Pixabay.com |
Sebutan Cebong’ ini berawal dari inisiatif para pendukung Prabowo yang terinspirasi dari kebiasaan Jokowi memelihara kodok ketika menjadi Walikota Solo dan Gubernur Jakarta. Sedangkan istilah ‘Kampret’ muncul sebagai umpatan jauh sebelum Pilpres dan digunakan lagi untuk menyebut pendukung Prabowo. Istilah ini menghiasi berbagai laman media sosial (medsos) yang memiliki maksud tertentu dalam konteks Pilpres.
Kedua istilah tersebut riuh rendah di kalangan akar rumput sampai elit politik. Istilah ini muncul sebagai bentuk sinisme yang dibangun masing-masing kubu di tahun politik. Narasi ‘Cebong’ – ‘Kampret’ ini digembar-gemborkan untuk mengotak-kotakan perbedan pandangan politik masyarakat. Bukankah ini justru membuat kontestasi semakin memanas?
Namun, pelabelan seperti ini menjadi sia-sia karena hanya mepersoalkan identitas, bukan sampai tataran ide memajukan bangsa. Pilpres sebagai bentuk pesta demokrasi terbesar dapat menjadi momentum tepat untuk saling mengutarakan ide, gagasan dan kebijakan terbaik. Pertarungan gagasan tersebut dinilai lebih penting daripada hanya labeling belaka.
Selain itu, narasi-narasi kampanye masing-masing kubu mudah menyebar di masyarakat. Karena medsos menjadi medium yang masif digunakan ketika kampanye berlangsung. Di sisi lain narasi yang dibangun oleh masing-masing kubu juga memengaruhi konsumsi informasi masyarakat. Artinya potensi masyarakat dalam mencari kebenaran informasi sangat minim sekali. Sebab itu, masyarakat menjadi serampangan dalam menerima informasi dan akhirnya medsos menjadi ladang subur berkembangnya hoaks dan propaganda.
Polarisasi menjadi begitu ekstrem antar kubu pendukung Koalisi Indonesia Kerja dan Koalisi Adil Makmur lantaran jurang pemisah semakin kentara. Masing-masing kubu saling membenci, menghujat, dan menjatuhkan lawan. Sampai pada keputusan Pemilu yang menyatakan Jokowi - Ma'ruf sebagai pemenang dengan perolehan suara 55, 50 persen atau sekitar 85. 607. 362 suara ini mengemuka. Selisih 11 persen dengan perolehan suara Prabowo-Sandi. Rekapitulasi suara ini ditolak pihak Prabowo dan menuduh adanya kecurangan dalam pemilu. Kekecewaan atas kekalahan pemilu ini mencapai puncaknya ketika para pendukung prabowo melakukan demo ke Bawaslu.
Demo yang awalnya berjalan damai berakhir ricuh karena negosiasi menemui jalan buntu. Ketidakterimaan ini berlanjut gugatan pihak Prabowo ke Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan keputusan tidak ada bukti kuat adanya kecurangan yang tersetruktur, sistematis, massif (TSM).
Ketidakpuasan itu wajar sebagai bagian dari kronik demokrasi, selagi bukan usaha untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Pemilu ini menjadi momentum besar bagi bangsa Indonesia, tidak hanya pemenangan kekuasaan tertinggi dan pergantian elite legislatif. Namun, menjadi cermin besar pelaksanaan demokrasi bangsa ini. Untuk itu, polarisasi yang terbentuk diharapkan dapat menemui ujungnya dengan rekonsiliasi kedua belah pihak.
Rekonsiliasi tersebut terkabul dua bulan pasca Pilpres. Jokowi mengajak Prabowo bertemu di MRT membahas perbaikan Indonesia kedepannya. Gayung bersambut, akhirnya pendukung masing-masing kubu pun menanggapi baik pertemuan tersebut. Prabowo mengatakan bahwa tidak ada lagi cebong atau kampret yang ada persatuan Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais usai pertemuannya dengan Prabowo di Jakarta, Selasa sore. Ia mengatakan bahwa tidak ada lagi cebong ataupun kampret, yang ada hanya cebong bersayap sebagai bentuk damai.
"Itu murni pertemuan dua tokoh saja. Intinya tidak ada lagi ‘Cebong Kampret’, tinggal ‘Cebong Bersayap’, artinya sudah akur", ucap Amien Rais. (Detik.com 16/07/19).
Di tengah panas dinginnya persoalan politik negeri ini, Amien Rais menemukan spesies unik bernama ‘Cebong Bersayap’ atau dalam bahasa latin tadpole alata devastanteque. Spesies ini lahir untuk menandingi dua spesies sebelumnya, cebong dan kampret . Namun, diksi diksi seperti ini membuat presepsi masih ada gap diantara pendukung. Rekonsiliasi telah berlangsung, namun akankah mutasi genetik ‘Cebong Bersayap’ ini akan berujung perdamaian yang langgeng? [Adha]
KOMENTAR