Cinta Tanpa Kata |
Dia masih sama, mengenakan cheongsam merah dengan rambut digelung konde sederhana. Menampakkan Paras orientalnya yang masih tampak menawan seperti biasa. Ia bungkam sambil menggenggam cangkir teh, tak tertarik meminumnya. Mungkin ia menganggap, hangat teh di tangannya mampu mencairkan kebekuan kami.
Aku jengah menunggu, tapi tak coba membuka pembicaraan. Pantang bagiku melakukannya, lebih lagi dialah yang mengundangku untuk datang. Kuputuskan untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat yang sama ketika untuk pertama kalinya aku menyatakan cinta. Cafe Bona, meja paling ujung dekat kaca. Tempat favorit kami berdua untuk menghabiskan waktu bersama, dulu, ketika segalanya masih kuanggap normal seperti adanya.
“Lama ya, kita tidak berjumpa.” kaku dia memulai obrolan. Satu tangannya meraba siku, isyarat ketidaknyamanan.
Aku melempar senyum yang kupaksakan.
“Bagaimana kabarmu sejauh ini, Chen?” Tanyanya, kali ini sambil mengangkat wajah, menatapku.
Kabarku? Tidak jauh beda ketika kau meninggalkanku dulu. Aku membalas tatapannya. Dalam sekejap waktu seakan berhenti, menyeret kami dalam keheningan.
Dari sorot matanya, sempat kulihat sepercik kerinduan yang mendadak muncul ke permukaan. Masih ada cinta tersimpan di sana.
Aku menggeleng samar, menolak dugaan sentimental di kepalaku. Masih ada cinta? Benarkah? Lalu cinta yang seperti apa tepatnya? Apakah cinta yang berhasil mematahkan sayap pecintanya tiga tahun lalu dapat dikatakan cinta? Cinta yang membuat si pecinta terbelenggu dengan dua kaki yang dipaksa menapaki kerasnya dunia realitas sendirian. Itukah cintanya yang kulihat masih tersimpan?
***
Aku anak rantau yang melepaskan destinasi terakhir di salah satu kota bersejarah negeri ini, Semarang. Alasan yang mendasari kepindahanku sederhana, aku ingin mengejar beasiswa sarjana dan mewujudkan ambisiku menjadi seorang arsitek, terlepas dari segala bentuk kekurangan yang kumiliki. Dulu, hanya itu yang kuinginkan. Sebelum segalanya berubah ketika aku bertemu dengannya.
Senin pertama di awal masa kuliah, ketika para mahasiswa baru sangat antusias mengikuti serangkaian acara stadium general, aku dengan tak acuhnya malah menghabiskan waktu menjelajah perpustakaan universitas baruku, kebiasaan lama yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Aku berkeliling perpustakaan sekaligus menyortir dan mengingat tempat persemayaman buku-buku dengan klasifikasi berbeda tiap pembahasan. Tak sulit bagiku berbaur dengan mahasiswa lain yang notabene senior, perpustakaan adalah duniaku.
“Maaf, bisa tolong ambilkan buku di atas sana? Saya kesulitan meraihnya.” Seorang perempuan menarik lenganku sambil menunjuk-nunjuk buku yang dia maksud.
Aku mengernyit, sedikit melempar tatapan aneh padanya. Perempuan mungil keturunan cina dengan pipi buntal dan mata sipit, ditambah Cheongsam merah dan tatanan rambut berponi yang dia kenakan, membuatnya tampak seperti boneka yang dipajang di etalase toko dengan cap made in China.
Dia tersenyum, matanya yang sipit tampak seperti bulan sabit. “Terima kasih banyak.” Ucapnya tulus begitu aku selesai mengambilkan buku incarannya.
Aku balas tersenyum, sedikit gemas juga sejujurnya. Dia benar-benar seperti boneka jika tersenyum seperti itu.
“Ling-ling, ayo! Kita sudah telat masuk jam kuliah.”
Perempuan yang dipanggil Ling-ling itu seketika terenyak. “Iya, iya! Senang bertemu denganmu dan terima kasih bantuannya...” katanya cepat-cepat, setengah berlari menyusul temannya.
Lagi-lagi aku tersenyum. Setidaknya dari situ aku mengetahui nama si gadis made in China itu, Ling-ling.
***
Ling-ling mahasiswi Fakultas Ekonomi, dua tingkat semester di atasku. Secara harafiah dia adalah senior, meski pada kenyataannya tetap akulah yang lebih dewasa karena usiaku lebih tua. Aku baru mengetahuinya sebulan setelah kami berkenalan. Wajar saja karena kami jarang bertemu, ditambah jam mata kuliah kami hampir selalu sama sedangkan aku mengambil Studi Arsitektur. Jadi, hanya perpustakaanlah tempat hangout kami berdua.
Sudah hampir satu semester berlalu semenjak kedatanganku di sini. Musim liburan akan tiba, waktu yang paling ditunggu-tunggu bagi hampir seluruh mahasiswa, kecuali aku.
Aku benci saat-saat dimana aku harus mencari aktifitas baru untuk mengisi waktu luang, sedangkan aku sendiri tak mungkin pulang kampung. Emak meninggal saat usiaku sepuluh tahun, Bapak menikah lagi setahun kemudian. Istilah kampung untukku berarti kuburan Emak. Aku takkan mungkin menghabiskan waktu liburan di sana.
“Chen, bagaimana kalau liburan nanti kita bekerja di restoran bibiku?” Ling-ling bertanya sambil menyikutku, minta perhatian.
Aku menaikkan sebelah alis, menutup buku yang kubaca lalu menoleh kepadanya.
“Katanya kamu sedang mencari aktivitas pengisi liburan kan? Saya hanya coba membantu. Kalau kamu mau saya bisa langsung kontak bibi. Tapi kalau enggak,” mulut Ling-ling langsung bungkam ketika tiba-tiba aku meraih tangannya.
Aku tersenyum, menggenggam tangannya sambil mengangguk mantap.
Dia tertawa sumringah, memamerkan sederet gigi putih terawat bak model iklan pasta gigi. Pipinya yang buntal terangkat, membuat mata sipitnya tampak seperti lengkungan senyum. Smiling eyes yang menggemaskan dari gadis made in China temuanku.
***
Aku melirik jam di pergelangan tangan, pukul 19.26 WIB. Masih empat menit tersisa sebelum waktu pertemuan yang kami agendakan. Dua ratus empat puluh detik di penahbisan waktu yang menahunkan detik. Cemas aku menunggu kedatangan Ling-ling. Khawatir jika sebuket bunga mawar yang hendak kuberikan mendadak layu saking lamanya waktu berputar.
Sengaja, aku mengundang Ling-ling bertemu di tempat selain perpustakaan untuk bicara. Sebuah perayaan kecil atas berakhirnya masa kerja sebagai pelayan restoran, sekaligus kesempatan untuk berempat mata dengannya. Hanya berdua, tanpa buku-buku, tanpa teman-teman, tanpa penjaga perpustakaan. Dan Cafe Bona adalah tempat yang kupilih untuk pertemuan outdoor perdana ini. Sebuah cafe bergaya minimalis yang sarat unsur Tempo Doeloe, seorang teman sekelas menyarankannya padaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mulai bosan. Hingga sorot mataku menangkap siluetnya yang berjalan perlahan dari arah pintu.
Dia cantik, rambutnya yang biasa digelung kini dikucir kuda. Cheongsam merahnya pun berganti menjadi gaun tutu merah selutut. Ia menyunggingkan senyum kepadaku.
“Hai! Sudah lama menunggu?”
Aku menilik jam di tangan, 19.30 tepat, kemudian menggeleng.
Ling-ling duduk, tapi sorot matanya memerhatikan sekeliling, “Pilihan yang bagus untuk tempat hangout selain perpustakaan” Komentarnya sambil nyengir, “Kamu sudah pesan Chen?” Tanyanya seraya meraih daftar menu di hadapannya.
Aku mengangkat bahu.
Ling-ling memutar bola mata sambil membalik lembar-lembar buku menu.
Kuberanikan diri meraih tangan Ling-ling yang terkulai. Dari ekspresinya aku tahu dia sedikit terkejut, tapi tak coba mengelak. Dia malah terdiam, larut dalam gelombang aneh yang mendadak tercipta. Aku menatapnya dalam, ritme detak jantungku mulai tak beraturan. Satu tanganku mengeluarkan sebuket mawar yang kusiapkan untuknya.
Ling-ling menerimanya dengan tulus. “Tampaknya cafe ini akan jadi tempat hangout favorit kita berdua”, Ia tersenyum. Senyum terindah yang pernah kutahu.
Tak ada pernyataan cinta keluar dari kedua mulut kami malam itu. Biarlah kami jalani sebagaimana adanya saja. Sebab kami percaya, bahwa cinta tak butuh aksara.
***
Tiga tahun merupakan deadline waktu kebersamaan kami di universitas. Ling-ling telah menamatkan sarjana ekonominya, otomatis dia harus segera melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pilihannya jatuh pada Tiongkok, negeri tempat moyangnya berasal. Kenyataan yang membuatku terpukul sekaligus kehilangan.
Aku ingat persis kejadian itu. Dua minggu pasca perayaan wisuda kesarjanaan Ling-ling, aku mengajaknya pergi ke Klenteng di kawasan Pamularsih. Kupikir, ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan maksud yang telah kusimpan sekian lama. Aku hendak melamarnya. Aku ingin mengukuhkan hubungan kami ke tingkat yang lebih serius sebelum kepergiannya.
Aku menggandeng tangan Ling-ling, menariknya untuk duduk di kursi taman Klenteng yang kebetulan sepi.
Belum sempat aku mengutarakan maksudku, Ling-ling telah lebih dulu memecah keheningan.
“Saya ingin bicara Chen...”
Aku terperangah, tapi mempersilahkannya untuk mulai duluan, ternyata bukan hanya aku yang ingin berbicara di sini.
“Sejak kecil hidup saya selalu berada di bawah aturan. Ada hal-hal yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan saya tapi harus saya lakukan, termasuk kepergian ini. Maaf Chen, kamu adalah orang baik yang pernah saya kenal. Jadi ijinkan saya untuk terbang sebagaimana adanya tanpa perlu ada yang saya khawatirkan, dapatkah?”
Aku diam. Butuh waktu untuk mencerna kalimatnya satu per satu. Dari apa yang kumengerti, tampaknya momen ini bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan maksudku. Aku mengulum senyum, meraih tangan Ling-ling lalu menciumnya. Meski sejatinya aku merasakan sedikit luka di dada.
Semua berjalan seperti adanya. Hingga sepuluh hari kemudian, tanpa sempat menampakkan punggung, Ling-ling pergi. Menghilang begitu saja seperti terisap gelombang magnet di segitiga bermuda. Tak ada sepatah kata pun terlontar. Dia pergi, membawa sempalan sayapku yang berhasil dia patahkan dua-duanya, bersama dengan kemunculan tanya yang menggantung dalam bayang-bayang. Seperti setan.
***
Cafe Bona,
Ling ling mengeratkan pegangan cangkir. Bibirnya berkedut, seperti ingin memuntahkan semua isi yang tertahan di dalamnya. Persis ketika dia selesai mengambil napas panjang, dia kembali bersuara.
“Maksud saya mengundangmu adalah untuk memberikan ini Chen..,” Tangannya gemetar saat mengeluarkan secarik kertas merah tebal dari dalam tas tangannya.
Aku mengernyit, namun langsung tersentak begitu menyadari kertas apa yang kuterima. Sebuah undangan pernikahan.
“Dia teman sekampus, seseorang yang telah dipilihkan nenek untukku. Maaf saya baru memberitahu sekarang,”
Aku menggigit bibir, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mendadak muncul. Tanganku mengepal, tanpa sadar meremas undangan yang diberikan Ling-ling.
“Kenapa?” Tanyaku disela napas yang naik turun.
“Hubungan kita tidak akan berhasil Chen...”
“Klise. Tiga tahun aku menunggu kabar darimu dengan hati carut-marut tak menentu. Dan apa yang aku terima sekarang? Surat undangan pernikahan dari orang yang dulu menggantungkan lamaranku. Kau pikir ‘hubungan kita yang tidak akan berhasil’ itu adalah sebuah alasan? Iya? Cih!”
Ling-ling menatapku tajam, “Mau sampai kapan kamu menutup mata dengan keadaan kita yang timpang sebelah Chen? Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana orang-orang melihat kita? Kamu yang selalu berkata dengan isyarat yang hanya saya saja yang mengerti.”
“Jadi ini semua karena kekuranganku?” Aku menggebrak meja. Membiarkan tembikar di depanku oleng.
“Ya. Sebab kamu bisu, dan tuli. Kamu takkan mendengar apa yang mereka gunjingkan di belakang kita Chen. Terlebih tentang keluargamu, dirimu sendiri. Bagaimana mungkin Ayah menerima seorang yang tak pernah terbuka dengan keluarganya. Bagaimana bisa ayah menerima seorang sarjana arsitek yang sekarang hanya jadi karyawan magang saja?” Ling- ling menunduk, tenggelam dalam sedu.
“Omong kosong!” Refleks, kedua tanganku menghajar cangkir di atas meja dalam sekali hempasan, telak.
***
Ling ling menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku, “Chen! jangan melamun!” serunya.
Aku terkesiap sejenak. Aih, ternyata hanya lamunan! Aku melempar cengiran pada Ling-ling, salah tingkah.
Ling-ling balas tersenyum, “Jadi bagaimana Chen?”
Aku mengernyit mendapati todongan pertayaannya yang tak kumengerti.
Seakan membaca pikiran, Ling-ling menunjuk pada undangan di tanganku. “Undangan pernikahan saya. Kamu akan datang, kan?” Mata sipitnya kini membulat, berharap.
Aku memperhatikan undangan merah di tanganku. Akhirnya, setelah tiga tahun berlalu aku mendapatkan jawaban itu. Tanpa sengaja sudut bibirku terangkat. Kilasan cerita masa lalu yang kualami tampak konyol sekarang. Bagaimana aku bisa berharap lebih pada sorang yang meninggalkanku tanpa satu kabar apa pun? Dan lagi, mengajak kembali bertemu demi secarik undangan pernikahan yang bukan denganku? Bodohnya aku yang, entah kenapa, masih sakit dengan kehadirannya.
Aku tersenyum, “Ling-ling, tampaknya aku harus pamit.” Kataku dengan isyarat tangan.
Ling ling mengernyit bingung. Coba mencerna gelagatku yang tak biasa.
Aku pamit tanpa menunggu persetujuan. Melenggang begitu saja seperti tanpa dosa. Tak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di benak Ling-ling atas bias yang kutimbulkan. Kini, aku telah memastikan jawaban atas tanya terbesarku dan akhirnya kuputuskan melepas seluruh sisa perasaan itu. Sepenuhnya.
_Sophero_
KOMENTAR