Dari kejauhan, tampak seorang pria paruh baya mendorong gerobak biru penuh kotak alumunium berisi kerupuk. Ia berjalan layu menyusuri sudut-sudut kota sambil menjajakan kerupuk.
Mbah Karno, begitu orang menyapa pria tua itu, bukan warga asli daerah setempat, ia perantau gigih asal bumi Kediri.
Bermaksud mengubah nasib di Ibukota, ia malah jadi penjual kerupuk milik seorang tetangganya dulu, saat ia masih tinggal di kontrakan sebelum diusir karena tak mampu bayar.
Ia hidup sangat sederhana dalam kesendirian. Istrinya meninggal beberapa tahun lalu sejak kepindahannya ke Ibukota, dan anak semata wayangnya, bagaimana kabarnya pun ia tak tahu.
Matahari mulai lengser ke ubun-ubun, Mbah Karno mempercepat laju gerobaknya. Tak lama berselang, sampailah ia di depan sebuah gerbang universitas Ibukota.
Ia diam sejenak, menghentikan gerobaknya di tengah terik matahari. Entah kenapa, perasaan gelisah selalu menjalar ke lubuk hati tiap kali ia menatap universitas itu. Kening Mbah Karno berkerut, pikirannya melayang teringat sesuatu.
Lama, Mbah Karno terdiam di depan gerbang universitas itu, sebelum akhirnya sadar jika ia harus menyetorkan kerupuk dagangannya di warung-warung sekitar. Kebetulan, tempat pertama yang ia datangi adalah kantin universitas tersebut.
"Berapa totalnya Mbah?" Tanya Erni, penjaga kantin universitas, setelah mengambil beberapa kotak kerupuk dari gerobak.
Mbah Karno bergeming.
"Mbah Karno!" Erni menyeru.
Yang diseru langsung gelagapan, "Eh, iya Mbak. Duapuluh ribu."
Erni menghela napas, "Mbah Karno lagi ngelamunin apa?" Tanyanya sambil menyodorkan selembar duapuluh ribuan.
Mbah Karno menggeleng pelan, "Ah, bukan apa-apa Mbak. Makasih Mbak Erni, saya langsung saja gih. Monggo," ia berpamitan sambil mengulum senyum.
Erni mengangguk sambil terus memperhatikan gelagat Mbah Karno dari jauh. Sudah setahun lebih ia menjadi langganan kerupuk Mbah Karno, tapi ia tak juga menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya tentang pria paruh baya itu. Mbah Karno yang sering melamun bahkan tak jarang meneteskan air mata tiap kali hendak mengantar kerupuk di kantin Universitas, ada apa dengannya?
Seseorang menepuk bahu Erni, seketika langsung membuyarkan lamunannya.
"Kenapa Ni?" Tanya sosok iseng berseragam satpam yang tiba-tiba sudah ada di samping Erni sambil *mencomot* kerupuk dari kotaknya.
Erni nyengir, "Bukan apa-apa Pak."
Satpam itu menggeleng samar, "Kau pikir aku tak tahu tabiatmu?" ia menunjuk siluet Mbah Karno yang mulai menghilang.
Erni menunduk, "Saya prihatin, Pak. Rasanya Mbah Karno punya tekanan batin dengan universitas ini."
Satpam itu menyunggingkan senyum, "Itu memang benar." responnya seketika membangkitkan rasa ingin tahu Erni. "Ada gosip yang mengatakan jika dulu anak Mbah Karno pernah kuliah di sini tapi hilang setelah mendapat beasiswa ke luar negeri."
"Hilang? Bagaimana bisa?"
"Ya klise. Seperti ceritanya Si Malin Kundang itulah, kacang lupa kulitnya."
Erni terdiam, terbesit perasaan iba tiba-tiba menyusup di batinnya. "Kasihan Mbah Karno ya, Pak."
***
Senja mulai tampak menggantung di ufuk barat. Mbah Karno menyandarkan gerobaknya di samping gubuk kecil yang ia bangun paska gusuran gubuk lamanya di sekitar kolong jembatan. Sunyi senyap keadaan rumah Mbah Karno.
Maklum, ia masih belum memiliki tetangga yang nekat membangun rumah kembali di sekitar kolong jembatan. Di dalam rumahnya pun hampir kosong melompong, ia hanya memiliki selembar alas tidur dan sebuah lampu yang disambung dengan batu baterai.
Di dalam gubuk kecil ini ia biasa merenung sendirian dalam sepi yang terasa membekukan waktu. Kadang ia tersenyum sendiri kala teringat mendiang istri dan anaknya semasa masih hidup di Kediri. Ia memang tidak kaya, tapi setidaknya ia bahagia menjalani hidup yang utuh.
Air muka Mbah Karno mendadak berubah liat. Ia ingat kebodohan dan keegoisannya ketika pilih merantau ke Ibukota setelah kepergian Sundari, istrinya, dari dunia. Ia ada dalam pikiran yang kacau kala itu. Lebih lagi usia Adi, anak semata wayangnya, masih lima tahun.
"Adi, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" lirih Mbah Karno, tenggelam dalam dinginnya malam yang masih tampak muda.
***
*Dok. Dok. Dok.*
Suara pintu diketuk. Mbah Karno hanya mengeliat dalam tidur. Sejak ia tinggal di kolong jembatan, tak pernah ada catatan tamu berkunjung ke rumahnya dan mengetuk pintu, bahkan tetangga pun tidak.
"Mbah Karno ada di dalam?" Seru suara dari luar, masih mengetuk pintu berulang-ulang.
Mbah Karno membuka satu-satunya pintu rumah yang tak pernah terkunci sambil menahan kantuk. "Iya, ada apa?" Sapanya dengan mata separuh membuka.
Tamu Mbah Karno itu menyodorkan sebuah lampiran kertas kepadanya, "Maaf Mbah, tapi tampaknya anda harus segera beranjak dari sini. Tempat ini akan direvitalisasi. Kami tidak bisa memulai pekerjaan jika Mbah Karno masih membangun gubuk di daerah ini."
Mbah Karno tertunduk lesu. Ia bukannya tak menyadari peringatan revitalisasi sebelumnya. Hanya saja, ia betul-betul tak yakin harus ke mana setelah penggusuran ini. Tanpa banyak berkata, ia langsung mengemasi barangnya yang tak seberapa itu kemudian menaruhnya di gerobak.
Matahari masih belum naik sempurna, tapi ia sudah mengalami hal tidak mengenakkan tersebut.
"ADI!"
Mbah Karno sontak menghentikan langkah kakinya begitu mendengar seruan nama itu. Ya, Adi adalah nama anak yang sering dirindukannya. Wajar bila ia sering tersentak begitu mendengar nama itu diucapkan bahkan diserukan.
Ia menoleh ke belakang, melihat ke arah kerumunan pekerja yang mulai berdatangan. Satu dari mereka yang tampak menonjol, mungkin ialah mandor, mungkin juga kontraktor, berdiri tegap di tegah para pekerja yang rata-rata berpenampilan lusuh. Sekilas saja, Mbah Karno merasa familiar dengan lelaki yang tampak menonjol itu.
Mbah Karno coba menatap seksama lelaki itu dengan kedua matanya yang rabun. Lelaki itu memiliki perawakan tinggi tegap layaknya perwira. Penampilannya pun jauh dari kesan kampungan. Berbeda dengan Adi anaknya yang kurus ceking dan lusuh. Namun, entah gerangan apa, ia jadi teringat Sundari tatkala melihat lelaki itu.
"Mungkin hanya perasaanku saja." Tepisnya, lalu kembali mendorong gerobak dan pergi.
***
"Adi!"
Lelaki yang diseru itu menoleh, "Gimana Jar? Sudah kamu urus?"
Anjar mengangguk. "Pemilik gubuk kecil itu udah gue urus. Lo bisa langsung eksekusi sekarang."
Adi tersenyum puas, "Kamu memang bisa diandalkan Jar." Pujinya.
"Lo enggak tahu Di. Di sana gue menahan diri supaya bisa tegas sama kakek tua itu!"
Adi mengernyit, "Loh, kenapa? Bukankah itu salahnya? Kita sudah memberitahunya sejak dua bulan lalu. Salah sendiri dia enggak mau pindah setelah digusur."
Anjar menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Ah, elo itu tahu apa soal Mbah Karno? Baru kemarin pulang Indonesia aja belagu!" Ia berkata nyinyir.
Adi sedikit tersentak mendengar nama itu, "Siapa nama kakek itu?"
"Karno. Kenapa?"
Adi mendadak bisu. Sorot matanya nanar menerawang. "Bukan apa-apa. Mendadak ingat masa lalu saja," jawabnya sambil melempar senyum. "Nama itu, ah, mungkin hanya perasaanku saja". [Riyan ELf]
KOMENTAR