Perkenalkan, saya ibu anak satu. Sebetulnya, Anak kami dua. Yang satu mati, bersahabat dengan lapar juga terpaksa menikahi kesakitan. Anak kami, Tuan... butuh susu. Setetes nira pun boleh, jika memang tiada. Agar kami bisa mabuk sebagaimana Tuan mabuk. Tuan ada?
Aku bingung. Kah Tuan juga bingung? Jalanan, Tuan tutup semua. Dari mana kuharus lewat. langit mendung Tuan, kuitari. Tak sedikit pun celah kutemui. Kah perlu kubuat bakhtera melayar susuri lautan, sampai unjung semu menemu Tuhan(?)
Tuan, Tuan. Tuan bagaimana kabar? Kami harap baik. Tuan jangan khawatirkan nasip kami. Kami pulas di atas lembaran surat kabar dan baliho yang baru saja Tuan pasang di jalanan.
Tuan mau kemana dan sedang di mana? kalender kami masih menunjuk "2021". Sedang, kalender Tuan telah menunjuk ke 2024.
Ah, Kenapa Tuan hendak pergi ke tahun 2024? P e m i l u? Maaf Tuan, Kami tak tahu. Yang kami tahu hanya berkurung diri di rumah. Sebab katanya dunia sedang pandemi dan resah! ... Entah. Ndak mASUk.
Di bawah payung semburat lintang, Tuan. Tidurku diintai peluru. Yang satu persatu masuk bersama rinding suara, huruf, dan kata-kata. Media, menjelma kacamata hitam yang siap siaga tutupi mataku melihat dunia. Kuingin. Pandangi gunung biru sesungguhnya. Tatap laut beserta mutiaranya. Ketahui shastasaurus bringas tanpa ditutup-tutupi penguasa. Bukan sampah, bukan limbah.
Sumpah, kubersimpuh teteskan keluh, Tuan.
Semarang, 10 Agustus 2021
[Faidhumi]
Warga komunitas sastra Literada Semarang
KOMENTAR