Dewasa ini, dunia sedang dihadapi oleh sebuah masalah besar yaitu, masalah skala peradaban. Tentang fenomena perubahan iklim, masalah kesehatan dan perekonomian akibat Covid-19, transformasi teknologi semakin cepat dan lain sebagainya. Tentunya hal ini membawa polemik kehidupan menjadi semakin kompleks.
Permasalahan ini kemudian menjadi tugas bagi kita untuk bisa mengatasinya. Pasalnya problem ini tidak hanya menyangkut diri kita secara pribadi dan saat ini. Melainkan ini juga berpengaruh terhadap generasi kita untuk ke depannya.
Namun, permasalahan ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan menggunakan pemikiran jangka pendek. Jika kita ingin maju ke masa depan yang berbeda dan menyelesaikan masalah skala peradaban, kita harus mengadopsi apa yang disebut "pemikiran jangka panjang". Kita perlu beralih menggunakan tiga cara berpikir untuk mendekati masalah utama yang kita tangani.
Pertama, pemikiran lintas generasi. Ketika kita berpikir untuk berbuat hal yang baik di dunia, kita sering berpikir untuk melakukannya di antara kelahiran dan kematian kita. Tetapi dengan pemikiran lintas generasi, hal tersebut dapat memperluas cara untuk berpikir tentang masalah, peranan kita dalam menyelesaikannya, beserta konsekuensinya.
Misalnya, ketika para remaja berkumpul bersama orang dewasa yang usianya rata-rata di atas 25 tahun dalam satu ruangan. Suasana di ruang tersebut kemungkinan akan ramai dengan perbincangan tentang pencapaian mereka. Sementara para remaja yang berpikiran "jangka pendek" lebih memilih untuk bermain handphone hingga lupa dengan keadaan sekitarnya.
Namun, pernahkah terbesit pikiran "bermain handphone memang mudah, namun kapan saya akan belajar dari mereka semua?" Jika kita menyadari hal ini, mungkin kita lebih memilih untuk mengobrol atau memberi pertanyaan kepada para orang dewasa. Sehingga kita mendapat referensi di luar pemikiran seusia kita. Selain itu, kita juga bisa mengenal lebih cepat tentang ilmu dan visualisasi pencapaian orang dewasa.
Dengan ini kita bisa lebih mudah beradaptasi dan tidak menutup diri. Sehingga kita bisa banyak mendapatkan banyak referensi untuk membentuk pola berpikir kita.
Kedua, memikirkan masa depan. Teknologi serba canggih, kemungkinan besar kalimat tersebut merupakan penggambaran pikiran kita tentang dunia masa depan.
Secara umum, kita mungkin telah memahami bagaimana polemik di masa depan seperti kemiskinan, perubahan iklim, kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Sebagian dari kita mungkin optimis bahwasanya tekno-utopia dapat menjadi jawaban dari problem tersebut.
Tidak ada yang salah argumen tersebut, tetapi kita tidak bisa melihat permasalahan hanya dengan satu cara dan satu sudut pandang. Perlu ada pembahasan yang lebih mendalam dan komprehensif tentang studi masa depan. Kita perlu mempertimbangkan semua jenis skenario yang kemungkinan akan terjadi dan semua jenis solusi serta segala konsekuensinya.
Ketiga, pemikiran Telos. "Telos" dalam bahasa Yunani artinya "tujuan akhir". Maksudnya, kita perlu mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, "Tujuannya untuk apa?" Di saat kita sedang mencoba memecahkan masalah tertentu, kita juga perlu memikirkan setiap konsekuensi dari keputusan yang kita pilih.
Seorang Fisikawan sekaligus Filsuf Thomas Kuhn, yang menciptakan istilah "Pergeseran paradigma", berkata, "Orang tidak akan berubah kecuali mereka memiliki visi tentang apa yang mereka ubah". Begitu juga yang dilakukan Martin Luther King, Jr., dalam pidatonya “I Have a Dream”. Dia menelusuri daftar masalah dan isu kontemporer, tetapi kemudian dia memberikan pemahaman yang kuat tentang apa mimpinya dan apa konsekuensi setelahnya.
Bagi masyarakat yang berpikiran jangka pendek, berpikir tentang masa depan terlihat begitu imajiner dan di luar kendali kita. Tetapi itu tidak benar. Kita memiliki kendali, tetapi membutuhkan pemikiran dan tindakan strategis. Kemudian membayangkan banyak kemungkinan di masa depan, dan berpikir di luar rentang hidup kita sendiri. Kita harus mencoba untuk melewati kehidupan di luar diri kita sendiri. Dan hal tersebut membuat kita melakukan hal-hal yang sedikit lebih besar dari yang kita pikirkan.[Hava Haniva Ariantara]
KOMENTAR