Ilustrasi |
Melalui internet, netizen telah membentuk beragam komunitas yang terkelompokkan berdasarkan hobi, ideologi, cita-cita, dan kesamaan-kesamaan lain yang terintegrasi dengan baik. Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram pun menjadi pilihan untuk mempersatukan kesamaan mereka hingga membentuk suatu komunitas besar yang terdiri dari jutaan anggota. Jika dilihat dari sudut pandang kuantitatif, jumlah pengguna platform media sosial melebihi jumlah penduduk suatu negara.
Pada kuarter kedua tahun 2016, Facebook merilis pertumbuhan penggunanya yang mencapai angka 1.7 miliar pengguna aktif. Diikuti oleh Whatsapp dan Messenger dengan pengguna mencapai satu miliar, sedangkan Instagram memiliki 500 juta pengguna aktif. Coba bandingkan dengan penduduk negara China yang mencapai 1.3 miliar, atau penduduk negara India yang berjumlah 1.2 miliar. Kedua negara itu masih kalah jumlah dibandingkan pengguna Facebook.
Jika dibuat 10 peringkat yang membandingkan jumlah pengguna platform media sosial dengan jumlah penduduk suatu negara, maka hanya ada tiga negara yang masuk dalam pemeringkatan tersebut. Sementara tujuh peringkat lainnya didominasi oleh platform media sosial. Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan oleh netizen. Jika Facebook menjadi sebuah negara, maka ia kan menjadi negara terbesar di dunia yang pernah ada.
Populasi penduduk negara di dunia dan jumlah pengguna platform media sosial |
Media sosial seperti menjelma menjadi negara kedua, tempat bagi netizen untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi. Apa yang tengah ramai diperbincangkan di media sosial, menjadi cerminan dari realitas yang terjadi di masyarakat. Media sosial telah menjadi indikator segala aspek kehidupan masyarakat, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga agama.
Dalam konteks kenegaraan, platform media sosial tak hanya menjadi perantara yang menghubungkan masyarakat dengan negara. Melainkan juga telah menjadi wadah bagi kelompok yang memiliki sistem tersendiri. Kelompok tersebut disatukan oleh visi, misi, dan ideologi yang sama. Memiliki tokoh panutan yang sama, serta memiliki identitas dan peraturannya sendiri, mereka membentuk sebuah kelompok virtual yang homogen.
Pengguna platform media sosial akan terpetak-petakkan ke dalam kelompok virtual masing-masing yang sangat rentan terjadi konflik karena adanya rasa fanatik terhadap kelompoknya. Dalam skala kecil konflik hanya berupa debat kusir antarkelompok virtual yang pada titik tertentu akan berhenti dengan sendirinya. Sementara dalam skala besar, konflik virtual ini dapat memicu tersebarnya ujaran kebencian hingga memprovokasi netizen untuk melakukan tindakan nyata, turun ke lapangan.
Pengaruh netizen tidak bisa dipandang sebelah mata, pemerintah harus mengimbanginya dengan sistem e-government. Dengan demikian interaksi antara citizen dengan pemerintah serta netizen dengan e-government akan berjalan dengan seimbang. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang terjadi adalah netizen dengan platform media sosial yang digunakannya akan mampu menguasai kedaulatan sebuah negara. Hal semacam ini pernah dialami oleh negara-negara di Timur Tengah, netizen menggalang dukungan melalui penggiringan opini publik untuk menggulingkan penguasa yang dianggap diktator.
Lantas, akankah pesatnya pertumbuhan pengguna platform media sosial dapat mengancam kedaulatan sebuah negara? (Nashokha)
KOMENTAR