Saya tertegun ketika melihat berita tentang Marcus dan Kevin, atlet bulu tangkis Indonesia yang dinobatkan sebagai ganda terbaik dunia pada bulan Maret lalu. Mereka berhasil mencapai prestasi gemilang di usia belia, keduanya sebaya dengan saya. Baik Marcus maupun Kevin, sama-sama terlahir pada awal tahun 1990-an. Marcus lahir pada 09 Maret 1991, sementara Kevin berusia empat tahun lebih muda dengan tanggal lahir 02 Agustus 1995.
Sebagai generasi yang lahir dalam situasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang tidak jauh berbeda, saya yakin Marcus dan Kevin pernah mendapatkan pertanyaan yang sama dengan saya sewaktu masih duduk di bangku TK. "Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?" begitulah yang biasa ditanyakan oleh guru dan orangtua. Dengan pikiran anak-anak yang masih polos, biasanya mereka akan menjawab, "Saya mau jadi polisi, pilot, dokter atau pun pemain sepak bola."
Anak-anak waktu itu selalu diarahkan untuk menggantungkan mimpi dan cita-cita mereka setinggi langit. Mereka selalu diingatkan untuk pantang menyerah dalam menggapai mimpi itu dengan cara rajin belajar. Anak-anak juga selalu diarahkan untuk menempuh pendidikan hingga jenjang paling tinggi untuk menggapai cita-cita mereka.
Setelah beranjak dewasa, mulai timbul pertanyaan mendasar dalam benak saya. "Mengapa cita-cita anak-anak di negeri ini selalu identik dengan pekerjaan maupun profesi?" Apakah memang pendidikan karakter anak-anak Indonesia sengaja ditujukan ke arah sana? Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan nalar dan pemikiran, apa yang dicita-citakan oleh seorang anak ketika ia masih duduk di bangku TK bisa saja berubah.
Belasan tahun telah berlalu, semenjak generasi yang lahir di awal tahun 1990-an mendapatkan pertanyaan mengenai cita-cita mereka di masa depan. Kini satu per satu dari mereka telah mendapatkan jawaban atas impian meraka. Ada yang konsisten mempertahankan cita-citanya, hingga ia sekarang benar-benar menjadi seorang anggota polisi. Ada yang telah berhasil menjadi dokter setelah menelan biaya puluhan juta rupiah untuk bisa kuliah di Fakultas Kedokteran. Ada pula yang banting setir, mengubah haluan cita-citanya menjadi seorang seniman.
Kini generasi yang lahir di awal tahun 1990-an bukan lagi anak-anak, mereka telah menjadi "orang tua" baru. Di waktu inilah prinsip iron stock mulai berlaku, yang muda menggantikan peran yang tua. Mereka mengambil alih "pena", dan beranjak menuliskan sejarah mereka masing-masing. Apalagi momentum ini bertepatan pula dengan hadirnya peluang emas, berupa bonus demografi. Dimana penduduk Indonesia hingga tahun 2035 mendatang akan didominasi oleh penduduk usia produktif. Kesempatan itu ditunjang pula oleh akses teknologi yang semakin mudah.
Para orangtua pun mulai menuai hasil dari apa yang mereka tanam. Mereka bisa ikut berbangga diri melihat anak-anaknya yang lahir di tahun 1990-an telah meraih apa yang mereka cita-citakan. Begitu pula dengan para guru, mereka merasa turut andil dalam kesuksesan yang telah diraih oleh murid mereka dengan bekal pelajaran matematika, IPA, IPS, bahasa Inggris, serta pelajaran lainnya yang mereka berikan sewaktu masih duduk di bangku sekolah.
Namun tidak sedikit pula orangtua dan guru yang kecewa dengan anak-anak mereka, sebab mereka terlibat dalam kasus narkoba, terorisme, atau tindakan kriminal lainnya. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat yang harus segera disingkirkan. Namun bagaimanapun sikap pemuda hari ini, salah satunya merupakan hasil penanaman dan pembentukan sikap dari orangtua dan guru kepada generasi 1990-an.
Generasi 1990-an berbeda dengan generasi-genarasi sebelumnya. Mereka tumbuh besar di tengah peralihan zaman, dari zaman analog menuju zaman digital. Generasi ini menjadi bahan uji coba dari segala macam produk teknologi yang dianggap canggih waktu itu, seperti handphone, playstation, televisi, serta beragam teknologi lainnya. Merekalah yang menjadi konsumen pertama dari bentuk awal kemajuan teknologi.
Maka tak heran ketika generasi 1990-an berkumpul, mereka akan bernostalgia dengan masa kecil mereka di mana mereka bisa bermain bersama sepuas hati tanpa takut hujan, panas, maupun sakit. Bagi mereka, tahun 1990-an menjadi momentum yang paling istimewa sebelum akhirnya beranjak dewasa dan mempertanggungjawabkan cita-cita yang mereka gantungkan setinggi langit.
Hal itu masih menjadi langkah awal, tugas yang lebih besar masih menanti generasi 1990-an dalam waktu dekat. Keberlangsungan hidup negeri ini akan sepenuhnya berada dalam kendali mereka. Sudahkah generasi 1990-an siap menghadapi momentum tersebut? [Nashokha]
KOMENTAR