"...dan berkatalah kalian semua kepada manusia dengan perkataan yang baik...". QS. Al-Baqarah ayat 83.
Dalam Tafsir al-Jalalalain Juz Awal, ditafsirkan bahwa kata husna sebagai suatu bentuk masdar dan sifat darikata yang terbuang berupa masdar dari kata kerja perintah sebelumnya, yakni 'qaula'. Kata selanjutnya, bermakna mubalaghah yang berarti kelipatan atau kesungguhan.
Penafsiran lainnya juga disampaikan oleh Al-Baidhawi dalam kitabnya, yang jika diartikan bahwa perintah untuk berkata kepada manusia dengan baik itu sungguh-sungguh harus dilaksanakan. Apalagi dalam kalimat tersebut, Allah SWT menggunakan kata perintah (fiil amr) yang jika dalam kajian Ushul Fiqh berarti kewajiban pelaksanaanya.
Menambah keterangan al-Suyuthi, Imam Ahmad al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Shawi menjelaskan bahwa kata manusia di situ berlaku umum. Tidak terbatas kepada orang dengan agama atau bangsa tertentu. Selain itu, ayat tersebut juga senada dengan sebuah hadis Wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin.
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Adzim pada Juz Awal, menjelaskan makna pada ayat tersebut juga mengingatkan orang lain untuk berlaku baik dan mencegah diri dari kemungkaran. Juga seharusnya menjadi manusia yang berperilaku baik bukan hanya sebatas keburukan terus menerus.
Pembahasan ini, mempunyai keterhubungan dengan fenomena di Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini. Seperti terlihat di Media Sosial manapun, mulai dari WhatsApp sampai Instagram, dipenuhi dengan menusia tukang menggerutu. Hanya saja, mereka tidak mempunyai keberanian untuk mengatakannya secara langsung.
Pemaknaan fenomena ini bukan dilihat dari keberanian seseorang untuk bertemu mangsanya secara langsung. Namun, dari pembahasan dan juga kata-kata di kolom komentar Media Sosial mulai tidak terkontrol lagi. Pasalnya, tidak adanya pertemuan tersebut, membuatnya bisa leluasa menggerutu secara terbuka.
Dengan bisa saja dirahasiakan identitas akun media sosialnya, bukan berarti apa yang dilakukan tidak diawasi. Namun, adanya kemudahan mengakses pengguna media sosial lainnya, membuat pengawasan terhadap diri kita di internet semakin rawan. Oleh karena itu, perlu adanya mawas diri dalam bersikap dan mengunggah sesuatu di media sosial.
Seperti yang telah diterangkan oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, bahwa setiap komentar atau mengunggah sesuatu, pastikan bahwa kata yang dipilih itu baik, juga tidak sampai menyinggung perasaan orang lain dan merugikannya. Hal ini yang membuat media sosial menjadi berbahaya bagi kita.
Dikutip dari nuonline.com, Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul "Dia di Mana-mana 'Tangan' Tuhan di Balik Setiap Fenomena" (2004: 213) mengingatkan kita bahwa apapun yang sudah keluar dari lisan atau jemari kita di media sosial itu menawan kita sendiri.
Hal ini sama dengan penjelasan dalam Al-Qur'an Surah Qaf ayat 18, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir". Oleh karena itu, dalam hal bermedia sosial, bukan hanya netizen saja yang mengawasi, tapi juga kedua malaikat, yakni Raqib dan Atid.
Dengan selalu mengingat peringatan tersebut, seorang akan lebih segan berlaku ataupun berkata tidak baik di manapun, meski di media sosial. Apalagi ketika sudah mengucapkan sesuatu di media sosial seseorang sama sekali tidak merasa bersalah. Selama hal itu tidak menimpa dirinya atau kerabatnya.
Padahal kita sering diingatkan dengan sabda Rasulullah SAW, bahwa seorang Muslim seharusnya mampu menjaga keselamatan muslim lain dari lisan dan tangannya. Lebih dari itu, seperti peribahasa yang sering didengarkan, bahwa "Memang dasar lidah tak bertulang".
Maksudnya, banyak manusia yang terpeleset karena kedua organ tubuh tersebut. Tak ayal jika ada pepatah yang menyebutkan jika keselamatan manusia terletak pada bagaimana ia menjaga lisannya. Walaupun tidak mengatakan hal kepada orang lain secara langsung. Karena perkembangan zaman, semua komunikasi beralih ke media sosial.
Pen
KOMENTAR