www.michalschein.com |
Pukul setengah lima sore. Jalanan ramai oleh kendaraan pribadi. Tak banyak angkutan umum ataupun taksi yang berlalu lalang. Langit mulai gelap. Awan hitam berkumpul membuat janji. Beberapa saat kemudian rintik air perlahan jatuh menerpa atap-atap bangunan, dahan dan ranting pohon, serta tiang lampu kota, sebelum akhirnya jatuh menghujam bumi.
Aku kini berada di halte kampus bersama seseorang, yaitu kau. Kita sama-sama berpayung atap halte yang berwarna merah. Aku saat ini sedang duduk di kursi, memegang kertas sketsa lukisan yang kita buat bersama tadi siang. Sementara kau sedang berdiri di pojok sambil melihat ke kanan dan kiri.
Kau tampak seperti orang kebingungan. Aku pun tersenyum, lucu sekali menyaksikan ekspresimu seperti itu. Kau tidak sabar menunggu angkutan umum ataupun taksi yang datang. Sedangkan aku tidak sabar menunggumu bicara.
Sesekali kau memukul tiang halte saat kau mendapati taksi yang ada penumpangnya. Lalu kau juga mendengus kesal. Dan kini memutuskan untuk duduk di sampingku. Aku tersenyum menyaksikanmu.
Hujan semakin lebatnya menyelimuti udara. Sekarang kita duduk berjajar sebagai seorang kekasih. Wajahmu kesal, tapi masih terlihat cantik dengan rambut tergerai dan cekung di pipi. Aku terus tersenyum memandangimu. Sesekali menyenggol lenganmu. Tetapi kau mengabaikanku.
“Kenapa sih, setiap sore harus hujan. Kenapa juga angkutan dan taksi dikalahkan oleh kendaraan pribadi,” kau akhirnya bicara, meskipun terkesan mengutuk.
Sementara aku masih tersenyum melihat wajahmu yang kesal. Kau tahu, jika kau memasang wajah seperti itu, maka kau terlihat semakin cantik. Kuharap kau akan terus kesal seperti itu saja. Maka aku akan semakin menyayangimu.
“Aku benci dengan hujan,” teriakmu, diiringi air ludah yang meluncur ke samping halte.
“Kau tidak boleh menyalahkan hujan,” aku memegang tanganmu yang mulai membeku.
“Mengapa begitu? karenanya aku selalu pulang malam hari. Karenanya juga aku selalu dimarahi ibuku? apa kau tidak kasihan denganku?” kau membalasku dengan genggaman erat.
“Bukan begitu, kalau tidak ada hujan, kehidupan ini tidak ada. Tumbuh-tumbuhan akan mati dan kau tidak bisa makan. Kalau tidak ada hujan, kita juga tidak akan pernah pegangan tangan seperti ini, kan? adikmu juga tidak bisa bermain kalau tidak hujan,” kataku menyungging senyum.
“Pokoknya aku tidak suka dengan hujan. Kalau tidak ada hujan, mungkin angkutan umum dan taksi akan berkeliaran di jalan. Sehingga aku bisa cepat pulang. Aku benci dengan hujan,” gerutumu.
“Tetapi kau tidak membenciku, kan?” aku memainkan pipimu, menggodamu.
“Aku ingin cepat pulang, ibuku pasti sekarang sudah menunggu di teras rumah,” kau menepis tanganku.
“Kau tahu, hujan adalah tanda kasih sayang antara langit dan bumi. Setelah itu, pelangi yang indah akan muncul sebagai hadiah atas ketulusan cinta mereka berdua,” kataku.
“Tidak. Hujan itu serakah, egois, dan lain sebaginya. Seharusnya matahari jingga yang indah bersinar merias langit. Seharusnya awan-awan lucu menggantung di angkasa. Seharusnya kicauan burung juga dapat kita dengarkan, itu kalau tidak ada hujan,” kau memonyongkan mulutmu.
Aku tiba-tiba ingin tertawa. Tapi urung ketika melihatmu begitu. Kutahu, ibumu pasti sudah menunggumu di teras rumah. Bukan kau saja, aku juga ingin cepat pulang. Tapi kita tak bisa menyalahkan hujan, apalagi taksi dan angkutan umum yang tak kunjung datang.
Kau beranjak dari dudukmu. Berjalan satu-dua langkah ke pojok halte bagian depan. Kau melambaikan tangan. Itu dia, akhirnya taksi pun menampakkan diri.
Aku juga ikut berdiri, melangkah di sampingmu. Aku juga ikut melambaikan tangan sepertimu. Maksudnya adalah memberhentikan taksi itu. “Itu dia, taksi datang. Ayo,,,cepat,” kau tersenyum padaku.
Taksi itu berhenti di tepi jalan, di depanmu. Kacanya terbuka. Wajah seseorang yang sudah tua muncul. “Maaf, Mbak, ini sudah ada orangnya. Mbaknya nyari taksi yang lain aja, ya.” Kaca itu kembali tertutup. Taksi melaju lagi ke depan. Membelah jalanan basah yang mulai sepi.
Kau memukul tiang halte sekali lagi. Senyummu pudar seketika.”Sial, aku ingin cepat pulang. Sebentar lagi sore akan berganti malam. Aku tak bisa pulang kalau tidak ada taksi atau kendaraan umum. Kalau saja tidak hujan, aku bisa jalan kaki meskipun lima belas menit. Semua ini karena hujan. Aku benci dengan hujan,” kau marah-marah dan terus mengutuk hujan.
Aku sempat tersenyum sedikit. Terasa lucu saja jika melihat ekspresimu yang sedang marah. Aku memegang tanganmu, mencoba menenangkan.
“Jangan kau salahkan hujan, ini sudah takdir. Tenang saja, nanti aku akan mengantarmu dan berbicara pada ibumu,” kataku sambil tetap menggenggam erat tanganmu.
“Bukan masalah itu, tapi hujan ini yang menjadi masalahnya.”
“Kau harus melihat sisi lain dari hujan. Dari segi ketulusan dan keromantisan, mungkin.”
“Tulus apanya? Karena hujan, jemuranku tidak bisa kering. Karena hujan pula, para pedagang kaki lima tidak bisa berjualan,” kau kini beralih di tempat duduk halte.
Aku duduk, mengikutimu. “Iya, kau ada benarnya juga. Tapi kau juga harus tahu bahwa hujan adalah isyarat bagi sesuatu yang telah pergi, suatu saat nanti pasti akan kembali. Seperti air yang jatuh ini. Dia dari laut, sungai, dan tanah di bumi ini. Pada akhirnya dia juga akan kembali lagi jatuh ke bumi,” aku mengusap kertas sketsa lukisan yang terkena cipratan air hujan.
Perdebatan tentan hujan ini terus berlanjut, tidak ada ujungnya. Namun ada satu hal yang perlu kalian ketahui, aku bisa menjalin kasih dengan perempuan yang duduk di sebelahku ini karena hujan. Pada waktu itu, kami terjebak di toko buku yang sama. Hujan mengguyur kota ini selama dua jam. Akibatnya, kami harus mengobrol apa saja seraya menunggu hujan reda. Dan obrolan itu pun sampai kepada masalah hati. Dan akhirnya cinta kami merekah bersama indahnya pelangi yang menampakkan diri untuk menghias langit.
Dan kini hal yang sama terulang kembali. Kami terjebak dalam hujan. Tapi kali ini kami malah mendebatkan suatu hal yang menjadi saksi terjalinnya cinta kita. Aku mengembus napas pelan. Itu tidak baik. Baiklah, aku mengalah. Dan kau menang dalam perdebatan kali ini.
Pukul lima tepat. Hujan sudah mulai reda. Tidak ada titik-titik air yang jatuh lagi. Sebuah taksi berjalan pelan, berhenti di depan halte. Kau tersenyum, aku juga. Kau berdiri, aku juga. Kau melangkah, aku juga.
Di langit tampak pelangi yang berwarna-warni membentang dari selatan ke utara. Memang indah sekali. Itu dia yang kumaksud. Hujan adalah tanda ketulusan dan keromantisan. Hujan adalah anugerah. Tapi sudahlah, aku tidak akan membahasnya lagi. Aku sudah kalah.
Kemudian kita masuk taksi dan duduk bersama. Kita duduk sebagai seorang kekasih. Dan kita tidak akan berdebat lagi tentang hujan. [Gita Fajriyani]
KOMENTAR