Dalam beberapa keadaan, terkadang manusia mempertanyakan tentang nasibnya. Misalnya saat seseorang dalam keadaan terpuruk, terkadang muncul dalam benak pikiran, apakah ini sudah suratan takdir? Jika memang takdir, apakah bisa diubah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga kerap kali menjadi menjadi perbincangan, bahkan di ranah akademik. Bagaimana orang-orang mendefinisikan makna takdir, bagaimana posisi takdir dan kebebasan manusia?
Dalam ilmu Tauhid istilah takdir merujuk pada qadla' atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauhil mahfudz sejak sebelum dunia tercipta. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hadid: 22 yang berbunyi; "Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah".
Lalu bagaimana korelasinya dengan pertanyaan mengenai apakah takdir bisa diubah? hal ini tidak bisa hanya dijawab dengan iya atau tidak. Pasalnya ada posisi manusia yakni usaha yang berkaitan dengan istilah takdir. Usaha yang meliputi tindakan, pilihan rasional dan doa.
Dalam sebuah keputusan atau pilihan manusia sebelumnya telah melalui proses. Mulai dari mengumpulkan informasi, berpikir sampai akhirnya menemui keputusan dan tindakan. Tindakan yang dilakukan melalui kesadaran penuh ini tidak bisa dijadikan tolak ukur melawan takdir. Ini adalah bagian dari usaha manusia.
Demikian pula ketika seseorang yang awalnya miskin kemudian sukses berkat usaha dan kerja kerasnya. Kesuksesannya ini tidak bisa kita sebut sebagai melawan takdir kemiskinan, namun bagaimana ia mau mengubah nasib hidupnya untuk menjadi lebih baik.
Sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah SWT Q.S. Ar-Ra’d ayat 11, yang berbunyi; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Kata "keadaan" dalam ayat di atas sebenarnya adalah kondisi mendapat nikmat dari Allah. Maksudnya, suatu kaum akan selalu mendapat kenikmatan dari Allah dan ini akan terjadi terus menerus hingga kemudian kaum itu sendiri yang mengubah kenikmatan tersebut dengan maksiatnya. Bila mereka telah bermaksiat, maka nikmat akan diubah menjadi musibah. Demikian juga ketika maksiat telah berhenti, maka musibah akan kembali diubah menjadi nikmat.
Seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 53 yang artinya, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui".
Usaha bukanlah sebuah tindakan melawan takdir, namun manusia melalui usahanyalah manusia dapat merubah hidupnya menjadi lebih baik. [Abdul Wahhab]
KOMENTAR