
Media dewasa ini memang menjadi kunci penggerak jurnalisme di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, perkembangan pada dekade terakhir telah mengubah teknologi, ekonomi, dan transformasi politik menjadi sangat pesat. Peliputan peristiwa-peristiwa besar seperti pemilihan umum belakangan ini menimbulkan banyak pertanyaan akan kualitas, dampak, dan kredibilitas jurnalisme. Sehingga jurnalisme mengalami penurunan dari standar kualitas karena berkurangnya kepercayaan. Hal ini tidak lain karena adanya faktor kepentingan dari produk jurnalistik yang diproduksi.
Potensi penurunan jurnalisme juga ditambah parah dengan adanya media sosial yang sudah menyatu dengan masyarakat, dimana semakin kesini, media sosial menjadi salah satu sumber informasi yang di dalamnya memuat ketidakmampuannya dalam membedakan kebenaran atau rekasa atas konten informasinya. Hal ini sama seperti yang dikatakan wartawan Financial Times Jhon Lloyd, "Surutnya peran surat kabar secara fisik dan berpindah ke media internet, telah menempatkannya ke dalam arus besar informasi, fantasi, kebocoran, teori konspirasi, ekspresi kebajikan dan kebencian."
Revolusi baru di era digital ini sebagaimana dijelaskan di atas menjadikan terbentuknya sebuah global village atau kampung global, dimana gelombang perubahannya dibawa oleh internet, mulai dari kehadiran e-commerce atau transaksi perdagangan melalui internet, kemunculan e-learning atau sekolah jarak jauh berbasis internet, televisi digital, media sosial, sampai dengan kemunculan modus kriminalitas baru yang disebut dengan cyber-crime. Bisnis mediapun berubah ketika platform tradisional media cetak, televisi dan radio analog mulai tersaingi oleh platform digital yang multimedia.
Di Indonesia pun tidak lepas dari revolusi ini dan kini masih terus berlangsung hingga sekarang, dimana para pemilik media mencari-cari model bisnis media yang cocok dengan perkembangan teknologi digital, sementara para awak redaksi mencoba melakukan adaptasi dan merumuskan model organisasi keredaksian baru serta standar profesionalitas mutakhir dalam bisnis pemberitaan. ini terlihat pada dua media konvensional di Indonesia seperti Kompas dan Tempo. Dua media mainstream ini membangun rel ganda dengan tetap menjual versi cetak mereka secara elektronik seraya mengembangkan portal kompas.com dan tempo.co. Yang mutakhir dari semua portal itu adalah pengembangan platform multimedia yang menyatukan layanan berita verbal, audio, dan video.
Tuntutan mengembangkan konten media ini pun harus di barengi dengan mutu jurnalis yang harus berkualitas. Seorang Jurnalis juga dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan internet yang begitu cepatnya berkembang pesat. Apalagi dengan munculnya media sosial yang membuat jurnalis kadang kalah cepat akan kejadian-kejadian di lingkungan masyarakat. Hal ini menjadikan dunia jurnalistik Indonesia selalu menemui tantangan besar, terlebih bagi jurnalis. Namun, dari banyaknya tantangan jurnalis yang ada, sebenarnya jurnalis harus kerja cepat, terdapat tantangan-tantangan yang tidak berubah dari masa ke masa. Tantangannya ya itu-itu saja mulai zaman kolonial sampai zaman media sosial.
Pertama, Kekerasan Pada Jurnalis
Sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 data yang dihimpun oleh AJI Indonesia terjadi 72 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Diantaranya berupa kekerasan fisik sebanyak 38 dan kasus pengusiran atau pelarangan liputan sebanyak 14 kasus. Data tersebut menunjukian masih banyaknya kekerasan terhadap insan pers dan salah satunya korbanya adalh Bapak Pers Nasional Tirto Adhie Soerjo, yang diasingkan kemudian “dibunuh” karena aktivitas jurnalistiknya.
Kedua, Kesejahteraan Para Jurnalis
Kesejahteraan masih menjadi problem bagi jurnalis, juga banyak perusahaan yang belum memberikan kesejahteraan yang layak kepada jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan idealnya upah layak jurnalis di Jakarta untuk jurnalis pemula tahun 2016 sebesar Rp 7,54 juta. Tapi masih banyak perusahaan yang belum memberikan sebesar itu.
Ketiga, Profesionalisme Para Jurnalis
Munculnya tren wartawan "kagetan" juga menjadi masalah meskipun keadaan mereka dibutuhkan, sehingga sungguh tak realistis untuk menggugat kualifikasi mereka. untuk menangguli hal itu maka seharusnya digalakkan pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diproyeksikan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang seluk-beluk kerja jurnalistik, serta aneka-rupa permasalahan dalam kehidupan pers di Indonesia.
Dewan Pers merumuskan profesionalisme wartawan melalui standar kompetensi yang meliputi dua hal, soft competence dan hard competence (kompetensi lunak dan keras). Lunak meliputi ilmu-ilmu umum dan khusus, etika, budaya, lobi. Keras meliputi ketrampilan, dari teknis hingga sisi manajemen dan teknologi.
Keempat, Melek Teknologi
Teknologi menjadi tantangan utama jurnalis dan bertambahnya informasi dari media sosial yang begitu cepat juga mewajibkan jurnalis akrab dengan gawai dan semacamnya. Seperti yang sudah kita ketahui, negara-negara maju memanfaatkan robot jurnalis untuk menulis berita. Sebuah perusahaan asal Israel bernama Articoolo misalnya, mampu membuat berita melalui algoritma komputer yang mereka kembangkan. Lebih hebatnya, ketika kita meminta berita dengan tema yang sama 100 kali, algoritma buatan Articoolo mampu memberikan 100 artikel yang berbeda, tidak sama. Yang harus kita sadari juga bahwa perubahan dan transformasi akan terus terjadi. Kemampuan untuk beradaptasi ialah hal yang sangat penting untuk mengantisipasinya dan jika diperlukan lakukanlah revitalisasi.
Keempat tantangan tersebut adalah hal yang masih harus ditemui para jurnalis, khususnya di Indonesia. Jurnalisme di tengah cyberspace seperti sekarang juga tetap memiliki beban kualitas jurnalismenya. Jika tidak maka kepercayaan masyarakat dan tonggak demokrasi akan kacau di kemudian hari. (YenPU)
KOMENTAR