MESKI deras hujan dan bahkan banjir menyelemuti hari-hari berbagai daerah di Indonesia, belum tentu mampu menyejukkan panasnya suasana bangsa di tahun politik April ini.
Gelaran politik lima tahunan yang akan dihelat hitungan hari kedepan (17 April 2019) terlihat semakin sengit dan panas saja. Pasalnya, politik ronde kedua Jokowi-Prabowo sudah masuk fase kampanye terbukanya. Di sanalah yang membuat waswas sampai datang hari H pencoblosan.
Memang dalam sejarah yang sudah terjadi di setiap ada pemilu, selalu disertai dengan kecemasan-kecemasan yang mana sebelumnya bisa digambarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang kira-kira begini:
Apakah di kampanye terbuka ini akan ada crash antar pendukung calon yang maju? Apakah nanti kalau salah satu calon kalah akan terjadi chaos karena tidak terima atas kekalahannya? dan semacamnya,yang semuanya berupa kekhawatiran akan terjadinya konflik politis.
Sepertinya tahun ini pun pertanyaan-pertanyaan itu masih ada, selain pertanyaan akan menang pendukung pancasila atau pendukung khilafah yang akan menang, sebab penulis enggan membahas itu.
Situasi panas bangsa berupa pertanyaan akankah akan ada crash antar pendukung masing-masing calon di kampanye terbuka ini menjadi lebih panas dibanding tahun sebelumnya sebab model politik 'polarisasi' yang dibangun di pertaruhan politik tahun ini terlihat sangat kental.
Ditambah adanya kabar akan ada chaos sebelum pilpres berlangsung di siklus 20 tahunan yang dibahas dan dikhawatirkan di debat capres lalu. Sehingga, disinilah kekhawatiran demi kekhawatiran membuncah membuat panas bangsa.
Selanjutnya situasi panas bangsa berupa pertanyaan akankan akan ada chaos setelah pemilu terjadi karena ada yang tidak terima kekalahannya. Disini menjadi panas karena di salah satu koalisi sudah melontarkan ancaman akan menggeruduk KPU jika calonnya kalah.
Oleh karenanya jika sampai terjadi penggerudukan itu tentu dikhawatirkan pendukung pasangan satunya yang menang akan tidak terima pula.
Pertanyaan-pertanyaan yang setiap lima tahun sekali meneror kedaulatan bangsa ini begitu dicemaskan dan mencoba dihindari, namun tetap saja dilakukan. Aneh memang bangsa ini.
Suasana panas ini adalah ujian pula bagi penyelenggara pemilu agar tetap mampu menjamin tidak terjadinya hal yang tidak diinginkan sebagaimana di atas.
Mereka dituntut untuk bisa mampu meredam gejolak dan api perpecahan yang kian berkobar sampai hari H pemilu. Bahkan hujan deras dan banjir yang datang pun tak mampu meredam panasnya gelaran tahun politik lima tahun sekali ini.
Pemilu hingga kini masih dimaknai sebagai pesta rakyat, namun apakah pesta itu seperti ini bentuknya? Memilih tegang penuh kecemasan dibandingkan tawa bijaksana setiap diri yang ada di Indonesia.
Tidak bisakah jika saat pemilu digelar itu bangsa ini lebih memilih untuk lebih realistik dalam proses penentuan siapa yang terbaik untuk memimpin bangsa yang besar ini? Aslinya bisa jika mau, tapi mungkin kurang ada sensasinya.
Jika demikian adanya, fungsi air di dalam hujan dan banjir yang datang pun telah berubah, yakni sebelumnya sebagai faktor yang membuat dingin diri dan hari menjadi hal tanpa rasa.
Atau mungkin air hujan dan banjir yang turun itu berupa lumpur namun tak disadari. Sebab pernah ada yang berkata jika politik itu lumpur yang kotor. Katanya. [fs]
KOMENTAR