Setiap makna text (bukan berarti selalu berupa tulisan) selalu mengalami perubahan makna sesuai semangat zamanya. Hegel membahasakannya sebagai akal dunia, akal ini menurutnya akan terus menuju pada hal yang lebih rasional.
Sekarang tidak ada lagi yang memanggil ayahnya lewat gentong ketika masih di sawah, sementara ada tamu yang menunggunya di rumah. Memanggil lewat gentong adalah text dimana akal dunia di waktu lalu percaya bahwa hal itu akan mampu membuat sang ayah merasakan suatu firasat agar segera pulang. Hal itu digantikan dengan telepon—yang menurut Hegel—yang semakin menuju ke arah yang lebih rasional.
Maka kita perlu perkenalan dengan metode hermeneutika. Metode ini adalah seni agar kita bisa lebih saling memahami atas setiap text yang berkelindan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi hermeneutika mengajarkan kita agar memahami text secara ontologi. Maksudnya, pertama kita harus melihat sesuatu berdasarkan siapa yang melakukan atau memproduksinya (author). Kedua, dunia yang menjadi ruang lingkup dimana text itu muncul.
Jika kita menggunakan akal dunia yang sekarang untuk mencoba memahami kejadian memanggil orang yang berada di tempat yang jauh melalui gentong, maka sesuai tradisi hermeneutika kita akan dianggap gagal memahami text secara ontologis.
Karena banyak orang yang tidak memahami seni penafsiran secara hermeneutika, wajar jika sering kita temukan perdebatan terhadap hal yang sebenarnya remeh temeh dan selalu terulang dari waktu ke waktu. Padahal, bisa saja sebenarnya hanya karena perbedaan cara pandang mereka dari sisi ontologis.
Lebih jauh, Hermeneutik juga mengajarkan kita melalui prinsip-prinsipnya yang memungkinkan kita bisa saling memahami dalam penafsiran text. Pertama kita harus tahu text aslinya. Kedua konteks historis lahirnya text tersebut. Ketiga kepentingan author memproduksi text. Keempat kepentingan pembaca menggunakan text. Terakhir tentang aplikasi dan implikasi hasil penafsiran.
Dalam penafsiran Al-Qur’an, kita harus tahu terlebih dahulu tulisan asli dan makna obyektif dari suatu ayat. Kemudian kita harus mengetahui konteks historis dimana ayat itu turun (asbabul nuzul). Kepentingan nabi menyampaikan ayat juga harus kita lihat, misal kita hubungkan dengan akal dunia pada zaman turunnya ayat. Kemudian kita juga harus mencari tahu kepentingan penafsir menggunakan ayat tersebut—misal ayat poligami—apakah penafsiranya sudah sesuai konteks historis turunya ayat dan seberapa relevan perbandingan akal dunia pada waktu ayat turun dengan akal dunia zaman sekarang. Setelah kita mencoba memahami hal tersebut kita juga harus mampu memahami aksi dan dampak dari pemahaman penafsiran tersebut.
Jika langkah-langkah tersebut kita gunakan dalam membaca text sosial-keagamaan sehari-hari, kita akan bisa memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat. Kita akan tahu kenapa alasan seseorang atau kelompok ingin mendirikan negara berdasarkan konsep khalifah misalnya. Kita bisa memahami apakah sebenarnya mereka sudah mampu menafsiri ayat sesuai tradisi hermenutika atau belum.
Dengan kemampuan pemahaman tafsir seperti ini, kita akan mampu berdialektika dengan akal dunia yang terus berkembang menuju arah rasionalitas.
Dalam konteks negara yang ingin mencegah terjadinya radikalisme (yang penyebab utamanya perbedaan pemaknaan tafsir agama), maka negara melalui institusi yang concern dibidang ini harus melakukan beberapa langkah pencegahan dini. Pertama, bekerjasama dengan lembaga yang memahami tafsir hermeneutik untuk mendiagnosa orang atau kelompok yang mencoba menyebarluaskan penafsiran yang tidak sesuai hermeneutika.
Bagi penulis, tafsir yang tidak melalui serangkaian metode yang ditawarkan hermeneutik berpotensi terhadap tidak relevanya terhadap akal dunia. Kedua penyelesaian masalah dengan jalur non litigasi jika menemukan orang atau kelompok yang dianggap menyebarkan tafsir menyimpang (berpotensi menjadi benih radikalisme).
Penyelesaian jalur non litigasi yang penulis sarankan adalah jalur dialog. Jalur ini akan memungkinkan kita memahami segala sesuatu yang menjadi basis setiap aksi seseorang, karena aksi sosial-keagamaan mereka pasti berdasarkan pemahaman penafsiran. Sudah saatnya masyarakat beragama di Indonesia mampu membedakan mana text dan mana konteks, mampu menafsirkan berdasarkan konteks historis dan relevansi akal dunia yang menyertainya diikuti relevansi akal dunia zaman sekarang.
Hal ini hanya bisa dilakukan jka masyarakat keaagamaan kita bisa saling memahami. Proses saling memahami itu hanya bisa melalui jalur diskusi. Penulis berharap radikalisasi agama dan perdebatan hal remeh temeh masalah sosial-keagamaan di Indonesia bisa teratasi dengan cara-cara yang penuh kedamaian. [Muqsith]
KOMENTAR