Gambar: acontecendoaqui.com |
Sudah beberapa hari ia tak makan, tak minum, tak merokok, tak ngopi. Ia memandang segala sesuatu seperti tak kelihatan. Ia yakin bahwa apa-apa yang ia lihat hanyalah sebuah kemayaan. Dengan berbekal sebuah keyakinan, ia pun bulat untuk melaksanakannya. Sebelum berangkat, ia menyiapkan perbekalan. Semua yang ia butuhkan ditaruhnya di sebuah koper besar. Ini perjalan hebat, batinnya. Tidak hanya bekal jasmani tetapi bekal rohani juga ia persiapkan.
Kemarin, sebelum ia melahap makanannya, ia mulai ragu. Apakah harus makan? Apakah harus minum? Apakah harus merokok? Apakah harus ngopi? Ia terus bertanya-tanya hingga seorang teman membuyarkan lamunannya.
“Makanlah kau yang banyak. Tubuh kurus tak ada isinya masih saja berpikir mau makan atau tidak.” Disantapnya makanan itu seketika. Ia merasakan sesuatu, agak aneh karena sudah lama tak dirasakannya.
Sembari memantapkan niat, ia pun segera berkemas. Pamit kepada barang-barang di rumah, satu-satu ia ciumi seperti pacar sendiri—sayangnya ia tak punya pacar. Ia hanya memakai sandal ban jepit, diperolehnya dari Kyai. Kaos oblong hitam bergambar dan celana hitam.
Tak ada satu pun kendaraan yang ia naiki karena ia pun tak punya tujuan hendak pergi ke mana. Ia hanya berjalan dan terus berjalan. Menyusuri rumah-rumah, warung-warung, gedung-gedung, toko-toko, masjid-masjid. Bertemu dengan mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek, anak-anak.
Ketika kakinya mulai pegal, ia beristirahat sejenak di sebuah warung. Ia bergumam dalam hati, ah jika saja tak usah makan aku bisa hidup, tak usah minum aku bisa bekerja, tak usah merokok aku bisa mendapatkan uang, tak usah ngopi bisa... Seseorang menyapanya.
“Mau makan apa, mas?”
“Yang itu saja,”
“Minumnya, mas?”
“Ya itu saja,”
Di dalam warung, tidak hanya jualan makanan dan minuman saja tetapi ada sebuah pertunjukkan. Pertunjukkan itu seperti drama. Tetapi yang membedakan ialah ada seorang Dalang yang mengatur jalan cerita.
Beberapa menit kemudian ia menyadari satu hal. Tak akan bisa melakukan apa pun kecuali ia digerakkan oleh Sang Maha Penggerak. Loh tapi ia sudah sejauh ini berjalan. Masak ya harus putus asa, toh ia sudah berniat. Baginya, mencari Tuhan hingga bertemu dengan-Nya itu suatu tugas khusus. Tetapi ketika ia tahu bahwa semua perjalanannya itu yang mengatur adalah Tuhan, maka ia sadar. Ia telah bertemu Sang Dalang—di warung itu sambil makan, minum, merokok, dan ngopi. [Zela]
KOMENTAR