Sebagai manusia pastinya memiliki rasa kecewa yang mendalam kepada seseoarang. Apalagi, tindakan tersebut sudah termasuk menjelek-jelakan kita, bahkan sampai menzalimi. Dengan begitu, kita otomatis akan mengungkapkan sumpah serapah, maki-maki yang disertai kutukan, hingga kata-kata buruk kepada orang tersebut.
Padahal sebagai orang Islam, perbuatan tersebut bukan termasuk cerminan akhlak terpuji yang harusnya dilakukan. Termasuk mendo'akan atau bahkan mengharapakan kebinasaan atau keburukan untuk orang yang sudah melakukan hal yang teruji kepada kita.
Hal ini menjadi permasalahan yang sangat diperhatikan oleh Imam Al-Ghazali. Dilansir dari nu.online(16/11/20) ini bahwa beliau telah menjelaskan tentang pembahasan ini di dalam dua karya besarnya. Salah satunya, sebagaimana yang sudah diterangkan dalam Kitab Ihya Ulumuddin, bahwa perbuatan seperti ini termasuk akhlak tercela dalam syariat Islam.
"Dekat dengan laknat adalah mendoakan keburukan untuk orang, termasuk mendoakan orang yang berbuat zalim, seperti doa seseorang, ‘Semoga Allah tidak menyehatkan badannya,’ ‘Semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya,’ atau doa keburukan sejenisnya karena semua itu adalah perbuatan tercela."
Dalam hadits juga disebutkan bahwa, "Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar, tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan hak orang yang berbuat aniaya atas orang yang teraniaya pada hari kiamat," (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’i Ulumiddin, [Kairo, Darus Syi‘ib: tanpa catatan tahun], juz IX, halaman 1569)
Dari penjelasan diatas, bisa dipahami bahwa Imam Ghazali mengkhawatirkan terjadinya hal tersebut oleh umat Islam. Terlebih jika doa tersebut diterima oleh Allah SWT. Karena melewati batas ke-zalim-an ini, orang yang awalnya men-zalimi, malah berubah status menjadi posisi sebagai orang yang dizalimi.
Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai ini, Imam Ghazali lebih lanjut diterangkan oleh Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi melalui syarah Ihya Ulumiddin, Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin. Artinya, "Menurut saya, hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abid Duniya perihal tercelanya marah."
Selanjutnya, hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam Surah Asy-Syura ayat 42 bahwa "Sungguh, jalan salah-dosa berlaku atas orang-orang yang berbuat aniaya kepada manusia", (Sayyid Muhammad Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz VII, halaman 493).
Pada karya lainnya, yakni dalam Kitab Bidayatul Hidayah. Imam Al-Ghazali mengingatkan hal serupa. Jangan sampai kita mendoakan kebinasaan atas diri orang lain yang telah berbuat zalim saat berada dalam posisi kecewa dan marah. Karena dikhawatirkan bobot doa yang telah dipanjatkan bisa melewati batas kezalimannya sebagaimana keterangan Syekh M Nawawi Banten yang menjelaskan dalam Kitab Bidayatul Hidayah tersebut.
Artinya, "Ketujuh (mendoakan) kebinasaan untuk (orang lain. Peliharalah mulutmu agar tidak mendoakan seorang pun dari makhluk Allah sekalipun kamu dizalimi) oleh orang tersebut. (Pasrahkan) serahkan (urusannya) masalah orang yang menzalimi[mu] (kepada Allah). Cukup Allah yang menyelesaikannya."
(Dalam hadits disebutkan, ‘Sungguh, orang yang dizalimi mendoakan) kebinasaan (untuk orang yang menzaliminya sampai lunas terbayar) pembalasan dengan kezaliman yang setimpal (tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan) ketambahan (hak orang yang berbuat zalim terhadapnya) terhadap orang yang dizalimi (yang akan dituntut olehnya).
Maksudnya orang yang zalim kelak akan menuntut kelebihan haknya terhadap orang yang dizaliminya (pada hari kiamat’)” (Syekh M Nawawi Banten, Maraqil Ubudiyyah ala Bidayatil Hidayah, [Semarang, Maktabah Al-Alawiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 69).
Melalui beberapa keterangan di dalam karya besar dari Imam Ghazali, tindakan mendoakan dan pengharapan kebinasan orang lain ini berisiko pada tindakan yang melampaui batas. sehingga kita jadi kalap dan berbuat zalim dengan doa sehabis-habis keburukan atas diri orang lain. Penganiayaan dan kezaliman oleh siapapun dan melalui apapun (doa misalnya) termasuk tindakan terlarang dalam Islam meski dilakukan oleh orang yang semula terzalimi dan teraniaya.
[Pen]
KOMENTAR