Gambar: pexels.com |
Publik digiring untuk menumpahkan emosi, setelah membaca apa yang disajikan. Akhirnya akar rumput pun bergejolak menanggapi pemberitaan yang "sakit" itu. Dalam kontestasi politik, pers seharusnya lebih memberikan edukasi politik. Namun yang terjadi, publik hanya menerima pemberitaan advertisement dari pihak yang menggunakan jasanya.
Tidak puas dengan media besar, peserta pemilu 2019 pun membuat media pers versinya. Tentu, isinya hanya pemberitaan yang menguntungkan pemiliknya. Salah satu paslon pilpres juga sempat melontarkan kritikan pada pers kita, dengan menyebut "Media tak berimbang memberitakan aksi reuni 212 di Monas,". Namun, di balik kritikan tersebut terdapat pendapat yang dipaksakan untuk mengekang pers. Bahwa apa yang ia ujarkan adalah kebenaran, dengan menganggap "salah" media yang tidak mengungkapkan pendapatnya ada 11 juta orang hadir.
Pada peristiwa tersebut pers seakan tidak memiliki harga diri lagi. Independensinya dipertanyakan, serta sikap apa yang diambil pers saat mendapat pemaksaan pendapat seperti itu?
Ternyata permasalahan tak habis sampai di situ. Penyebutan identitas pers dengan nama Perusahaan Pers, dari semula disebut Penerbitan Pers cukup jelas menggambarkan kondisi pers kita. Perusahaan merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan secara tetap, teratur dan terbuka untuk mencari keuntungan. Sedangkan makna penerbitan memiliki konotasi untuk tujuan sosial atau kemanusiaan.
Media pers sebagai sebuah industri tentu membutuhkan pemasukan, namun kepercayaan publik tidak perlu digadaikan olehnya. Independensi pers tetap patut dipertanyakan karena pers dimiliki oleh korporasi. Pers sulit menjaga independensinya karena pemiliknya juga terjun dalam dunia politik. Alih-alih melakukan kerja jurnalistik yang berimbang, pers akan menimbang pemberitaan apa yang dapat menguntungkan korporasinya.
Perusahaan media besar seperti MNC Group dan Media Group secara terang-terangan menunjukkan jati dirinya yang dimiliki oleh sang empunya, yang juga pemilik partai pollitik. MNC Group dimiliki Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Parta Perindo, sedangkan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh ada dibelakang Media Group. Tentu media dengan model seperti itu akan menjadi media yang dapat menguntungkan pihaknya. Bahkan dapat dikatakan sebagai media "humas" pihak terkait.
Lalu bagaimana Dewan Pers merawat kehidupan pers agar tetap sehat? Apakah Dewan Pers hanya mengawasi konten dari sudut pandang nilai jurnalistik? Kalau demikian adanya Dewan Pers hanya jadi anjing penjaga konten. Tanpa ada pikiran melihat lebih dalam hingga ke tingkat perusahaan pers-nya. Pers kita akan tetap sakit selama berbagai persoalan dibiarkkan menjadi virus ganas.
Kita tidak ingin jika pers dikuasai oleh kepentingan. Kita tidak ingin konflik Ambon tahun 1999 yang dimotori anak perusahaan Jawa Pos News Network (JPNN) terulang. Saat itu, JPNN membuat dua media untuk melegitimasi agama Islam dan Kristen. Hingga konflik pun memanas karena pemberitaan dari dua media tersebut berdasar kepentingan tiap kubu. Jati diri pers terbeli oleh kepentingan suatu kelompok.
Tentu hal tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan pers itu sendiri. Namun, lebih berbahaya jika pers milik perusahaan itu dimiliki ataupun berafiliasi dengan kepentingan politik seperti di atas. Pers yang menjadi salah satu tonggak demokrasi bisa berubah menjadi senjata kerajaan. Siapapun yang memiliki dan berani membayar harga informasi akan menyalahgunakannya untuk menyerang siapapun.
Kebebasan pers yang diperingati setiap tahun seperti omong kosong belaka. Angka sembilan Februari hanyalah seremonial tanpa ada jiwa pers yang sesungguhnya. Semua digadai hanya demi perusahaannya. Pembaca selama ini dapat dikatakan telah tertipu, apa yang mereka konsumsi hanyalah iklan dan kepentingan dibungkus jurnalisme. [Riyan]
KOMENTAR