Sejak lahir ke dunia hingga meninggal kelak, setiap manusia pasti dibingungkan dengan apa itu makna kehidupan. Pertanyaan paling esensial ini barangkali tidak pernah terjawab. Setiap kali mencoba mencarinya, dunia akan menyembunyikan jawabannya. Karena hidup memang tidak bermakna. Namun dalam ketidakbermaknaan itu, manusia tetap dapat menemukan kebahagiaan.
Setidaknya begitulah sejarah perjalanan hidup manusia yang tidak berujung. Seperti dalam kisah Sisifus, tokoh mitologi Yunani Kuno yang dihukum dewa untuk mengangkat batu sampai ke puncak gunung. Di mana dalam kisah itu, betapa sia-sianya manusia dalam mengejar tujuan dan mencari makna hidupnya. Perjuangan sekeras apapun akan berakhir pada kegagalan.
Kematian mungkin jalan terbaik untuk mengakhiri semuanya setelah manusia sadar bahwa hidup adalah kesia-siaan. Namun hal itu bukanlah jawaban atas segala penderitaan yang dihadapi. Sisifus tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hukuman abadinya dengan bunuh diri. Bisa saja ia memilih mati, namun bunuh diri hanya akan menjadikannya pecundang. Ia tidak pernah lari dari kenyataan, tidak pernah mengkhianati perjuangannya sendiri.
Mitos Sisifus kembali didengungkan Albert Camus di tahun 1942 ketika dunia berkecamuk. Ketegangan Perang Dunia II membawa manusia berada dalam titik keputusasaan. Beban di pundak terasa amat berat. Ketakutan terus mengiringi setiap helaan napas dan kematian menjadi bayang-bayang yang menakutkan.
Tentu bukan hanya masalah itu yang dipersoalkan Camus. Sastrawan dan pemikir Aljazair itu sudah pasti prihatin dengan nasib tanah kelahirannya yang menjadi korban penjajahan. Lebih jauh, ia mengingatkan tentang kehidupan yang absurd. Tentang harapan manusia yang tidak mungkin terwujud.
Pascaperang semua berharap situasi akan lebih baik dari masa itu. Tidak akan ada lagi konflik yang menghancurkan negara-negara di dunia. Tidak akan ada lagi peristiwa yang mengorbankan jutaan nyawa manusia. Namun siapa sangka dalam tatanan “dunia baru”, manusia kini kembali berada dalam ambang ketakutan dan keputusasaan.
Pandemi covid-19 ternyata lebih dahsyat dari gejolak perang. Virus itu tak kasat mata, tak bisa disentuh, namun kekuatannya lebih besar dari bom atom yang pernah menghanguskan Hiroshima dan Nagasaki 75 tahun lalu. Semua orang kebingungan dan mencari tempat berlindung. Negara yang merasa angkuh dari awal memang bukan tempatnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi pencapaian gemilang dalam peradaban modern kini juga belum mampu menyelamatkan.
Apakah tidak ada jawaban atas masalah ini? Padahal dari awal semua sama-sama berjuang dan mencoba keluar dari zona yang mengerikan ini. Namun barangkali kita lupa bahwa batu yang didorong Sisifus ke puncak gunung pasti akan jatuh juga.
Inilah absurditas seperti yang digaungkan Camus. Manusia tidak akan pernah menyelesaikan hukuman abadinya. Sejarah akan terus berulang. Konflik akan tetap sama dengan kemasan baru.
Eksistensialisme Camus menolak adanya harapan. Agak aneh memang. Meskipun harapan tidak pernah pasti, tapi seringkali dijadikan obat dari segala ketidakpastian agar manusia mampu bangkit dari jurang penderitaan. Di masa-masa mencekam ini, kematian bisa datang kapan saja tanpa sepengetahuan kita. Tidak bisa ditakar dan dikira-kira. Dan kita tahu bahwa harapan tidak akan menyelamatkan kita dari segala kemungkinan.
Adakah dari kita yang merasa putus asa dengan situasi yang mendebarkan ini? Tentu banyak. Jika takdir dan kuasa Tuhan menjadi alibi, bukankah itu sama saja dengan putus asa? Padahal takdir adalah satu pilihan yang kita perjuangkan, bukan satu-satunya pilihan yang kita jalankan. Kita dapat bangkit dari satu takdir menuju takdir yang lain.
Dan adakah dari kita yang belajar dari kondisi genting ini? Memang sulit untuk menemukan kebijaksanaan dengan mengambil makna dari setiap peristiwa yang terjadi. Tetapi seperti kata Camus, sekalipun dunia tidak bermakna, manusia adalah satu-satunya mahluk yang berusaha keras menciptakan makna.
Kehidupan manusia adalah kisah perjuangan Sisifus dalam menjalankan hukumannya. Dalam tafsir saya, Sisifus bukanlah dikutuk untuk mendorong batu. Tetapi ia dikutuk untuk memaknai hukuman itu sebagai perjuangan yang membuatnya tersenyum bahagia. Meskipun terus berada dalam penderitaan, perjuangan tanpa kenal lelah itulah sumber kebahagiaan manusia. Kita harus membayangkan Sisifus bahagia. Kita harus menemukan kebahagiaan dalam hidup kita.
[Mahfud]
KOMENTAR