Satu minggu setelah Hari Raya Idulfitri, masyarakat Jawa juga memperingatinya sebagai Hari Raya Ketupat. Dalam tradisi ini, biasanya masyarakat desa berkumpul di suatu tempat seperti masjid atau musala untuk melakukan selamatan. Masing-masing membawa hidangan makanan, yang didominasi oleh ketupat.
Makanan yang terbuat dari beras dengan dibungkus selongsong dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur), sudah menjadi maskot makanan khas lebaran. Namun dalam tradisi Jawa makanan ini bukan hanya sajian pada hari kemenangan, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam.
Di Pulau Jawa tradisi kupatan menjadi buah pemikiran para Walisongo saat melakukan penyebaran dakwah Islam melalui budaya. Tradisi kupatan menjadi cara walisongo untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan saling menjalin silaturahmi. Sosok yang memeperkenalkannya adalah Raden Mas Sahid atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kali Jaga.
Pada masa itu, Kanjeng Sunan memperkenalkan ketupat sebagai simbol perayaan Hari Raya Idulfitri pada masa kerajaan Demak kepemimpinan Raden Fatah. Tradisi itu terus berkembang di masyarakat hingga saat ini.
Ketupat atau kupat memiliki banyak makna sebagaimana yang telah diketahui oleh masyarakat Jawa. Kupat diartikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol dari empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan.
Pertama, lebaran diambil dari kata lebar yang artinya suatu tindakan yang berarti telah selesai. Maksudnya, setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan di bulan Ramadan, umat Islam diperbolehkan makan di hari lebaran.
Kedua, luberan berarti meluber layaknya mengisi gelas dengan air sampai meluber dari wadahnya. Maksudnya kita dianjurkan untuk berbagi rizki atau bersedekah. Kebiasaan untuk berbagi ini menjadi tradisi pada saat lebaran.
Ketiga, leburan berarti lebur atau habis. Setelah menunaikan salat Idulfitri kita bersama sanak keluarga dan tetangga bersilaturahmi untuk saling memaafkan sehingga dosa-dosa kita lebur di waktu itu. Inilah yang dimaksud menjadi bayi suci saat lebaran tiba.
Keempat, laburan berasal dari kata labur atau kapur, yang berarti bersih putih. Harapan setelah lebaran agar selalu menjaga kesucian hati dari dosa. Pasalnya manusia dituntut untuk menjaga perilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.
Itulah filosofi tradisi kupatan yang selalu kita laksanakan di hari lebaran bersama keluarga yang diajarkan oleh Walisongo.
[Wahhab]
KOMENTAR