Malam itu sekitar pukul 20:00 WIB dengan sisa
semangat karena lelah beraktivitas kuliah, saya dan tiga kawan kru pers
mahasiswa IDEA bertolak menuju Medini. Di sana kami akan belajar sastra dalam
acara “Kemah Sastra 2” yang diadakan oleh Komunitas Lereng Medini (22/04). Nampaknya
keinginan kami untuk belajar sastra turut diamini oleh alam. Bulan menampakkan
dirinya dalam bentuk yang sempurna, tanpa ternoda awan setitikpun.
Di bawah terang bulan, kami meluncur menuju
Medini. Perlahan kami meninggalkan panasnya udara Ngaliyan dan mulai merasakan
hawa sejuk di kaki Gunung Ungaran. Sesampainya di perbukitan, gelap bertahta,
rumah-rumah penduduk mulai jarang. Kami tetap melaju hanya dipandu oleh lampu motor butut milik pemred
Ali.
Jalanan ke lereng Gunung Ungaran ini mulai tak
bisa dipilih, yang nampak hanyalah batu terjal, bukan aspal. Suasana cukup
mencekam bagai latar tempat di film horor. Akan tetapi, semua itu tak
meluruhkan semangat kami hingga pukul 21:15 WIB sampailah di tempat acara. Saat
itu, tubuhku tiba-tiba menggigil, aku merasa seperti masuk mesin pendingin.
Malam Pertama
Sesampainya di sana, terlihat puluhan wajah baru
yang belum kami kenal terlihat asyik berdiskusi, tentulah diskusi tentang
sastra. Tidak ingin ketinggalan diskusi kami langsung bergegas untuk bergabung
dalam forum. Seorang gadis mendatangi kami kemudian dia menyapa kami. “Mbak, dari UIN Walisongo yang tadi SMS akan datang
terlambat, ya?” Tanyanya, mungkin gadis itu panitia.
Kami duduk di tempat panitia dan langsung
mendapat suguhan teh hangat dari panitia, cukup untuk sekadar berkawan dengan
hawa dingin. Kemudian, karena kami tidak langsung mengikuti diskusi, terdengar pemateri
diskusi berkata “Penulis yang baik adalah penulis yang menuliskan sesuatu yang
dekat dengan diri”. Suara itu terdengar bersemangat. Saya bertanya kepada
panitia, “Pematerinya itu siapa, mas?”, dia menjawab “Oh, itu pak Ahmadun”.
Karena tidak mengikuti materi ini dari awal, saya
dan kawan-kawan berinisiatif meminta file materi, yang isinya begini, “Selain
lebih mudah untuk ditulis karena ada unsur kedekatan, mengangkat tema kampung
halaman akan membuat sebuah karya memiliki persoalan unik dari latar tempat dan
lingkungan sosial budayanya”.
Malam itu kala peserta lain sibuk mendengarkan
Ahmadun, saya melihat sosok laki-laki paruh baya bersarung dan berambut
berantakan mondar-mandir di ruang panitia dengan membawa buku bersampul potret
Franz Kafka. Aku penasaran dengan lelaki tersebut.
Kuberanikan diri untuk menyapanya, “Suka Kafka
ya, mas?” Ia menjawab sambil tersenyum, “Iya”. Kupinjam buku-buku yang ia bawa,
tidak hanya karya Kafka ternyata, karya Sigit Susanto Kesetrum Cinta juga dibawanya. Kutanya siapa namanya, sungguh malu
sekali aku saat itu, ternyata yang kuajak bicara adalah salah satu pemateri
kemah sastra.
Karena terlanjur malu, ya sudah, kuwawancara saja
sekalian di balik layar, semenatara peserta lain sedang sibuk bertanya pada
Ahmadun. Mas Sigit lalu bercerita sedikit tentang novel-novel yang ia bawa. Menurutnya
novel yang paling menarik perhaatiannya ialah Proses, ia menungkapkan
bahwa isi novel tersebut mirip sekali dengan hukum di Indonesia. “Di Indonesia,
ada orang yang ditangkap aparat tanpa tahu kesalahannya. Setelah dikeluarkan
dari penjara, ditangkap lagi, dipenjara lagi, begitu terus tanpa tahu di mana
kesalahannya,” jelas Sigit.
Malam semakin larut dan angin membawa dingin
sampai ke sukma. Tepat saat itulah peserta digiring ke kebun teh untuk menonton
teater EMKA dari Universitas Diponegoro (UNDIP). Di tengah gelap yang dihias cahaya lilin sebagai setting
latar, teater EMKA membuka pementasannya dengan persembahan musikalisasi puisi.
Seorang di dalam tenda membaca puisi diiringi musik sendu, hanya bayangannya
saja yang terlihat. Kami tak melihat wajah si pembaca puisi.
Usai musikalisasi puisi mereka berlakon. Meski
yang terlihat hanya bayangannya saja, di
tengah malam yang semakin dingin, Peserta dibuat panas dengan aksi para pemain
yang memerankan adegan ranjang. Cerita berkisah tentang seorang pelacur yang
beranak, lalu anaknya dibiarkan tumbuh tanpa perhatian sehingga pelacur itu
mati dibunuh anaknya. Usai menonton teater peserta bediskusi tentang teater
hingga pukul 01:00 WIB bersama Muda Wijaya.
Jangan Main-Main dengan Puisi
Di ruangan yang dulunya dipakai sebagai barak tentara, suasana pagi (23/04) Medini begitu terasa nuansa sastranya. Aku datang terlambat, dari kejauhan kulihat perempuan bersuara lantang berdiri sambil membentangkan tangannya. Ia sedang membaca puisi. Meski dingin dan kantuk masih menggelayuti, peserta terlihat sangat antusias mendeklamasikan puisi karya sastrawan Indonesia. Saking antusiasnya, bahkan ada yang berpuisi sampai berkali-kali.
Sembari menunggu Iman Budhi Santosa, peserta menikmati aksi sulap Sigit untuk anak-anak TK Medini. Riuh sekali pagi itu, tak hanya anak-anak yang gembira melihat sulap, peserta yang umumnya mahasiswa ikut tertawa melihat aksi ‘Sulap Eror’ itu.
Selesai aksi sulap, peserta menempati tenda polisi. Tenda ini berukuran paling besar di antara tenda-tenda lain yang digunakan untuk tidur peserta. Di sini pemandangan alam sekitar terlihat jelas. Kami menunggu pemateri yang paling difavoritkan banyak peserta, Iman B. Santosa.
Iman Budi Santosa (kiri sedang berdiri) tengah menyampaikan materinya |
Panasnya siang mulai merambahi tenda yang berwarna hitam. Kebun teh Medini pelan-pelan tampakkan panoramanya, hanya hijau seluas mata memandang. Iman B. Santosa akhirnya datang, beliau jauh-jauh datang dari Yogyakarta bersama kawan-kawan sastrawannya. Penyampaian materi sastra dari tokoh yang berusia 60-an ini menyulut nalar para peserta.
Peserta ditanya, tapi semuannya hanya diam. Bahkan alam pun seakan sedang khusyuk mendengar pelajarannya. Ada peserta yang menjawab, beliau sanggah. Tapi ketika tak ada yang merespon, ia mempertanyakan status kemahasiswaan kami. Serba salah, begitulah keadaan peserta siang itu.
Keadaan semakin runyam ketika beliau memberi pernyataan tentang surat al-Alaq: 1-5 yang menurutnya jelek jika dituliskan di kertas. Kerunyaman ini bertolak belakang dengan keindahan alam Medini yang semakin purna dengan nyanyian merdu burung-burung liar. Meski matahari sampai pada titik kulminasi, udara senantiasa segar dan nyaman bagai Semarang di kala pagi.
Meskipun mahasiswa Tafsir Hadits tak sepakat dengan Iman Santosa, akan tetapi Mbah Iman-panggilan dari para sastrawan untuk beliau- menyampaikan materi sastra dengan sangat baik. Beliau mengkritik kesalahan paradigma yang melekat pada sastra. Dengan rokok di tangan, beliau menghimbau para penulis untuk tidak hanya percaya pada pikirannya sendiri.
Penulis harus memperhatikan alam sekitar, dan mencari temuan-temuan baru dari alam. “Bukan menulis, bukan pula mengarang, tetapi mencipta. Kalian jangan lagi mengatakan mau menulis puisi, tapi mencipta puisi. Saya sangat tidak setuju ketika puisi hanya dibaca di depan umum dan dipertontonkan. Hal yang benar itu mengapresiasi puisi, jadi puisi bukanlah main-main,” kata beliau berapi-api.
Mengkritik Pemateri
Acara selanjutnya adalah bedah skripsi oleh Adefira Lestari, mahasiswi lulusan Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Peserta agaknya merasa bosan dengan pemateri tersebut, sangat bertolak belakang dengan pemateri sebelumnya. Ia hanya mengutarakan metode dan proses pembuatan skripsi. Saat itu, saya mendengar salah seorang peserta dari UIN Walisongo menyatakan kebosanannya.
"Aku kira bedah skripsinya bakalan keren, ternyata hanya curhatan pemateri tentang pembuatan skripsi. Mana nih sastranya, cuma bahas unsur intrinsik cerpen doang,” ujar peserta berkerudung biru itu.
Diberikannya materi bedah skripsi, menurut Mas Heri, salah seorang panitia sekaligus pemateri, untuk melihat perkembangan sastra di lingkup akademisi. “Jadi, syarat kelulusan bukan hanya membuat skripsi. Misalnya, bisa dengan membuat antologi puisi, antologi cerpen, atau novel,” ungkap pria bertubuh kurus itu.
Hawa dingin menyelinap usai bedah skripsi yang membosankan, peserta mulai kedinginan. Meski begitu, salah seorang peserta dari Universitas Semarang (USM) mengkritik habis-habisan karya Heri. Mula-mula ia menyanjung Heri, ia bilang kalau Heri adalah salah satu penulis favoritnya. Setelah itu ia kritik buku tersebut sampai bagian terdetilnya.
Kabut dari gunung tiba-tiba menyerbu, membuat putih seluruh kebun teh. Burung-burung nampak gelisah. Saat itu pukul 16.00 WIB. Titik-titik air jatuh dari langit ke bumi Medini yang permai. Peserta seketika bubar untuk menyelamatkan barang bawaan masing-masing. Padahal acara sedang ramai dihadiri komunitas penulis Ambarawa. Dari para penulis Ambarawa kami mendapat pelajaran bahwa semua orang bisa bersastra.
“Di buku antologi puisi Ambarawa, isinya bukan hanya dari kalangan penyair. Di buku ini ada penulis yang berasal dari tukang reparasi jam, tukang sayur, tentara, bahkan kolonel,” urai salah seorang dari komunitas penulis Ambarawa yang semua anggotanya memakai kaos biru.
“Kehebatan penulis dilihat dari kepandaiannya dalam mengatur waktu. Dunia tulis-menulis memerlukan etos kerja. Selain itu, dibutuhkan lingkungan dan teman yang mendukung untuk menunjang kreativitas kita,” kata pemateri selanjutnya, Setya Naka Andrian, penulis kelahiran Kendal yang juga seorang dosen UPGRIS.
Saat itu hujan mulai reda, tetapi hanya sebagian peserta yang hadir dalam acara tersebut. Padahal, waktu itu Heri CS sedang mengkritik karya Setya Naka Segenggam Puisi Perayaan Laut. Karena langit mulai berwarna gelap senja, peserta mulai berhamburan keluar tenda polisi. Wajah mereka terlihat lelah.
Malam Terakhir
Awal malam, sebelum kru IDEA menguras tenaga untuk materi selanjutnya. Kami mewawancarai Gus Tf. Sakai, sastrawan kelahiran Padang, Sumatera Barat. Orangnya botak, badannya kekar, akan tetapi ia adalah sosok yang ramah. Kami mewawancarai beliau sebelum makanan terhidang. Riuh sekali keadaan di sana. Orang-orang sibuk berdiskusi, ada pula yang tidur melepas penat, yang pasti peserta sedang menanti makan malam.
“Saya merasa dari awal peserta perlu diberi tahu sastra itu apa saja batasannya. Itu yang belum saya dapat dari acara ini,” terang Gus Tf, sastrawan yang setia mengikuti jalannya acara dari awal sampai akhir.
Bekas basah akibat hujan masih nampak di pelataran, membuat acara harus dialihkan dalam ruangan tertutup. Bau rokok dan hawa dingin mendominasi, apalagi usai makan nasi, mata tak bisa diajak kompromi. Meskipun Gus Tf sedang membaca puisi, peserta banyak yang tidur sambil duduk dan berdiskusi sendiri.
Dalam materinya Gus Tf menerangkan tentang posisi puisi yang sebenarnya. “Jika dianalogikan ke dalam garis lurus, di ujung kanan ada karya ilmiah di ujung kiri puisi. Nah, di tengah ada essay. Antara essay dengan puisi ada prosa seperti novel, cerpen. Sedangkan antara karya ilmiah dengan essay ada artikel dan opini,” jelasnya sambil berdiri.
F. Rahardi menutup materi sastra dengan topik ‘Perceraian antara Prosa dan Puisi’. Laki-laki yang tak bisa dipisahkan dengan kameranya itu menyatakan bahwa sebenarnya prosa yang menjadi puitis dan puisi yang cenderung memprosa. “Bukan karena perkawinan antara dua hal tersebut, melainkan sekedar ‘kerinduan’ akan masa kejayaan puisi epik masa lalu,” jelasnya.
Di penghujung materi peserta mulai kehilangan kesadarannya. Terdengar dengkur salah satu peserta yang tertidur di tengah-tengah materi. Hal tersebut membuat riang ruangan yang sebelumnya sepi.
Akhir kegiatan malam ‘Kemah Sastra 2’ terasa lebih semarak karena ada musikalisasi puisi dari komunitas Genting Jerami, Mijen. Akan tetapi, malam terakhir di kebun teh Medini tak seasyik malam pertama. Peserta tak tahu nanti tidur di mana. Tenda tempat mereka tidur basah terkena tampias hujan. Ruang utama terlalu sempit untuk dihuni oleh peserta yang berjumlah 110 orang, itu pun belum termasuk panitia. Akhirnya, sebagian besar peserta memutuskan untuk tidur di dalam masjid.
Ada kejadian lucu saat kru IDEA bangun fajar untuk shalat tahajjud. Lampu dan pintu masjid ditutup, agar hawa dingin tak masuk ruangan. Ketika Ziba-kru IDEA-shalat tahajjud, seluruh penginap yang ada di masjid bangun dan saling membangunkan. “Hei, Bangun-bangun sudah subuh,” Ziba mengaku kalau dia khawatir, orang-orang akan ikut-ikutan shalat ‘Subuh’. Untungnya, ta’mir masjid datang secepatnya, meluruskan kesalahpahaman.
Subuh di Medini (24/04) kala itu seperti nuansa desa kala Ramadhan. Sehabis shalat, peserta mengaji al Qur’an layaknya orang sedang tadarus Ramadhan. Dengung dari ayat-ayat suci menggema di masjid Medini. Hal tersebut merupakan kejadian langka, karena subuh-subuh sebelumnya, jarang ada warga yang mengaji di masjid.
Di tengah kabut yang masih menggantung dan dingin serupa di kutub, peserta diajak yoga oleh panitia di dalam ruangan. Badan yang penat dan pegal usai penggodokan materi selama dua hari dua malam, dipulihkan dengan relaksasi yoga. Meskipun di dalam ruangan, peserta masih bisa leluasa menggerakkan badan dengan bebas.
Purna sudah kegiatan kami di Medini. Kala mentari mulai cerahkan nuansa pagi yang berkabut. Burung-burung berkicau merdu seakan mengiringi kepergian kami. Dalam perjalanan pulang saat ditanya kawan-kawan. “Apa itu sastra?” sastra adalah aku. [Dilla]
KOMENTAR