan zaman yang semakin kompleks dalam lini teknologi, lingkungan, ekonomi dan lain sebagainya.
Memutus Mata Rantai Pernikahan Dini
Pemahaman keliru masyarakat yang menilai pernikahan sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut yang kemudian memperpanjang daftar kasus pernikahan dini di Indonesia. Padahal untuk mengambil keputusan menikah perlu mempertimbangkan banyak hal.
Dimana pernikahan dini tidak hanya akan berpengaruh pada putusnya pendidikan tapi juga akan melahirkan regenerasi yang kurang berkualitas. Selain itu, pernikahan dini juga akan menambah angka keluarga miskin akibat para remaja yang tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk bekerja.
Dampak tesebut perlu menjadi peringatan bagi individu, orang tua maupun pemerintah. Perlunya kesadaran akan impact yang akan dialami oleh anak jika melanggengkan budaya pernikahan dini. Semua pihak harus bekerjasama mensosialisasikan gerakan anti pernikahan dini sebagai upaya memperbaiki kualitas generasi bangsa.
KOMENTAR