Problematika sistem perkuliahan online di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang sampai sekarang belum menemukan titik terang. Padahal dalam penerapannya, sudah hampir menginjak dua semester, jika dihitung sejak penetapan status siaga oleh Rektor di lingkungan kampus.
Keputusan ini tertuang dalam surat edaran bernomor B-1630/Un.10.0/R/HM.00/03/2020 tentang penerapan sistem perkuliahan secara online selama dua pekan. Sistem yang baru, mengharuskan semua kegiatan perkuliahan dilakukan dengan menggunakan program aplikasi yang disediakan oleh pihak kampus.
Di waktu yang sama juga, pihak universitas meminta pimpinan fakultas dan pascasarjana untuk menyiapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan mahasiswa. Yang terpenting masih dalam ranah peraturan kampus, yakni menghindari tatap muka secara langsung (offline).
Peraturan perubahan sistem ini bukan hanya terjadi dalam ranah perkuliahan saja, namun aktifitas kegiatan oranisasi kemahasiswaan di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) fakultas maupun universitas. Adanya alasan ini juga, mahasiswa dilarang beraktifitas dan melakukan kegiatan di dalam kampus.
Selama berjalannnya kuliah online, tidak banyak yang berubah terkait efektifitas sistem yang digunakan. Masih saja ada keluhan dari mahasiswa bahkan beberapa dosennya.
Mulai dari kegiatan absensi hanya sebatas menjawab 'Waalaikumsalam' sampai diskusi satu arahnya saja. Apalagi ketika kegiatan perkuliahan hanya dilaksanakan melalui WhatsApp grup, mungkin mahasiswa masih bisa melakukan aktifitas lain di rumahnya. Seperti mencuci baju, memasak, main game, tidur, dan lain sebagainya.
Sistem online ini tidak hanya berdampak pada proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga merambah ke ranah regulasi sistem yang berlaku juga. Banyak detail sistem yang sering terlupakan oleh pihak birokrasi kampus, dan sangat jarang dievaluasi. Seperti metode pembelajaran yang tidak memahamkan, tidak adanya sinyal, kuota, sampai pemahaman teknologi bagi tenaga pengajar (dosen) di UIN Walisongo Semarang.
Jika dilihat dengan status UIN Walisongo Semarang yang sudah terakreditasi A dan merupakan Universitas riset terdepan di Asia, masalah perkuliahan online saja belum bisa diselesaikan sejak awal ditetapkan. Rasanya pembenahan hanya dilakukan bagian cover dan pencitraan saja. Sedangkan kesejahteraan masyarakat kampus terkhusus mahasiswanya belum sepenuhnya terpenuhi.
Sebagai contoh, problem susah sinyal di beberapa daerah tempat tinggal mahasiswa dan borosnya kuota karena penggunaan aplikasi perkuliahan. Banyak mahasiswa yang harus memutar cara untuk tetap bisa mengikuti perkuliahan dengan efektif. Seperti pergi ke tempat yang jauh dari rumah demi mendapatkan sinyal, bekerja demi membeli kuota, menggadaikan barang kesayangan, dan lain sebagainya.
Menanggapi keresahan dari banyaknya mahasiswa soal kuota internet, pihak kampus memberi solusi yang dirasa sudah lebih cukup. Yakni membagikan kuota gratis. Dari informasi yang didapatkan dari banyak mahasiswa, kuota yang akan dibagikan sebesar 30GB. Persyaratannya hanya mengisi data diri yang sudah disediakan di web walisiadik. Tapi faktanya, kuota yang didapatkanya hanya 5GB dan tidak semua mahasiswa tidak mendapatkannya. Setau saya, hanya pengguna kartu telkomsel dan indosat bisa mendapatkan kuota kampus dengan lancar. Lalu, yang lain?
Selain itu, ada juga masalah metode pembelajaran yang sangat tidak bisa dipahami oleh mahasiswa. Ketidakefektifan perkuliahan online dirasakan ketika dialektika di dalam forum perkuliahan hanya berlangsung satu arah saja. Tidak hanya perkara keluasan wawasan dan kebebasan berpendapat, durasi pemberian materi juga kerap kali dikeluhkan mahasiswa.
"Kadang bosan pas kuliah online, cuma dengerin dosen menyampaikan materi sampe lebih dari durasi perkuliahan," cerita salah seorang mahasiswa.
Apalagi perkuliahan yang tidak membahas materi, namun hanya diberi tugas setiap harinya. Bahkan banyak mahasiswa merasa perkuliahan sekarang ini (online) tidak ada esensinya sama sekali. Timbal balik dari setiap materi pembahasan perkuliahan tidak pernah didapatkannya, malah sekedar mengisi absen dan mengerjakan tugas. Mana bisa paham?
Dari semua problem yang dikeluhkan mahasiswa terkait efektifitas kuliah online, ternyata ada keluhan yang lebih miris lagi. Bahwa masih ada sebagian dosen dan tenaga kerja yang gagap terhadap teknologi. Hal ini kembali menimbulkan tanda tanya, sejauh mana kampus mempersiapkan regulasi kuliah online?
Terlepas dari permasalahan yang masih belum ada titik terang dalam sistem perkuliahan online, satu hal yang pasti dan sangat dibutuhkan saain ini. Kembali offline! Terkungkung terus-menerus di dalam lingkungan yang terbatas, tentunya sulit membantu proses bernalar dan benar-benar menjalankan peran mahasiswa.
Sesistematis apapun sistem yang dirancang untuk menyukseskan transfer pengetahuan secara online, tetap tidak akan bisa menggantikan dialektika ketika bersosial secara langsung. Terlebih perihal proses bagaimana "menjadi" mahasiswa yang sesungguhnya. Sudah pasti, dunia daring tidak memberikan kesempatan itu secara penuh.
[Pen]
KOMENTAR