![]() |
Sumber: Istimewa |
“Juara pertama dimenangkan oleh…”
Kringggggggggggg!!!
Suara dering jam beker telah menghancurkan mimpi indah mahasiswi itu. Mimpi indah itu kini hancur berkeping-keping bak guci yang dijatuhkan dari ketinggian 2700 kaki. Alur mimpi indah yang sengaja ia rancang dengan keahlian lucid dream-nya hilang begitu saja pada detik-detik kebahagiaan.
Secercah sinar mentari pagi diiringi dengan bau khas tanah yang telah terbalut oleh air hujan, menyeruak melalui jendela kamar yang tengah dibuka secara perlahan oleh sang sutradara mimpi. Nayla, begitu orang-orang kerap memanggil namanya.
Suasana sejuk khas pedesaan yang dikelilingi hijaunya pepohonan, nyanyian burung-burung kecil yang terdengar merdu, serta suara ayam yang mulai keluar kandang untuk meminta makan kepada empunya. Sungguh situasai yang menyenangkan untuk menemani kesendiriannya.
Udara segar pagi ini ia hirup secara perlahan. Setelah dihembuskan kembali, tiba-tiba senyumnya hilang. Ia teringat akan sesuatu. Raut wajah cantik itu terlihat murung.
“Saat ini untuk sekedar menghirup udara segar saja harus terhalang masker,” gumam Nayla disusul dengan dering telepon atas nama Nazwa.
“Assalam….”
“Nay, Nay, Nay, gawat,” salam Nayla yang lembut terpotong oleh kehebohan Nazwa. Dua sifat yang saling bertentangan yang mewarnai tali persahabatan mereka.
“Kalo nelpon itu ucap salam dulu Wa,” Nayla mengucapkannya dengan nada santai.
“Oh iya lupa, hehehe,” Nazwa hanya meringis malu.
“Assalamualaikum Nayla,” kali ini Nazwa menggunakan nada lembut disertai senyum manjanya. Padahal Nayla tidak bisa melihatnya.
“Kita jadi kepasar kan, Wa?” Nayla sangat berharap rencana hari ini lancar. Karena ia sudah kehabisan stok makanan.
“Nah itu dia yang mau aku bilang ke kamu. Coba kamu baca berita hari ini Nay. Pasar ditutup nyampe tiga hari ke depan. Toko dan Mall samping taman kota juga sama ditutup, soalnya ada 3 pedagang di pasar yang positif COVID-19. Terus yang di Mall ada 1 karyawan yang positif. Dan inilah saatnya aku menyelesaikan episode drakorku, hehe.” Si pecinta drakor yang kuat mantengin layar sampai berjam-jam malah merasa sangat bahagia dengan rencana ke pasar yang ditunda itu.
Tak ada satu kalimat pun terucap dari bibir Nayla. Hening tanpa kata. Hatinya seperti tersayat silet. Kecil, tipis, namun irisannya sangat tajam. Nayla sedih dan bingung. Bukan, ia bersedih bukan karena rencananya gagal. Bukan juga karena stok makanannya habis dan tidak bisa membelinya di pasar. Ia bersedih karena melihat keadaan yang tak kunjung membaik. Malah semakin memburuk.
“Nay, kamu masih di sana kan? Jangan sedih yaa. Semuanya akan baik-baik aja kok. Kamu istirahat aja ya, Nay. Tenangin pikiranmu. Aku tutup telponnya ya Nay. assalamualaikum”.
Meskipun Nazwa tidak melihat raut wajah Nayla, dan Nazwa tidak mendengar sepatah kata pun dari Nayla. Tapi Nazwa tahu persis apa yang sedang berlari-lari di pikiran Nayla.
“Waalaikumussalam.” akhirnya Nayla bersuara menjawab salam dari Nazwa dengan sangat lemas.
Nayla kembali ke tempat tidur lalu menarik selimutnya. Pikirannya sedang menjelajah. Ia merangkai skenario terbaik untuk dijadikan bahan mimpinya. Ia berlagak seperti sutradara. Ya sutradara mimpi. Sejak kecil ia sering sekali membuat mimpi sesuai keinginannya. Menurut salah satu artikel yang Nayla baca, hal ini disebut dengan lucid dream, suatu keadaan dimana seseorang menyadari dirinya sedang bermimpi dan ia dapat mengendalikan kejadian di dalam mimpi tersebut. Mata Nayla mulai tertutup. Ia mulai menjelajahi mimpinya.
***
Bersamaan dengan terbitnya sang surya, dua gadis petugas kesehatan Puskesmas telah tiba di pasar. Mereka telah menyiapkan materi serta peralatan untuk menyukseskan kegiatan penyuluhan protokol kesehatan kepada para pedagang pasar.
“Wa, coba liat para pedagang di pasar ini! Bagaimana mungkin keadaan bisa cepat membaik kalo para warga tidak mau mematuhi peraturan pemerintah serta protokol kesehatan,” ucap salah satu petugas kesehatan geram.
“Yaudah Nay, ayok masuk! Para pedagang pasar udah nunggu tuh,” sebagai asisten Nayla, Nazwa mengingatkannya.
“Assalamualaikum,” ucap Nayla membuka kegiatan penyuluhan pagi ini.
“Waalaikumussalam,” suara balasan dari para pedang pasar yang mengikuti kegiatan penyuluhan.
Nayla mulai memaparkan protokol kesehatan yang harus ditaati di pasar. Bukan hanya itu, Nayla juga memberi motivasi serta menyontohkan dan mempraktikkan perihal protokol kesehatan.
“Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu sekalian yang telah menghadiri serta menyukseskan kegiatan penyuluhan ini. Sebelum bapak dan ibu sekalian kembali menjalankan aktivitas berdagang, kami dari petugas kesehatan ingin mengecek kesehatan, suhu tubuh, serta menyemprotkan cairan disinfektan kepada bapak dan ibu sekalian.”
Para pedagang mulai mengantri dengan tetap menjaga jarak, mereka dicek suhu tubuh dan disemprot disinfektan satu persatu. Tibalah di salah satu pedagang yang bernama pak Wawan. Suhu tubuhnya mencapai 39°C.
“Mohon maaf pak Wawan, suhu tubuh bapak mencapai 39°C, oleh karena itu bapak dimohon untuk kembali kerumah ya pak, bapak tidak boleh berdagang terlebih dahulu, sampai kesehatan dan suhu tubuh bapak sudah kembali normal ya pak,” papar Nayla mengingatkan pedagang tersebut, agar memutus rantai penyebaran COVID-19.
Bapak separuh baya yang bergaya seperti preman dengan penampilan yang sedikit menyeramkan itu raut wajahnya memerah. Ia seperti sedang memendam emosi.
“Mohon maaf petugas kesehatan yang terhormat,” nada bicara bapak itu seperti mengejek. “Kalo saya tidak bekerja hari ini bagaimana mungkin keluarga saya bisa makan? Penghasilan saya perhari. Bukan seperti Anda yang mendapat gaji setiap bulannya,” nada bicaranya mulai meninggi.
“Begini Pak, kami akan memberikan bantuan kepada keluarga bapak. Kami akan memenuhi kebutuhan pokok bapak selama bapak diisolasi dirumah. Dan nanti.....”
“Halah omong kosong!” bapak itu memotong perkataan Nayla.
Saking emosinya, Pak Wawan melemparkan wadah-wadah yang berisi sayuran milik salah satu pedagang pasar yang terletak tepat disamping Pak Wawan. Para pedagang mulai ketakutan. Mereka menjauh agar tidak terkena amukan Pak Wawan. Keadaan pasar menjadi runyam. Sayuran-sayuran yang berada di sekitar pak Wawan hancur berantakan.
Kabar burung yang beredar dari masyarakat, bapak yang terkenal dengan kegarangannya ini, dulu pernah terkena gangguan jiwa. Emosinya masih belum begitu stabil. Sehingga ketika ia marah, ia akan mengamuk. Membantingkan barang-barang yang ada di sekitarnya.
Petugas keamanan tiba di pasar atas panggilan Nazwa. Para petugas keamanan telah dilengkapi dengan APD (alat medis : alat perlindungan diri). Karna Nayla memberi tahu bahwa Pak Wawan suhu tubuhnya sedang tinggi
Pak Wawan memberontak cukup kuat hingga para petugas keamanan pun sulit menenangkannya. Dengan sangat terpaksa Nayla memberi suntikan obat penenang kepada Pak Wawan. Akhirnya Pak Wawan berhasil ditenangkan dan diamankan. Mereka membawa pak Wawan untuk diisolasi dan diberikan penanganan lebih lanjut. Namun tiba-tiba pak Wawan.
***
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum Nay, Nay, bukain pintu dong!”
Nayla terbangun dari tidurnya. Mimpinya berakhir ketika ia mendengar ketukan pintu dan suara yang sudah tak asing lagi di telinganya.
“Tunggu bentar Wa,” Nayla beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu untuk Nazwa.
“Hehehe. Kamu baik-baik aja kan?” Nazwa cengengesan.
“Ini aku bawa makanan buat kamu. Pasti kamu belum makan kan?” Nazwa meringis kembali.
“Iya aku baik-baik aja kok. Eh makasih ya. Kamu emang sahabat paling baik deh. Ayok masuk Wa,” Nayla memang belum makan dari pagi.
“Wa, aku tuh gak habis pikir deh sama orang-orang yang dengan entengnya berkeliaran di luar rumah tanpa masker, masih berkerumunan dengan banyak orang, imunitas tubuhnya nggak dijaga pula. Setidaknya kalo mereka gak bisa bantu para tim medis nanganin pasien. Ya harusnya mereka jangan nambah-nambah rantai penularan dong,” ucap Nayla geram.
“Iya Nay aku paham. Kita doakan yang terbaik aja ya. Semoga semuanya lekas membaik. Dan bisa kembali normal seperti semula, kamu juga jangan terlalu banyak berpikir, nanti kamu malah sakit,” jawab Nazwa.
Nazwa kenal persis dengan sahabatnya. Nayla memang sangat perhatian dengan keadaan. Sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Selalu memikirkan orang lain, hingga terkadang ia lupa dengan dirinya sendiri. Ia paham mengapa Nayla sering membuat mimpinya sendiri. Hal itu dikarenakan ketika keadaan di kehidupan nyata tidak sesuai dengan harapannya, setidaknya ia dapat mewujudkannya di dalam mimpi.
[Nia Linawati]
KOMENTAR