"...Mencerdaskan kehidupan bangsa" begitulah bunyi sepenggal kalimat pada aliena IV Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) yang disahkan tahun 1945. Itu bukan hanya sekadar kalimat isi sebuah naskah sakral, melainkan cita-cita bangsa Indonesia. Cita-cita untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya berpengetahuan bagi masyarakat Indonesia.
Dimana impian tersebut terus diusahakan sejak dahulu hingga saat ini. Jika menillik perjuangan zaman sebelum kemerdekaan, kita akan melihat betapa besar upaya yang dilakukan oleh para pejuang untuk membangun kesadaran berpengetahuan penduduk pribumi.
Salah satunya jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia. Ia berhasil mendirikan sekolah pertama di Indoensia yang diberi nama Taman Siswa, sebagai saksi kesungguhan dan keseriusannya mewujudkan bangsa dengan bekal pengetahuan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, memberikan bekal pengetahuan pada anak berarti memberikan bekal hidup untuk manusia. Hal ini yang kemudian perlu ditanamkan pada misi mengajar oleh para guru milenial saat ini. Mengingat guru bukan hanya sebatas profesi. Guru menjadi agen dan memiliki peranan penting untuk membawa misi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kesadaran mengajar bukan lagi sebuah tuntutan formalitas, melainkan sebuah pengabdian untuk kehidupan bangsa Indonesia. Mendidikan dan mencerdasakan anak bangsa yang tidak hanya dari segi pengetahuan saja, melainkan karakter dan juga mentalitas. Inilah alasan mengapa guru memiliki peran utama setelah orang tua.
Nasib Kesejahteraan Guru Milenial
Sebegitu pentingnya peran guru, sehingga banyak orang yang menginginkan profesi sebagai seorang guru. Namun impian untuk menjadi seorang guru tidak bisa ditampung secara masif oleh pemerintah. Karena saat ini ada pembatasan terhadap jumlah guru dengan jaminan kesejahteraan yang layak.
Sebagaimana yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makariem, sebanyak 60.000 guru harus menunggu selama 20 tahun untuk bisa mendapatakan jaminan kesejatheraan berupa tunjangan karena mereka harus disertifikasi terlebih dahulu.
Apalagi polemik kesejahteraan Guru berstatus non Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau guru honorer yang saat ini masih belum cukup. Bagaimana mereka hanya menerima nominal sebesar Rp 300.000 setiap bulannya. Apakah ini sebanding dengan yang mereka lakukan selama mengajar?
Belum lagi dengan pendapatan segitu, guru milenilas dihadapkan dengan kebutuhan dan realitas yang beragam saat ini. Meskipun demikian banyak generasi muda yang tetap memutuskan untuk menjadi seorang guru dengan pasang surut yang harus ia alami.
Sebagimana salah seorang guru milenial, Alfina Dwi Damayanti, menjadi seorang guru di usia 21 tahun. Ia mengajar TK swasta di Dusun Nasri, Kelurahan Sidogede, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Bersadarkan pengalamannya, banyak hal yang harus dihadapi dan pertimbangkan untuk memutuskan menjalankan misi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Gaji yang ia terima sebagai guru honorer hanya cukup untuk kebutuhan akomodasinya saja. Tidak mencukupi kebutuhan pengajaran yang lain. Hal ini kemudian memutuskan Alfina untuk membuka les privat agar mampu mencukupi kebutuhannya. Hal serupa juga banyak dialami oleh guru-guru milenial lainnya.
Upaya kesejateraan guru honorer rupaya telah menjadi perhatian pemerintah. Banyak program yang dilakukan seperti pengangkatan CPNS setiap tahunnya atau diadakanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun apakah upaya ini benar-benar menjadi solusi?
Sebanyak 42.070 dari 293.860 guru yang sudah dinyatakan lulus dalam penyeleksian PPPK dan sudah mengajar namun belum mendapatkan gaji. Disamping itu menurut data dari Kompas.id, sebanyak 193.954 guru yang lulus nilai ambang batas pada tahun 2021 masih harus menunggu informasi terkait persebaran penugasannya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kebutuhan tenaga pengajar disekolah-sekolah negeri yang dinilai masih kurang.
Hingga tahun 2022 kuota pengangkatannya hanya sebanyak 781.844, dimana pemerintah hanya mengajukan formasi sejumlah 319.618 atau sekitar 40,9 persen saja. Hal tersebut menambah beban bagi para guru honorer bahkan yang telah dinyatakan lulus nilai ambang batas, karena meskipun demikian mereka dintuntut untuk memikirkan penempatan yang masih belum jelas.
Polemik kesejahteraan guru hingga saat ini memang belum juga tuntas dan akan menjadi PR kita ke depannya. Di era sekarang seakan telah bertransfromasi, bahwasanya menjadi seorang guru tidak hanya dilihat dari aspek pengajaran saja melainkan juga kesejahteraan.
Pasalnya, banyak posisi yang harus diisi oleh seorang guru namun belum banyak disadari, sehingga penilaian mengenai peran guru dan apresiasi yang diberikan belum sebanding dengan usaha mereka mendukung terwujudnya cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun hal tersebut tidak lantas menghilangkan esensial guru untuk mewujudkan cita cita bangsa Indonesia , yakni "Mencerdasakan Kehidupan Bangsa". [Zaqia Ulfa]
KOMENTAR