Diskursus mengenai "cantik" dan "kecantikan" perempuan masih menjadi pembahasan yang tidak habis diperbincangkan. Ada ribuan definisi yang menggambarkan apa itu cantik serta bagaimana menjadi "cantik". Bahkan setiap orang mempunyai definisi cantiknya masing-masing.
Saat membicarakan tentang standar kecantikan pun, menjadi sulit untuk meuniversalkan batas dari representasi "cantik". Hal ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma yang digunakan di setiap budaya dalam memandang dan mengaplikasikan konsep kecantikan.
Setiap negara dan kebudayaan memiliki konstruksi cantik-nya sendiri. Di Indonesia misalnya. Cantik selalu digambarkan dengan perempuan yang berkulit putih, badan tinggi, langsing, serta rambut lurus. Atau di Korea Selatan yang menggambarkan kecantikan dengan badan mungil, wajah mungil, serta hidung mancung.
Berbeda dengan dengan salah satu suku di Thailand yang menilai kecantikan dari seberapa panjangnya leher yang dimiliki perempuan, atau di China yang meyakini kecantikan bisa dilihat dari bentuk kaki yang kecil. Serta standar kecantikan di kelompok masyarakat lain, yang memiliki cara pandangnya sendiri dalam mewujudkan bentuk "cantik".
Dari waktu ke waktu, standar kecantikan selalu berubah. Terlebih saat munculnya internet dan globalisasi yang membuka batas teritorial. Bebasnya akses informasi memudahkan pula potensi pertukaran budaya. Seperti di media sosial yang selalu menampilkan citra kecantikan dari berbagai negara. Di mana hal ini memungkinkan mendekonstruksi paradigma kecantikan yang selama ini diamini.
Selain itu, produk-produk kecantikan seperti skincare dan make-up terus dipromosikan secara masif melalui media masa dan iklan di media digital. Hal ini secara perlahan membuat banyak orang tergugah untuk melakukan perubahan dalam hal kecantikan diri. Mengusahakan tampil cantik dengan berbagai cara mulai dari perawatan, merias diri, hingga operasi plastik untuk bisa menampilkan diri sesuai dengan tampilan di ruang internet serta sebagaimana yang diimpikan.
Hiperbeauty dan Identitas "Cantik" Baru
Di era digital, platform media sosial seperti Instagram dan Tik Tok menawarkan konten yang berisikan pilihan filter seperti beauty filters. Dimana filter di media sosial ini selalu berevolusi dari filter efek estetik, efek konyol seperti telinga anjing, kelinci dan kucing hingga filter kecantikan dengan kategori wajah ber-make-up, glowing, kulit mulus, bulu mata lentik dan lain sebagainya.
Beauty filters dengan Augmented Reality berbasis foto dan video selain menawarkan filter riasan juga dapat mengubah proprosi wajah. Fitur wajah seperti operasi plastik dan sesuai standar kecantikan Eropa, dengan wajah lebih tipis, hidung lebih kecil, dan bibir montok.
Filter kecantikan pada dasarnya alat pengeditan foto otomatis yang menggunakan kecerdasan buatan dan visi komputer untuk mendeteksi fitur wajah dan mengubahnya. Menafsirkan hal-hal yang dilihat kamera, dan mengubahnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pembuat filter. Komputer mendeteksi wajah dan kemudian melapisi template menciptakan wajah sempurna ala komputasi.
Melansir dari technologyreview.com, Facebook dan Instagram mengatakan lebih dari 600 juta orang telah menggunakan setidaknya salah satu efek AR terkait filter kecantikan sebagai "kategori populer" efek. Kemudian hasil survei yang dilakukan oleh Girlguiding menemukan sepertiga perempuan muda tidak akan mengunggah selfie mereka tanpa menggunakan filter yang mengubah penampilan. Sebanyak 39 persen dari 1.473 responden yang berusia sekitar 11 sampai 21 tahun mengatakan, mereka merasa kesal karena tidak memiliki penampilan seperti di media sosial di dalam kehidupan nyata.
Penggunaan beauty filters ini menampilkan dualisme yang bersebrangan antara dunia nyata dan dunia virtual. Menujukan identitas kecantikan bentukan komputasi yang kewajaranya menjadi standar kecantikan baru. Tren ini secara halus membentuk paradigma kecantikan yang harus diikuti.
Ketika mereka terus menonton hingga menggunakan konten beauty filters secara fanatik seakan ada ketidakpercayaan dalam dirinya. Menutupi dirinya yang asli dan menampilkan kecantikan "paslu" untuk kepuasan dirinya atau demi pengakuan sosial.
Sementara, melansir dari theguardian.com (01/01/222), Dr Jasmine Fardouly, ahli citra tubuh dari University of New South Wales, mengatakan semakin tidak terjangkaunya standar kecantikan dinilai berbahaya.
"Ini mempromosikan kecantikan ideal yang tidak dapat dicapai," katanya. “Itu tidak dapat dicapai oleh siapa pun, sungguh, karena tidak ada orang yang terlihat seperti itu. Wajah semua orang dibuat agar terlihat sama persis.
Algoritma beauty filters ini secara tidak langsung telah mendiskriminasi wajah para pengguna. Dimana wajah yang tidak sesuai akan diganti dengan wajah yang ditawarkan oleh filter tersebut. Sedangkan wajah setiap orang di dunia berbeda-beda dan memiliki karakteristik cantiknya sendiri-sendiri.
Standarisasi kecantikan secara tidak langsung menampilkan persona diri dan menjadi salah satu pembentuk identitas yang dimiliki setiap orang, terkhusus perempuan. Identitas diri yang seharunya menjadi unik sebagai kekhasan setiap diri melebur bersama jutaan citra dari filter penampilan. Hal ini membuat setiap orang terlihat sama dan kehilangan karakteristik dari keunikan penampilannya.
Terbukanya batas-batas informasi menjadi arena dalam hal bagaimana kita memilih untuk bertindak. Ketika setiap hal baru diterima begitu saja atau bahkan digunakan sebagai paradigma dalam berperilaku, bukan tidak mungkin identitas yang kita miliki semakin menjadi satu wajah identitas yang tidak berciri.
Lalu, bagaimana kita akan mampu memahami suatu hal ketika "diri" saja masih terus dimanipulasi dan dipaksakan menjadi imitasi dari orang lain yang juga belum tantu asli? [Gita Fajriyani]
KOMENTAR