Sebuah ingin yang terpendam begitu lama, pada akhirnya dapat terlaksana. Kendati begitu, kutak tahu, apakah ingin itu bermakna kebahagiaan ataukah penyesalan.
***
Namaku Benjamin. Orang sering mengangapku aneh, dan cenderung menilaiku sebagai orang yang tidak waras. Mungkin karena mereka sering melihat aku berbicara sendiri, kemudian mulutku akan terdiam ketika ada seseorang yang melihatku.
Aku sebenarnya juga tidak paham kenapa aku memiliki kebiasan seperti itu. Ada banyak potongan-potongan cerita yang muncul dalam kepalaku, sehingga aku sering berbicara sendiri mengikuti alur cerita tersebut.
Aku masih ingat betul, bagaimana keonaran yang aku buat di masa kecil. Yang membuat ibuku harus membayar ganti rugi, dan nama ibuku menjadi topik pembicaraan yang sedang trending di sekitar rumah kami.
Kejadian itu berawal saat aku sedang bermain petak umpet bersama teman-temanku. Hingga kemudian kebiasaanku; yang sering beribacara sendiri itu muncul. Ada sebuah ajakan yang memaksaku untuk mengangkat susunan pot bunga saat aku sedang mengumpet dari teman-temanku. "Angkatlah pot itu, angkatlah, angkatlah, kamu bisa melakukan itu." Kalimat itu terus berulang di kepalaku, hingga akhirnya membuat tanganku bergerak untuk mengangkat pot yang ada di depanku. Dan tak menunggu lama, pot-pot yang tersusun rapi di atas rak terjatuh satu persatu.
Kejadian itu tentu saja membuat ibuku menjadi marah, dan memotong uang jajanku selama seminggu untuk mengganti biaya pot bunga yang aku rusakkan. Meskipun sebenarnya ibuku masih menganggap wajar, dan tidak ambil pusing.
Aku juga masih ingat kisah yang diungkapkan ibuku. Gerak bibirnya ketika bercerita, raut wajahnya menahan tangis, dan kebingungan yang menyelimuti wajahnya pagi itu. Ketika aku hampir saja membuat detak jantung ibuku terhenti. Sebab secara tiba-tiba aku muncul di hadapannya membawa sebilah pisau yang kuarahkan ke pergelangan tanganku sendiri.
"Ibu lihatlah, aku sunguh penasaran dengan tanganku ini. Apakah dagingnya mirip dengan daging ayam, atau mirip dengan daging kerbau yang berwarna merah segar. Apakah warna darahnya sama seperti jus sroberi yang ibu buat. Apakah aku juga akan menjerit, seperti ayam yang disembelih kakek, ketika pisau ini aku biarkan mencicipi tanganku ini bu? Sepertinya itu sangat menarik. Baiklah aku akan mencobanya."
Ibu segera menyambar tubuhku dan membawaku dalam hangat tubuhnya. Dan aku masih ingat betul, ketika itu detak jantung ibuku begitu cepat, tak beraturan, nafasnya juga terengah-engah seperti orang yang baru sampai di garis finish dalam lomba lari. Jika waktu itu ibu tak menghalangiku, mungkin sekarang aku tak perlu lagi merasa dihantui oleh bagaimana rasanya mencicipi sayatan pisau. Melihat darah bercucuran dari tangan kecilku ini.
Ada juga kisah lain yang membuat ibuku geleng-geleng kepala melihat tingkah lakuku. Di rumah, aku mempunyai seekor kucing kesayangan yang aku beri nama berry. Saat aku sedang asyik bermain dengannya, ia bertingkah tidak seperti biasanya. Mata mungilnya terus saja memandangi mataku. Mungkin jika aku bisa berbicara kepada hewan, dia sudah bercerita panjang lebar kepadaku.
Suatu ketika aku mengikuti berry sekaligus dengan terus memandangi matanya. Muncul berbagai pertanyaan di dalam kepalaku. Bagaimana kiranya organ dalam seekor hewan? Apakah sama seperti manusia? Apakah darah kucing sama dengan darah ayam? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja muncul di kepalaku dan membuat kepalaku pusing.
Karena tidak tahan oleh berbagai rasa penasaranku, akhirnya aku mengambil pisau. Namun ketika aku sudah mendapatkannya, di dalam kepalaku muncul lagi pertanyaan. Harus darimana dulu aku mengeksekusi si berry ini. Dari atas kepalanya? Tapi itu tak mungkin, tempurung kepalanya terlalu keras. Apakah dari lehernya terlebih dahulu? Ah, tapi lehernya tak sepanjang leher ayam. Aku akan kesulitan nanti. Apakah dari dadanya? Yang kata ibu, di dalam dada ada jantung—ketika jantung seseorang terhenti maka tamatlah riwayat hidupnya.
Tapi lagi-lagi ibu kembali menggagalkan rencanaku. Padahal aku sudah tahu bagian mana yang harus ku eksekusi terlebih dahulu, yaitu perut. Karena sepertinya itu bagian paling empuk untuk menjadi sasaran pertama.
Itu hanyalah secuil kisahku di masa kecil. Sekarang aku sudah dewasa. Aku sebenarnya ingin melupakan berbagai mimpi-mimpi konyol yang hampir saja membuat aku benar-benar gila. Ketika pikiranku terus saja memunculkan berbagai potongan-potongan cerita yang kemudian ketika aku sudah lelah dengan semua itu aku akan mengambil pisau dan melampiaskan hasrat itu pada apa saja yang ada di dalam diriku.
Saat ini aku sudah bekerja, sebagai office boy di sebuah kantor asuransi. Di kantor ini aku bertemu dengan seorang perempuan cantik. Namanya liana. Dia perempuan bertubuh semampai, berwajah tirus, berambut ikal, yang selalu ia gerai setiap kali pergi ke kantor. Setiap kali aku melihatnya, rasanya ada sesuatu yang aneh berdesir di dalam dadaku. Entah apa itu, aku tak faham. Mungkin ini efek karena aku jarang bergaul dengan perempuan.
Semakin hari aku bertemu dengan dia, melihat paras cantiknya, menatap matanya yang mampu menggetarkan dorongan dalam hatiku, aku semakin tak kuat memendam itu sendiri. Aku tidak bisa menahan ini terus-terusan. Aku harus berbuat sesuatu. Dan mungkin inilah saatnya aku mengungkapan setiap gejolak yang muncul dalam diriku.
Pagi ini akan ada rapat di kantor. Entah rapat membahas apa aku tidak tahu, karena itu bukan bagian dari pekerjaanku di kantor ini. Rapat dilaksanakan di lantai dua. Di ruang paling tengah. Ruangan itu memiliki dua pintu. Di ujung kanan dan kiri. Ruangan itu juga dekat dengan tangga darurat menuju lobby kantor.
Aku sudah merancang semuanya, dan memikirkan ini dengan baik. Dan kebetulan, Liana perempuan yang membuat dadaku terus berdetak kencang setiap kali aku melihatnya, duduk di kursi paling ujung di sebelah kanan. Di mana posisinya itu dekat dengan pintu masuk. Aku juga sudah menyiapkan benda yang aku butuhkan. Aku tutupi dengan tisu agar tidak ada orang yang melihatnya. Posisi duduknya juga sudah pas, dia menghadap serong ke kanan. Dan itu akan sangat membantuku.
Saat orang-orang sedang serius memperhatikan presentasi yang ada di depan layar, begitu juga dengan dia, aku mulai memasuki ruangan itu. Aku letakkan gelas minum dengan hati-hati di meja. Lalu aku ambil benda itu, dan dengan perlahan aku berkonsentrasi untuk mulai menjalankan aksiku. Menusuk perut perempuan incaranku. Lalu perlahan darah mulai menetes, membanjiri tanganku.
Dan aku berteriak dengan kencang sambil berlali meninggalkan ruangan itu dan menekukkan kedua tanganku sebagai tanda aku telah menjalankan misiku. Aku tinggalkan pisau itu, karena aku sudah berhasil mewujudkan apa yang aku inginkan sejak kecil, yang selalu digagalkan oleh ibuku.
Namun, semua tak berhenti sampai di sini. Tragedi itu begitu cepat di endus oleh media, siluet wajahku terpampang di berbagai tv. Poster wajahku dengan cepat menempel di berbagai dinding dan sudut kota. Namaku di teriakkan di mana-mana. Semua orang memburu namaku. Dan sesampainya aku di rumah, tubuhku terbujur kaku melihat bendera kuning menghiasi pekarangan rumahku.
[Umi Nur Faizah]
Warga Komunitas Sastra Literada
KOMENTAR