Gambar: pexels.com |
Itulah hakikat sebuah doa yang harus kita pahami. Pemahaman ini akan membuat hamba selalu rendah diri, dan dengan sepenuh hati memasrahkan permintaanya kepada Tuhan sang maha pemberi.
Tetapi Tuhan telah berjanji. Dia akan mengabulkan doa hamba-hambanya yang meminta dengan sungguh-sungguh. "Ud'uni astajib lakum," kata Tuhan. Tidak ada doa yang tidak dikabul.
Apabila seorang hamba sudah berdoa tetapi Tuhan tak kunjung memberi, tidak berarti bahwa Tuhan telah ingkar janji. Tetapi boleh jadi ada faktor lain yang menyebabkan doa tertunda sementara, atau untuk menghapus dosa-dosa hamba yang senantiasa memanjatkan doa.
Dari sini, muncul pemahaman kuat bahwa doa orang saleh mudah diterima (mustajabah). Dengan kesadaran penuh akan banyaknya dosa-dosa, banyak orang berbondong-bondong untuk meminta doa kepada orang saleh. Dalam kultur kita, sosok kiai dianggap sebagai orang saleh yang doa-doanya diyakini mudah terkabul dibanding orang-orang pada umumnya.
Tidak heran, jika banyak orang yang memiliki hajat besar sering datang kepada kiai untuk dimintai doa. Kiai juga tidak sepi dari undangan untuk memanjatkan doa bagi yang berkepentingan dengan Tuhan. Fenomena ini terjadi dalam banyak hal, termasuk menjelang perhelatan pesta demokrasi. Bahkan, kiai seolah menjadi gerbong khusus untuk mengajukan proposal kepada Tuhan agar seseorang lancar jadi Presiden atau DPR.
Antara Rendah Diri dan Pencitraan
Seorang calon dalam kontestasi politik mendadak rutin mengunjungi kiai. Mereka meminta doa restu, dan sebagian satu paket sekaligus, disamping minta doa restu juga meminta dukungan. Kiai seperti tempat tamasya agama yang dikunjungi para calon hanya saat-saat masa kampanye. Fenomena ini menunjukkan satu kerendahan hati para calon. Mereka tidak benar-benar yakin doa-doanya akan dikabulkan. Kiai yang dinilai sebagai orang saleh menjadi tempat ibadah, sarana menyampaikan doa agar hajat cepat mustajabah.
Namun tak bisa ditampik, kedatangan calon ke kediaman para kiai bagian dari langkah politis agar tercipta citra diri yang agamis. Sosok kiai lekat dengan religiusitas. Mendekat kepada kiai sama arti dengan mendekat pada agama. Lihat saja, calon yang secara terang-terangan mendapat dukungan seorang kiai, dari baliho hingga poster yang terpampang di pinggir jalan tidak tertinggal foto kiai dipasang bersandingan. Kunjungan-kunjungan calon kepada sosok kiai terus ramai menghiasi media sosial.
Ketika Doa Jadi Komuditas Politik
Kiai dan doa menjadi alat politis meraih banyak dukungan demi mendapatkan kekuasaan. Inilah politisasi agama yang juga mulai tampak gamblang menjelang pesta demokrasi 2019. Bahkan semakin kentara saat Kiai Maimon Zubair, menyebut nama Prabowo saat berdoa disela-sela kunjungan Joko Widodo.
Mbah Mun, panggilan akrab Kiai Maimun Zubair, dianggap salah ucap oleh pendukung Jokowi. Videonya viral jadi sarana kampanye kubu Prabowo dengan satu anggapan bahwa Mbah Mun mendukung Prabowo di Pilpres 2019. Tak mau kalah, kubu Jokowi dengan berbagai macam cara membuat klarifikasi. Kubu Jokowi sadar bahwa doa Mbah Mun akan dijadikan senjata ampuh kubu Prabowo untuk mencari dukungan publik.
Pendukung kedua paslon menjadi sibuk mengurusi proposal doa yang disampaikan kepada Tuhan oleh Mbah Mun. Sampai-sampai mereka lupa bahwa doa menjadi otoritas Tuhan dan Tuhan tidak akan pernah salah menentukan pilihan. [SS]
KOMENTAR