Judul Buku : Komunitas Bumi: Etika Bumi
Penulis : Larry L. Rasmussen
Penerbit : Gunung Mulia
Tahun Terbit : 2010
Tebal Buku : 624 Halaman
Isu mengenai lingkungan hidup seperti perubahan iklim, pemanasan global tengah menjadi sorotan masyarakat global. Begitupun di Indonesia, kerusakan alam tengah terjadi dimana-mana, mulai dari banjir, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran umat manusia. Pasalnya hal tersebut mempengaruhi kebutuhan pangan, udara, air bahkan mengancam kelangsungan hidup manusia sendiri. Bukan untuk hari ini saja, tetapi terhadap kelangsungan umat manusia di masa depan.
Namun diskursus soal kehawatiran kondisi bumi yang semakin mengkhawatirkan telah berlangsung sejak lama. Salah satunya pembahasan lingkungan hidup pada konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Stockholm pada 5-11 Juni 1972.
Lalu bagaimana kondisi alam kita bisa mengkhawatirkan seperti sekarang?
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia modern semakin kompleks. Bukan hanya sekadar sandang, pangan dan papan. Manusia juga membutuhkan teknologi untuk membuat hidupnya lebih efektif, efisien dan praktis.
Sementara untuk memenuhinya, alam menjadi salah satu komoditas yang dimanfaatkannya. Manusia meminum airnya, memakai tanahnya, menggunakan semua aneka hayati yang di darat maupun di laut.
Selain itu, adanya industrialis, teknologi listrik, internet, transportasi dan aktivitas manusia lainnya berdampak terhadap kondisi alam kita. Limbah yang mereka keluarkan mencemari lingkungan mulai dari tanah, air hingga udara.
Namun hubungan manusia dengan komponen alam tidak begitu sehat lantaran terlalu eksploitatif. Manusia melihat alam hanya secara fungsional semata, yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kondisi yang berjalan lama ini membuat keadaan alam kita tidaklah seimbang.
Hal ini juga menjadi perhatian Larry L. Rasmussen dalam bukunya, Komunitas Bumi: Etika Bumi. Menariknya, Guru Besar bidang Etika Sosial di Union Theological Seminary ini melihatnya dari perspektif agama dalam mengkaji ekologi serta menawarkan etika konstruktif guna membenahi degradasi kehidupan di bumi.
"Memelihara alam sebagai pernyataan ilahi yang utama harus menjadi keprihatinan dasar agama. Konsep bahwa manusia dapat meraih keuntungan dengan eksploitasi yang merusak struktur atau fungsi dari bumi, tidak dapat diterima. Kesejahteraan bumi adalah hal yang paling utama. Kesejahteraan manusia berasal darinya". (hal. 47)
Alam dan manusia bagian dari semesta yang tidak terpisahkan. Ketergantungan terhadap hasil alam yang dapat manusia nikmati secara cuma-cuma bisa dikatakan sebagai ujian dari kuasa Tuhan.
Sehingga, manusia memiliki konsekuensi untuk melanggengkan kelestarian ekologi guna keberlangsungan hidup generasi di masa mendatang. Etika dan estetika lingkungan diperlukan untuk mengupayakan rekonstruksi dalam kerusakan ekosistem.
Agama dan Manusia
Urgensi agama sebagai fungsi sosial dinilai mampu memecahkan beragam persoalan, termasuk persoalan lingkungan. Melalui perspektif religi mampu membangun kesadaran pemeluknya untuk turut menjadi pemerhati kelestarian ekologi.
Manusia adalah khalifah fil ardh. Urgensi kesadaran dalam bertingkah laku manusia terhadap alam termasuk bentuk keimanan terhadap Tuhan. Representasi wakil Tuhan di muka bumi perlulah diimbangi dengan sifat-sifat mulia-Nya, termasuk sebagai pemelihara dan penjaga alam semesta (rabbul'alamiin). Maka, manusia perlu bertanggung jawab dalam menjaga keberlanjutan kehidupan.
Mengupayakan pentingnya manifestasi kelestarian ekologi yang di masa mendatang. Membangun kembali kesadaran mengenai alam sebagai tempat bertahan hidup bagi manusia, menjadi salah satu usaha memulai kembali menjaga kelestarian ekologi.
Selain itu, agama dapat mengatur kebijakan dan tata kelola lingkungan melalui etika lingkungan. Kearifan lokal yang secara eksplisit memiliki makna filosofis berbasis agama, juga mampu mengubah representasi masyarakat terkait problematika ekologi.
Misalnya, tradisi ruwat bumi yang digiatkan oleh Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM) setiap tanggal satu suro di desa Salamrejo, Kulon Progo, Yogyakarta. Tradisi ruwat bumi ini dilakukan dengan mengambil air di sendang guna dialirkan pada ladang warga. Bukan bermaksud mensakralkan air sendang tersebut, justru filosofi yang mereka usung ialah memaknai air sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat desa Salamrejo.
Dalam agama apapun telah banyak perintah untuk menghargai alam. Anjuran untuk tidak merusak tatanan ekosistem maupun senantiasa melindungi keberlangsungan habibat hidup ragam hayati dan hewani, telah jelas dalam berbagai firman-Nya dan sabda utusan-Nya.
Lantas, bagaimana kita hari ini? [Mita]
KOMENTAR