Halte Bus Rapid Transit 23, pukul 7 pagi.
Aku menajamkan penglihatan begitu bus transit pertama datang. Mencari sosokmu di antara orang-orang yang berdatangan dan berjubel memenuhi halte. Aku kecewa. Kenyataannya, tak kutemukan dirimu ada dalam pusara manusia di pemberhentian pertama bus itu.
Aku mendengus, kembali menyabarkan diri menunggumu pada kedatangan bus kedua. Sekiranya 20 menit waktuku menunggu, bus transit kedua pun datang. Mataku jelalatan mengamati, berharap menemukan sosokmu di sana.
Aku mencelos, setengah putus asa. Tapi aku menyadari jika bus kedua berhenti lebih lama dari biasanya. Sebersit keyakinan muncul, aku menyunggingkan senyum tipis.
Benar saja, di beberapa menit terakhir kutemukan dirimu, melangkah hati-hati keluar dari bus dibantu seorang kondektur.
Kau masih sama seperti terakhir kalinya kita berjumpa. Rambut bergelombangmu masih kau kucir ke belakang. Kau selalu mengenakan gaun putih selutut yang sedikit berkibar kala tersibak angin. Kau yang berjalan tanpa keraguan dengan tongkat putih di tangan kanan.
Aku diam, hanya mengamatimu dari jarak yang kuperkirakan aman. Aku beranjak ketika kau juga beranjak meninggalkan halte. Berjalan mengikuti ritme langkahmu yang tampak ringkih dari kejauhan, seperti penguntit.
Entahlah, aku pun tak tahu harus memberi alasan apa atas kebiasan menguntitimu yang kini mulai jadi rutinitas itu. Aku hanya suka saja, tak dapatkah itu jadi jawaban? Sebab suka tak perlu alasan, bukan begitu?
Di pertigaan jalan pertama kau berbelok ke sebuah gang. Aku masih mengikuti di belakang, meski aku tahu arah tujuanmu selanjutnya pastilah toko bunga mawar yang letaknya jauh di ujung gang itu. Tempat di mana kita untuk pertama kalinya bertemu tujuh hari lalu.
***
Tujuh hari lalu.
Paparan udara panas langsung menyengat kulit begitu kubuka pintu sedan hitam milikku. Setengah berlari, aku menuju ke sebuah toko bunga yang terletak di seberang jalan.
"Permisi, dapatkah saya membeli bunga mawar putih yang masih hidup?"
Perempuan penjaga toko bunga itu mengernyit, "Maksud tuan, mawar yang belum dipetik?" Aku mengangguk.
Ia menggigit bibir, "Ada banyak jenis mawar yang saya biakkan dan jual di sini, termasuk mawar putih itu. Tapi entah kenapa, tiap kali kuncup mawar putih hendak membuka, ia selalu kering sehari setelahnya, kemudian mati. Maaf tuan, tampaknya Anda datang di saat yang tidak tepat."
Aku tersenyum kecut, sedikit berbasa-basi lalu pamit pergi.
Terhitung, lebih dari sepuluh toko bunga di kota ini kudatangi demi sekuntum mawar putih yang masih hidup. Tapi kenyataannya, nihil. Mereka tak memiliki bunga yang kucari dengan bermacam alasan. Entah itu sold out, bunga terlanjur dipetik, stok kosong, tidak menjualnya, dan yang terbaru, bunga itu tiba-tiba kering lalu mati. Ada apa dengan bunga mawar putih di tempat ini?.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Segera memencet tombol dial pada satu-satunya nomor yang tertera di sana.
"Halo? Kakak, bagaimana keadaan ibu di sana?"
"Tidak terlalu baik Za. Bagaimana mawar putihnya, sudah kamu temukan?"
"Belum." Kututup telepon tanpa mengucap sepatah kata pun.
Aku menghela napas panjang. Teringat bagaimana ibu biasa menyirami bunga mawar putih kesukaannya yang selalu diletakkan di samping jendela kamar rumah sakit. Ia selalu tersenyum tiap kali tahu aku memergoki kegiatannya itu sambil berseloroh ringan,
"Kamu tahu, Za? Warna putih pada mawar ini bisa memberi ketenangan bahkan mengurangi rasa sakit yang ibu rasakan. Jangan biarkan kuncup ini layu, mengerti?"
Aku tak banyak merespon perkataan ibu, sebab ia akan merancau ini-itu soal mawar putih. Aku tak terlalu suka bunga, jadi kupikir wajar saja jika aku tidak menaruh perhatian atas hal tersebut.
Berbeda, ketika beberapa hari kemudian ibu ada dalam masa kritis akibat komplikasi yang diterimanya paska kemoterapi. Aku berusaha menggantikan posisi ibu merawat mawar putih itu saat ia masih belum dapat sadarkan diri. Mencoba memenuhi janji untuk tidak membiarkan kuncup mawar itu layu.
Bodohnya aku yang tak tahu bagaimana cara merawat mawar putih ibu. Seminggu setelahnya, mawar itu layu dan busuk sebab kadar air yang kuberikan terlalu banyak. Aku panik. Lebih lagi keadaan ibu pun jadi semakin buruk seiring dengan nasib mawar putihnya yang sekarat.
Aku masih tinggal dalam lamunan begitu kulihat sekelebat sosokmu lewat di depan mataku. Kau mengenakan gaun warna putih selutut, berjalan sambil menuntun tongkat menuju sebuah gang di belokan pertigaan pertama. Awalnya tak ada hal darimu yang membuatku tertarik. Namun, persepsi itu berubah begitu aku melihat benda yang kau tenteng di tangan, sebuah mawar putih yang masih hidup.
Seketika, aku pun mengejar dan berteriak menyerumu. Kau berhenti, bukan karena seruanku, tapi karena kau telah sampai di tempat tujuanmu. Sebuah toko bunga yang letaknya jauh di ujung gang ini.
Aku terperangah. Sudah lebih dari sepuluh toko bunga yang kudatangi, tak ada satu pun dari mereka menjual mawar putih yang kuinginkan. Tapi lihatlah toko bunga milikmu itu! Di sana, hidup puluhan rimbun mawar putih yang kuncupnya merekah sempurna. Sungguh ironi yang kebetulan.
Aku hendak menghampirimu ketika kau tengah membuka pintu toko bunga itu. Sayang, langkahku tertahan oleh dering telepon yang tiba-tiba berbunyi. Telepon dari kakakku.
"Aku sudah menemukannya, Kak."
"Lupakan mawar putih itu, Za. Segera kembali ke rumah sakit! Ibu meninggal."
Aku terpaku di tempat. Tak kuhiraukan isak tangis kakak di seberang telepon. Belum sampai kuganti kuncup mawar putih kesayangannya itu, bagaimana bisa ibu pergi tanpa pamit kepadaku?
Kenyataan menamparku begitu keras. Mataku tak lepas menatap toko bunga itu, yang rekahan mawar putihnya terhampar rimbun memenuhi ruangan toko. Aku terlambat. Apa yang telah kulakukan kini jadi sia-sia. Akhirnya, aku pun berbalik dan pergi.
***
Aku masih setia mengikutimu dari kejauhan. Pikiranku masih kacau dengan kenangan yang mendadak berkelebat dalam benakku. Sebatas pengandaian saja, jika dulu aku tidak langsung berbalik dan menyempatkan diri untuk menyapamu, kira-kira apa yang akan terjadi setelahnya?.
Kau berhenti tepat di depan toko bunga milikmu, di mana hanya ada bunga mawar putih di situ. Kau mulai memilih kunci untuk membuka gerendel pintu. Lalu, klinting kunci pintu itu terjatuh. Setengah panik, kau pun berjongkok sambil merayapi tanah, mencari-cari kunci yang tanpa sengaja kau jatuhkan.
Mungkin karena dorongan naluriah, aku akhirnya tergerak membantumu mencari kunci itu. "Kutemukan kuncimu," seruku segera ketika berhasil menemukan dan memungutnya.
Kau berbalik, sorot matamu tidak fokus menghadapku. "Benarkah?" tanyamu sambil coba meraba kunci yang kusodorkan. Yakin jika itulah kunci yang dicari, kau pun tersenyum. "Terima kasih banyak, tuan."
Aku menyunggingkan senyum. Seperti kau akan melihatnya saja. Aku menggeleng pelan, mendadak jadi tolol.
"Sama-sama." Responku pada akhirnya.
Kau terdiam. Keningmu berkerut, seakan memikirkan sesuatu hal. "Tidakkah kita pernah bertemu sebelumnya, Tuan? Saya tampak tak asing dengan bau Anda."
Aku menelan ludah. Apakah kau menyadari jika aku selalu menguntitimu? "Tidak. Memangnya kenapa?" Tanyaku berkilah.
Seulas senyum terbentuk di wajahmu, "Maukah Anda menunggu sebentar, Tuan?" Kau langsung melenggang sebelum mendengar kalimat apa pun terlontar dari mulutku. Tak lama kemudian kau kembali dengan membawa sebatang mawar putih yang masih hidup.
"Ini untuk Tuan." Katamu sambil menyodorkan mawar putih itu kepadaku.
Sepersekian detik, aku terbungkam. "Untuk apa mawar putih itu?"
"Mawar putih melambangkan bentuk penghormatan, tapi kadang juga bentuk duka-cita pada orang terkasih. Anda bisa memilih salah satunya."
Aku menelan ludah, ragu-ragu menerima uluran mawar putih itu.
Kau tersenyum simpul, "Jika ragu merawatnya, Anda bisa menanam dan membiarkannya tumbuh liar."
Aku memperhatikan kuntum mawar putih di tangan. Hanya melihat kuncupnya saja, pikiranku langsung melayang teringat mendiang ibu. Sepekan setelah kepergiannya, belum pernah aku mengunjungi makam ibu.
"Kadang tumbuhan pun perlu mempertahankan hidupnya sendiri."
Aku tersenyum mendengar gumamanmu, entah kenapa, aku tak tahu. Hanya saja sebersit ide muncul di benakku. "Terima kasih," ucapku tulus padamu seraya berbalik pergi sambil menenteng mawar putih yang kau berikan. Perasaanku mengembang, tiba-tiba saja aku ingin segera melakukan hal paling tepat saat ini, itu saja. [Sophero]
KOMENTAR