![]() |
Gambar: http://blog.unnes.ac.id |
Guru Honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril mendadak viral di media. Pasalnya ia dinyatakan bersalah setelah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan hingga dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda sebanyak 500 juta.
Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com (14/11/2018), Baiq merasa hukum yang menjerat dirinnya tidak tepat. Baiq mengatakan bahwa ia sebagai korban pelecehan akan tetapi dihukum karena laporan yang dilayangkan oleh tersangka kepada Mahhkamah Agung.
Menurut Institute Criminal for Justice Reform (ICJR), UU ITE itu dalam penjelasannya dibuat untuk penyebaran dan harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP. Perbuatan yang dilarang adalah penyebaran konten bermuatan pelanggran asusila yang diniatkan untuk menyebarkan di muka umum.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, ia menganggap bahwa aspek hukum yang ada di Indonesia tidak bisa lepas dari aspek relasi kuasa, sehingga orang yang tidak memiliki kuasa akan kalah dengan mereka yang berkuasa.
"Memang kasus Ibu Baiq Nuril ini yang memang paling kelihatan betapa hukum kita masih melihat relasi kuasa, ini justru mengorbankan atau mengkriminalisasikan korban," dalam sebuah diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, (Kompas.com, 25/11/18).
Kasus yang sama juga dialami oleh Prita Mulyasari tahun 2009 lalu. Komplainnya perihal pelayanan RS Omni yang membuat kondisinya semakin buruk tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. Akhirnya, ia menuliskan ketidakpuasannya itu dalam sebuah surat elektronik dan menyebar secara berantai dari milis ke milis. Pasca tersebarnya tulisan tersebut, Prita akhirnya dilaporkan ke Mahkamah Agung dan akhirnya harus menekam dipenjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Kejadian-kejadian tersebut menunjukan begitu banyak pasal yang termaktub dalam UU ITE merupakan pasal karet, dimana keberadaannya sangat membahayakan, karena tidak jelas indikasinya dan rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Di Indonesia, pasal-pasal yang dianggap pasal karet salah satunya ialah UU ITE yang bertujuan untuk melindungi setiap warga negara dari serangan fitnah atau hoaks digital yang kejam. Namun, pada kenyataannya pasal karet ini telah memakan banyak korban.
Perilaku di Dunia Digital
Mengunggah bukti kesalahan, kejelekan, atau hal apapun di media sosial bisa membahayakan bagi penggunanya sendiri. Dalam bertutur kata pun, seseorang harus berhati-hati, apalagi jika itu disebar melalui media sosial. Karena selain memudahkan, dunia digital juga bisa membahayakan jika tidak dikelola dengan baik.
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), mengingatkan kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Sebab, apa yang dibagikan di media sosial bakal meninggalkan jejak digital yang sulit hilang. Sekali terunggah, bisa saja ketikan tersebut sudah di screenshot orang lain. Screenshot itu lantas diunggah ulang oleh orang lain ke berbagai layanan chat atau media sosial lainnya (BeritaSatu.com, 15/05/18).
Bahkan, curhatan, makian, atau sekadar guyonan yang dibagikan lewat status Facebook, Instragam, maupun media sosial lainnya juga bisa mendatangkan masalah bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Apalagi jika hal itu disalah gunakan oleh seseorang yang punya tujuan jahat. Tentu akan sangat berbahaya.
Seperti halnya kejadian yang menimpa Baiq dan Prita, hal ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat, agar tidak sembarangan mengunggah konten ataupun menyebar informasi di media sosial. Karena jika tidak, permasalahan yang menimpa Baiq dan Prita sangat mungkin menimpa kita.
Etika Ketimuran Semakin Hilang
Indonesia yang katanya sangat kental dengan etika ketimuran kini seakan hilang dan tidak beretika. Saling menghargai, musyawarah untuk menyelesaikan masalah sudah jarang ditemui. Seiring perkembangan zaman, hal tersebut menjadi sesuatu yang mewah dan jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah sebagai orang yang sangat memegang erat etika timur pernah berkata, kebiasaan buruk (menyuap soal hukum dan undang-undang Allah) menghancurkan umat-umat terdahulu. Mereka binasa karena tidak berani menghukum orang-orang terpandang dari kalangan mereka. Sebaliknya, mereka menghukum berat orang kecil. Kalau Fatimah putriku mencuri, pastilah aku potong tangannya.
Bisa dipastikan dari perkataan Rasul tersebut, budaya tebang pilih dalam memberikan hukuman bukanlah etika moral ketimuran. bahkan sampai Rasul sendiri menegaskan bahwa apabila anaknya yang melakukan kesalahan, makai ia sendiri yang akan menghukumnya sesuai hukum pada saat itu. Namun, apa yang terjadi sekarang? Etika ketimuran seakan hilang dalam kehidupan masyarakat kita. Inikah yang kita harapkan? [Laily]
KOMENTAR