Tanggal pemilihan presiden sebentar lagi. Situasi dan kondisi kian memanas dan penuh was-was. Semakin ke sini pula sebaiknya memang kita memandang praktik politik di negeri ini bukan lagi dari kacamata nilai dan perjuangan serta masa depan, melainkan politik praktik untuk "menang".
Politik untuk menang ini memang sudah terlihat sangat jelas di depan mata kita sekarang. Dua kubu yang berkompetisi telah secara terang-terangan hanya bicara strategi agar bisa menang dan bisa mengalahkan lawannya saja. Itulah alasan nyata mengapa kita harus pandai menghadapi pergolakan politik 2019 seperti sekarang.
Hoaks dan semacamnya sudah menjadi makanan sehari-hari bangsa kita kini. Yang pasti asal hitungannya seberapa banyak masing-masing kubu mendapatkan massa pemilih, kursi di parlemen, serta jago-jago partai yang menjadi menteri, dan sebisa mungkin menjadi presiden dan wakil presiden.
Real politic sebagai integrasi kuasa, moralitas, dan kepentingan pribadi masuk ke dalam 'kebijakan dari yang mungkin' (Bullock & Trombley, 1999: 733)
Sebisa mungkin menang itulah kenyataan sekarang ini. Kedua kubu sedang bermain catur dan melakukan segala taktik yang entah berisiko sebesar apapun harus dilakukan agar menang. Misalkan sampai membohongi dan membodohi, serta mengorbankan masyarakat (pion) sebagai jalan kemenangannya.
Di negeri yang malang ini, di negeri politik catur ini, siapa yang kalah adalah sama dengan hancurnya harga diri. Sehingga kemenangan adalah satu-satunya jalan yang harus dilakukan sebagaimana profesinya sebagai politisi.
Politisi telah menjadi profesi. Sedang politik bukan lagi jalan hidup bersama untuk perjuangan masa depan sebuah bangsa yang katanya hidup di negeri demokrasi.
Di dalam permainan catur, ada petuah seorang tua menurut seorang pengarang buku sejarah filsafat Cina mengatakan, “Tak ada jalan yang pasti untuk menang, tapi ada jalan yang pasti untuk tidak kalah”. Bagaimanakah jalan yang pasti tak akan kalah itu? Jawabnya, “Jangan bermain catur”.
Ya, jika takut kalah maka jangan coba-coba bermain catur. Jika kalah dalam strategi kompetisi catur dimaknai dengan akan hancurnya harga diri, maka di sanalah pula hancurnya sportifitas dan inti dari politik itu sendiri.
Konfusius berkata, “Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam”.
Para pejuang kemenangan di Pilpres 2019 ini telah terjerumus masuk ke sungai yang mengalir sehingga sampai lupa diri bahwa langkah dan strategi yang diambilnya telah merusak sendi-sendi sosial yang dibangun sejak republik ini diproklamirkan.
Oleh karenanya, menjadi wajar jika kontestasi pilpres begitu kacau seperti sekarang. Sebab tak ada yang tahu dirinya sendiri sebagai bagian dari tatanan sosial dan bagian dari catatan sejarah. Tak tahu jika dirinya adalah manusia yang jika dirinya dijadikan pion akan seperti apa? Selamat datang euforia di krisis nalar! [k]
KOMENTAR