Semarang, IDEAPERS.COM - Tepat pukul delapan malam, puluhan penonton yang sejak satu jam lalu memenuhi Gedung O lantai tiga Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo digiring ke sebuah ruangan.
Di ruangan gelap berukuran kurang lebih seluas lapangan futsal itu, mereka membentuk lingkaran dan mengelilingi seberkas cahaya di salah satu sudut ruangan tersebut.
Belum sempat merapikan tempat duduk di atas lantai kelas itu, telinga semua orang dimanjakan dengan suara orang yang menyenandungkan tembang yang kira-kira berbahasa Lampung.
Setelahnya pemain itu menceritakan kisah kehilangan sosok kakek yang selama ini menggantikan ayahnya yang telah tutup usia. Banjir jadi musabab kakeknya berpulang, ekspresi wanita yang bercerita itu membuat hati penonton terenyuh tak berkeluh.
Belum habis di kisahnya, penonton dibuat linglung tetapi asyik dengan konsep pergantian latar tempat para pemain yang berpindah-pindah, terkadang di sisi depan, tiba-tiba mengarah ke belakang, dan samping.
20 menit sebelum habis cerita, semua orang dibuat tawa terpingkal-pingkal oleh dialog pemain "Nak tombo ngeleh iku yo mangan mbak, dudu malah dikei promag." Jawabnya saat memerankan korban banjir yang didatangi oleh petugas medis dari pemerintah.
Tak henti-hentinya kami menyeringai sambil mengangguk seakan mengiyakan saat para pemain menyampaikan kritik terhadap pemerintah soal penanganan korban yang terkena banjir.
Di lain cerita yang ditampilkan Teater Metafisis pada Minggu (29/05/22) malam itu, di kehidupan nyata, banjir menjadi fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini.
Banyak tersimpan cerita yang luput dari lensa media, salah satunya kenangan para korban bencana dan sisi miring dari uluran tangan pemerintah.
Dengan para pemain mengobservasi dan mengenal penderitaan para korban banjir seperti yang terjadi di Lampung, Semarang, ataupun tempat asal masing-masing, cerita dalam pentas tersebut seolah mewakili suara para korban.
Eka Nusa Pertiwi, Sutradara pentas mini "Banjir; Kenangan-kenangan yang hanyut" mengatakan, banjir menjadi topik yang paling tepat untuk mengingat kenangan yang telah hilang.
"Sebenernya kita mau mencapter bencana alam dengan bencana banjir dan pastinya ada kenangan-kenangan yang hanyut di situ (saat diterpa banjir)" ujar pemateri di program 36 jam Belajar Akting itu.
Acara ini merupakan hasil dari program yang diadakan pada 26 sampai 29 Mei 2022 kemarin.
Mbak Eka, sapaan akrabnya juga mengatakan, belajar akting bisa menjadi obat bagi orang-orang yang sering menggunakan media sosial untuk lebih peka terhadap lingkungan di sekitarnya.
"Nah, di sini temen-temen belajar memahami karakter-karakter yang undergound atau karakter kelas bawah. biar kepekaan mereka terbuka terhadap lingkungan sosial dan kondisi sosial saat ini," katanya kepada kru IDEAPERS.COM usai pentas tadi malam.
Para pemain digembleng dengan banyaknya praktik dan olah tubuh saat sesi latihan, tentunya dengan berlandaskan teori yang telah ditetapkan.
Sementara itu Lurah Teater Metafisis, Hikam Maula Azmi Daula mengatakan, acara 36 jam belajar akting ini diadakan untuk yang mau mendalami dunia peran dan dibuka untuk umum.
"Konsep ini berasal dari laboratory of acting, dimana layaknya home scooling namun ini bentuk pelatihan yang di pelopori oleh mbak eka, jadi selama 36 jam belajar akting itu memang basic keaktoran. Acara ini diadakan di seluruh Indonesia, di antaranya di Semarang yang bekerja sama dengan metafisis," katanya.
Eka berharap, dengan adanya acara ini bisa memacu gerak teater di Semarang untuk terus berkarya dalam seni pertunjukan teater.
"Karena dimasa pandemi teater fakum tidak pentas, mungkin ini jadi semangat baru atau angin segar bagi teater Semarang. virus itu terus ada dan sekarang waktunya kita membenahi diri dan kita harus maju, semoga dengan ini akan ada banyak pertunjukan teater yang keren di Semarang," pungkasnya [Rep.Abdul Wahhab/Red.AM]
KOMENTAR