dok. Farid |
Kata orang cinta itu buta
Tapi mengapa aku tetap bisa memandangi keindahanmu?
Kata orang cinta tak ada logika
Tapi mengapa pikiranku teratur menyimpan senyummu?
Aku mengernyit begitu menemukan sebait puisi di sobekan kertas dari dalam saku seragam putih abu-abu sepupuku, Hendra. "Mbak Firda!" Teriaknya, merebut secuil kertas dari tanganku. Aku senyum-senyum, "Ciyee. Udah main syair-syairan segala". Hendra melotot, "Biarin! Biar aku jadi penyair kayak Chairil," katanya sambil melempar seragam putih abu-abu ke dalam mesin cuci. Aku tergugu mendengar jawabannya.
Tidak ada yang salah menjadi penyair. Hanya saja, mungkin Hendra tidak tahu jika menyandang profesi jadi penyair sama juga menyandang status sebagai manusia kere dari sekian jenis manusia kere lainnya.
Sejarah tidak pernah berubah, hanya pemerannya saja yang berganti. Sejak zaman manusia kere pertama (Chairil Anwar) sampai penyair era tahun '65 bahkan angkatan penyair milenial sekarang pun masih belum berubah.
Dalam cerita yang pernah disampaikan Cak Nun tentang penyair-penyair Malioboro tahun 70-an, label penyair sebagai manusia kere seakan jadi sahih belaka. Sebab, para penyair tersebut rela menggelandang siang dan malam di seputaran Malioboro hanya untuk menyelami kehidupan puisi.
Tapi, tentu hal ini perlu digarisbawahi. Bahwa penyair kere itu adalah mereka yang murni dan total menjadi penyair tanpa memiliki pekerjaan sambilan apa pun. Dengan dalih pekerjaan tetap (selain jadi penyair) dapat membuat ilham mereka terkontaminasi.
Di zaman seribu rupiah hanya cukup untuk membeli sebuah gorengan ini, bagaimana mungkin kita dapat bergantung, menghidupi, dan dihidupi hanya dengan syair puisi? Berapa sih, honor puisi dari media? Berapa honor manggung baca puisi atau mengisi workshop kepenyairan? Belum lagi risiko tunggakan pembayaran gaji sampai berbulan-bulan oleh media.
Sebenarnya hal ini cukup tabu dibicarakan, mengingat dapat menyinggung profesi kepenyairan. Sebab semata-mata hanya dipandang dari segi ekonomisnya saja, sekalipun hal tersebut tidak mengada-ada. Menjadi penyair di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Jika disana para penyair diperlakukan sangat istimewa. Di Indonesia, kebanyakan penyair hidup sebagai "binatang jalang dari kumpulan terbuang".
Perbaiki Niat
Hal di atas seakan menggolongkan profesi penyair sebagai profesi madesu atau masa depan suram. Lantas, salahkah jika kita ingin menjadi seorang penyair? Tentu tidak.
Bekerja menjadi seorang penyair atau penulis artinya bekerja untuk keabadian. Sebab, dengan tulisan kita akan dapat dikenang oleh masyarakat lintas generasi sekali pun kita telah tiada. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Menjadi penyair artinya mereka bebas mengekspresikan diri dan jiwa melalui sebuah karya puisi. Karya puisi tersebut dapat bersifat memberontak, tapi juga dapat bersifat penuh kebaruan. Dari puisi, para pembaca akan terinspirasi sebab di dasa terkandung suara-suara perjuangan membela rakyat kecil atau yang lainnya. Puisi akan diingat orang yang bukan sezamannya. Ia akan mengubah cara kita membaca persoalan dunia.
Poinnya, ketika kita memutuskan menjadi seorang penyair, maka kita harus menyadari bahwa orang yang memilih jadi penyair bukan mereka yang ingin dihidupi oleh puisi melainkan mereka yang ingin menghidupkan puisi. Mereka adalah orang yang ikhlas merelakan sebagian waktunya diwakafkan untuk kata-kata, tenaga, dan pikirannya untuk inti dari segala seni; puisi. [Firda]
KOMENTAR