ilustrasi: urusandunia.com |
Pada 22 November 2012 silam, sebanyak 32 penyair menghadiri Pertemuan Penyair Indonesia I di Pekanbaru, Riau. Dalam puncak acara itu, Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, mendeklarasikan kelahiran Chairil Anwar yang jatuh pada tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Tentunya penetapan Hari Puisi Indonesia tidak lepas dari peran dan kontribusi Chairil Anwar dalam sejarah perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Jujur saja, saya termasuk salah satu di antara banyaknya orang yang mengidolakan Chairil Anwar. Sebagai pencinta sastra, saya mengagumi kemampuan Chairil dalam mempergunakan diksi dan gaya bahasa dalam menulis puisi. Setiap kata yang digoreskan Chairil mempuyai makna yang kuat dan sangat dalam sehingga bisa menggetarkan hati saya.
Saya menyukai hampir semua puisi Chairil Anwar. Namun ada satu yang paling saya suka, bahkan saya menghafalnya dengan baik. Puisi itu berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Jika kita membaca puisi itu, sekilas maknanya hampir sama dengan puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah. Bahkan bisa dibilang, “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah versi baru yang lebih menarik dan mendalam dari “Berdiri Aku”.
Namun Chairil lebih diunggulkan karena pemilihan diksi dan pengolahan gaya bahasa yang digunakan. Selain itu, perjuangan Chairil dalam membuat bentuk puisi baru yang bebas namun masih mempertahankan bentuk puisi lama menjadi salah satu tolak ukur perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
‘Perusak’ Tatanan Sastra
Saya pernah membaca sebuah pengantar yang ditulis Rendra di dalam buku Aku karya Sumandjaya. Dalam pengantar itu, Rendra menyebut Chairil sebagai ‘perusak’ nilai sastra dan telah mengobrak-abrik tatanan yang sudah ada. Hal itu memanglah benar. Ketika saya membandingkan karya Chairil dengan para sastrawan Angkatan Pujangga Baru, seperti Sultan Takdir, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan lain sebagainya, Chairil pantas diberi label sebagai ‘perusak’ kaidah sastra yang diusung para Angkatan Pujangga Baru. Namun di sisi lain, Chairil sangatlah dibutuhkan sebagai subjek yang mengukir sejarah kebudayaan di Indonesia.
Karya sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru sangat terikat dengan bentuk baku, seperti gurindam, seloka, pantun, mantra, talibun, dan lain sebagainya. Pujannga Baru dalam menulis juga masih menggunakan bahasa Melayu yang mendayu-dayu. Selain itu, dominasi kesenian Jepang di Indonesia membuat Pujangga Baru tunduk dan patuh terhadap desain yang diukir Jepang untuk membantu propaganda pada Perang Dunia II.
Di situlah letak kesalahan mereka menurut Chairil Anwar. Dalam esainya yang berjudul “Hopla”, Chairil mengkritik bahwa Pujangga Baru sebenarnya tidak memperlihatkan corak dan tidak memberikan perubahan apa-apa. Chairil merasa bahwa mereka masih setengah-setengah dalam menciptakan suatu karya seni.
Maka pada saat itu pula Chairil datang dengan karya-karyanya. Sejak kehadiran Chairil, sastra yang awalnya terikat oleh bentuk aturan baku dan lebih condong menggunakan bahasa Melayu, berubah menjadi sastra yang bebas, tegas, dan lugas, serta mulai menggunakan bahasa Indonesia yang merepresentasikan jati diri bangsa yang sesungguhnya.
Karena hal itu, Chairil dinobatkan sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia– di sisi lain sebagai pelopor gerakan kesusastraan Angkatan ’45. Chairil menjadi orang yang penting dalam sejarah perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Bersahabat dengan Buku
Saya sebenranya tidak berhak—juga tidak enak-- ketika membandingkan Chairil dengan para pendahulunya. Toh, saya juga bukanlah seorang kritikus sastra. Namun kita perlu tahu dialektika sejarah kebudayaan yang pernah terjadi di negeri ini.
Satu hal yang saya kagumi pada sosok Chairil adalah kegemarannya dalam membaca berbagai buku. Saya tidak tahu sudah berapa banyak buku yang ia baca. Sementara itu, tidak ada data yang valid mengenai jumlah bacaan Chairil. Namun untuk menjadi penyair nomor satu di Indonesia, tentunya dia memerlukan bahan bacaan yang sangat banyak.
Kegemaran Chairil membaca buku sudah ada sejak ia masih kecil. Semasa hidupnya, Chairil tidak pernah lepas dengan buku. Buku sudah menjadi teman akrab yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Bahkan dalam sebuah acara televisi, Evawani Chairil Anwar, putri semata wayangnya, mengungkapkan bahwa Chairil lebih baik tidak punya uang untuk makan daripada tidak punya uang untuk membeli buku.
Tentunya hal itu sangat berbeda dengan generasi zaman sekarang. Minat generasi zaman sekarang lebih cenderung ke bidang gadget. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jumlah masyarakat Indonesia yang mengonsumsi internet. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun ini mencapai 123 juta orang. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati urutan negara keenam dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia.
Sebenarnya banyak sekali rahasia dalam hidup Chairil. Atau memang si Binatang Jalang ini selalu memiliki sisi misterius. Saya menemukan fakta bahwa Chairil Anwar memutuskan berhenti sekolah sebelum lulus SMP.
Meskipun ia tidak lulus SMP, namun kegemarannya membaca terus berlanjut. Dia mengisi hari-harinya hanya dengan melahap buku-buku. Tidak hanya buku bergenre sastra saja, tetapi sejarah, budaya, politik, dan filsafat pun ia khatamkan.
Dia juga mempelajari dan mengkaji karya-karya para sastrawan Barat, seperti Marsman, Rilke, Slauerhoff, E. Du Perron, dan lain sebagainya. Para sastrawan tersebut pula yang mempengaruhi gaya kepenyairan Chairil dan secara tidak langsung mempengaruhi tatanan kesusastraan Indonesia. Selain itu, berkat kegemarannya membaca berbagai macam buku, Chairil bisa menguasai empat bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis.
Kalian semua pasti terkejut, bukan? Ada seorang remaja yang tidak lulus SMP namun menguasai empat bahasa asing. Mengingat, anak itu tidak kursus atau mengikuti pelatihan bahasa asing. Hanya bermodal dengan hobinya membaca, dia sudah bisa melakukan sesuatu yang luar biasa.
Sungguh besar sekali manfaat yang dapat diperoleh dari membaca buku. Dengan membaca, seseorang pasti akan mengetahui banyak hal dan membuatnya maju dalam peradaban. Namun sayang, generasi zaman sekarang tidak dapat membuka matanya. Mereka menggunakan matanya hanya untuk menatap layar ponsel berjam-jam tanpa mau menyisihkan waktu sebentar untuk mengisi kepala mereka dengan bahan bacaan.
Apa Kabar Literasi Indonesia?
Literasi sejatinya mempunyai makna yang luas. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca-tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Setiap orang boleh saja menafsirkan literasi sesuai dengan argumentasinya masing-masing. Namun dalam tulisan ini, saya ingin mengembalikan makna literasi ke dalam bentuk awalnya. Menurut Merriam Webster, literasi berasal dari istilah latin literature yang mempumyai arti kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa literasi dalam konteks sempit mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan membaca dan menulis.
Berdasarkan cerita Chairil di atas, kita pasti tahu betapa pentingnya literasi. Namun masih sedikit di antara kita yang menyadari esensi dari hal tersebut. Begitu juga dengan teman-teman saya. Bahkan salah satu teman mahasiswa yang tinggal seasrama dengan saya tidak pernah mengkhatamkan satu buku pun selama hidupnya.
Menyakitkan sekali ketika melihat realita yang terjadi pada generasi zaman sekarang. Di era digital ini, para generasi muda mempunyai tradisi literasi yang buruk. Tidak usah jauh-jauh. Teman satu organisasi saya juga begitu. Dia lebih sering membaca postingan di beranda media sosialnya daripada membaca buku yang kaya akan ilmu dan wawasan. Dan lagi, dia lebih sering menulis pada kolom komentar di media sosialnya daripada menulis suatu karya yang bermanfaat bagi bangsa, seperti yang dilakukan Chairil Anwar semasa hidupnya.
Memang demikianlah budaya di negeri tercinta ini. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Hal itulah yang menyebabkan Indonesia tertinggal jauh dari negara lain dalam bidang pendidikan dan perkembangan sumber daya manusia.
Andai saja generasi sekarang mempunyai minat baca yang tinggi seperti Chairil Anwar, pastinya Indonesia akan lebih maju dalam pendidikan dan sumber daya manusia. Namun sayang sekali, semakin canggihnya teknologi malah membuat generasi muda lalai dalam tugasnya. Padahal banyak sekali ilmu pengetahuan dan informasi yang bersifat edukatif dapat diakses dari internet.
Di penghujung tulisan ini, izinkan saya bertanya tentang kabar literasi kepada para masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Wahai generasi muda, sudah berapakah buku yang Anda baca? Dan buku apa yang sedang Anda baca pada hari ini? Jangan-jangan, Anda hanya membaca postingan di akun instragram @comedyjomblo saja. [A.M.]
KOMENTAR