"Telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: Kami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang, maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing(nya), lalu memberikannya kepada anjing tersebut. Dikatakan: Orang-orang yang bersamanya mengatakan: Sesungguhnya anjing itu mahr."
Di atas merupakan riwayat dari Muhammad bin Ishaq yang menjelaskan tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz. Hal tersebut termaktub dalam kitab Tafsir Al-Qur'an, dari Imam Ibnu Katsir. Riwayat itu berisi tentang kisah dari Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dengan seekor anjing yang tengah melintasinya.
Sebelum mengurai kisah lebih dalam, perlu adanya memahami terlebih dahulu makna "mahrum" di sini. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS al-Dzariyat ayat 19 bahwa "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian."
Dalam terjemah Al-Quran bahasa Indonesia, mahrm diartikan sebagai orang miskin yang tidak mendapat bagian. Namun kata "mahrum" tidak bisa diartikan sesederhana itu, mengingat banyak dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama yang mencoba mmenafsirkannya. Terdapat beberapa pendapat mengenai makna dari "mahrum" sendiri.
Seperti Sayyidina Ibnu Abbas dan Imam Mujahid yang memaknainya kata "mahrum" menjadi al-muhyf, yang berarti Tidak (memiliki) bagian di Baitul Mal, tidak (punya) mata pencaharian, dan tidak (memiliki) pekerjaan yang (dapat memenuhi kebutuhan) makan(nya). Sementara Sayyidah Aisyah r.a mengartikan al-muhyf sebagai orang yang kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan.
Perintah baik Al-Qur'an tidak hanya dipahami dalam nalar, tetapi dibuktikan dengan perilaku. Sebagaimana umumnya manusia, kita begitu fasih mengatakan di pikiran tentang sesuatu hal yang baik, tetapi pemahaman mengenai melakukannya sangat minim. Apalagi jika kebaikan itu harus dimaknai dan dimengerti terlebih dahulu sebagaimana kisah Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan seekor anjing ini.
Memahami seekor binatang atau anjing termasuk dalam "al-mahrm" dibutuhkan pengetahuan. Pengetahuan yang dibarengi keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pemahaman ini bisa teraktualisasi melalui tindakan tanpa adanya kalkulasi.
Selama ini kita kepada manusia saja seringkali berkalkulasi dalam memberi misalnya untuk sekedar sodaqoh atau infak, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup. Atau orang kaya yang sungkan untuk membayar zakat atapun pajak. Lalu bagaimana dengan binatang? Apalagi diketahui, kodrat manusia dan binatang sangat berbeda. Seperti dalam hal pengetahuan.
Seringkali binatang hanya diberikan sisa dari apa yang manusia makan. Apakah itu sudah termasuk pemberian yang sesungguhnya? Karena makanan yang akan diberikan sudah tidak bisa lagi disebut 'makanan' dan siap dibuang. Seandainya tidak ada binatang pun, kemungkinan makanan tersebut sudah berada di tong sampah.
Dalam hal ini, menunjukkan bahwa sisi 'dermawan' manusia masih jauh dari kata tumbuh. Sedangkan kita masih saja terkungkung dalam ruangan yang penuh 'ke-kikir-an". Padahal, semenjak masih kecil sudah diajarkan tentang perilaku kebaikan menurut syariat Islam. Namun, sepertinya pengetahuan tersebut hanya mendekam di pikiran dan tidak ada usaha untuk melakukannya.
Ketika berada di kondisi seperti ini, manusia perlu berkaca pada kedermawanan hati Sayyidina Umar bin Abdul Aziz. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu kambingnya pada seekor anjing dan bukan makanan sisa. Beliau mengambil daging yang masih utuh dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah "al-mahrm".
[Gita]
KOMENTAR