Ilutrasi: pemimpin wanita |
Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 46 menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai syarat yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan keterwakilan dalam pasal tersebut, adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi perempuan untuk melaksanakan peranan dalam bidang politik menuju keadilan dan kesetaraan jender. Dalam keanggotaan partai politik pasca orde baru, keberadaan wanita minimal 30% dari seluruh anggota.
Namun, posisi perempuan kadang diperdebatkan oleh banyak pihak, terutama untuk menjadi seorang pemimpin. Terutama oknum yang fanatik agama, kalimat ar-rijalu qowwamuna ‘ala an-nisa (QS: an Nisa) ikut m enegaskan posisi wanita selalu berada di bawah laki-laki. Padahal, dalam Quran terdapat juga term khalifah, al-insan, basyar, dan bani adam yang di dalamnya tercakup laki-laki dan perempuan, artinya itu adalah pengokohan terhadap ide kesetaraan tanpa diskriminasi antara keduanya.
Perempuan Pra Islam
Sebelum datang Islam, kedudukan perempuan benar-benar di bawah keterpurukan, eksistensi perempuan saat itu sama sekali tidak ada. Mereka dianggap sebagai budak, atau sarana pelampiasan seks belaka. Tak jarang mereka dianggap sebagai penghalang untuk kemajuan bangsa, hingga ketika ada bayi perempuan lahir, mereka tak segan untuk menguburnya hidup-hidup.
Diskriminasi jender antara laki-laki dan perempuan banyak dijumpai dalam kultur ini, dan perempuan kerap menjadi korbannya (Said Aqil, 2012:243). Hal itu terjadi karena laki-laki dipandang memiliki banyak kelebihan atas perempuan. Bahkan sebagian besar negara di dunia, posisi perempuan berada dalam keadaan yang tidak memuaskan dibandingkan dengan laki-laki. Baik itu pembangunan politik, sosial-budaya, ekonomi, maupun pendidikan.
Feminisme dalam Islam
Beberapa kelompok kadang salah memaknai posisi perempuan dalam Islam, kalimat ar-rijalu qowwamuna ‘ala an-nisa seakan menempatkan posisi perempuan tidak bisa lebih dari laki-laki. Padahal, kronolgi turunnya ayat tersebut bukan karena perempuan tak bisa apa-apa atau tak mampu sejajar (peran sosial) dengan seorang laki-laki, melainkan bermula dari kisah isteri Saad ibn Rabi’, Habibah binti Zaid ibn Abi Hurairah menolak ajakannya untuk bergaul.
Selain ayat tersebut, hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa) kepada seorang perempuan”. Sebab turunnya ayat ini, ternyata bukan karena perpempuan yang tak bisa memimpin, tetapi karena penolakan ajakan Muhammad untuk masuk islam kepada Kisra Anusyirwan (penguasa imperium Persia yang beragama majusi). Hadist ini menafsirkan bahwa objeknya bukan umum untuk seluruh perempuan, tetapi hanya ditujukan untuk Kisra Anusyirwan, Dan hadist itu juga bukan sebuah larangan, melainkan hanya berita.
Perempuan Boleh Memimpin
Tak sedikit ulama kontemporer saat ini mengeluarkan ijma’ mengenai dibenarkan atau diperbolahkannya perempuan menduduki kursi pemerintahan termasuk menjadi pemimpin (presiden).
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa, perempuan berhak menduduki posisi apapun dalam pemerintahan maupun sektor swasta karena sikap islam dalam soal ini jelas bahwa perempuan memiliki kemampuan sempurna dan tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam Quran, figure ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik seperti figur Ratu Bilqis dengan negeri Sabanya. Negeri tersebut diabadikan menjadi sebuah surah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa). Itulah sebutan bagi negeri saba yang dikatakan ratunya mampu menggerakan sistem pemerintahan yang demokratis, dan megoptimalkan dialog terbuka dengan melibatkan pejabat politiknya.
Quran ternyata megizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan “oposisi” terhadap kezaliman demi menegakan kebenaran. Baik perempuan maupun laki-laki, diperbolehkan memasuki birokrasi jika ia memiliki potensi untuk memperbaiki pemerintahan. Semua pekerjaan harus didasarkan pada keimanan dan ketaqwaan, diusahakan dengan ilmu yang ia miliki serta disampaikan dengan amal. Jika ilmu tanpa keimanan, niscaya akan menjadikan manusia itu jauh mengingkari Tuhannya.
Penulis Nida Nur Kholillah
Ketua Bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi BEM Fakultas Hukum Universitas Kuningan
KOMENTAR