Memasuki era modern membuat banyak orang semakin adaptif mengikuti perkembangan zaman, termasuk pondok pesantren. Saat ini banyak berdiri pondok pesantren modern sebagai respon dari perubahan zaman.
Di pondok modern memiliki pola pengajaran yang berbeda. Beberapa pondok modern memadukan pendidikan formal dengan non formal. Sehingga pola pengajaran pun berbeda, seperti para santri diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Di pondok modern, para santri milenials lebih kaya dari segi aspek keilmuan dan keterampilanya. Pasalnya mereka tidak hanya fokus belajar ilmu keagamaan, tetapi mereka juga mempelajari pengetahuan umum dan skill tambahan lainnya seperti jurnalisik, bisnis, seni, bahasa dan lain sebagainya. Sebagai tuntutan zaman, santri milenial juga perlu melek internet, mengusai teknologi informasi dan digitalisasi.
Perubahan ini sebagai nilai yang postif juga menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya santri milenial harus membagi titik fokusnya untuk belajar ilmu agama dan keilmuan lainnya. Bagaimana para santri juga harus mempertahankan nilai spiritualitas, etika dan juga pengetahuan umum lainnya untuk mengikuti perkembangan zaman.
Jika keduanya keilmuan tersebut tidak seimbang akan berakibat pada dzauq seorang santri. Dimana menurut imam Al Ghazali, dzauq merupakan kehadiran hari atau khudurul qolbu saat seseorang terus mengingat allah secara Istiqomah, dimana hal itu dapat menghasilkan cita rasa pada spiritual terdalam pada kesadaran diri.
Sistematika pembelajaran yang mensinkronisasikan antara pendidikan formal dan pendidikan klasik (salaf), secara tidak langsung akan membentuk polarisasi pada santri. Nilai aktifitas yang dilakukan di dalam pesantren merubah konsep pemikiran.
Yang dahulu konsepsi kedisiplinan menjalankan ibadah, mengaji, bersosial, khidmat terhadap kyai, dan lain sebagainya memiliki nilai tersembunyi menciptakan dzauq dan ruh kemanusiaan yang tinggi. Nantinya akan memudar, bernilai hanya sebatas menjalankan rutinitas dan sebuah kewajiban.
Untuk menghadapi ini, para santri perlu berpegang teguh untuk mengimbangi diri secara spiritulitas dengan nilai keilmuan lainnya. “Santri berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan dirubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya,”Kyai Hasan Nawawi. [Ayu Sugiarti]
KOMENTAR