Tanggal cantik telah tiba, saatnya bergembira. Berselancar di toko online, menyelami gelombang diskon, dan bergemuruh bersama barang-barang baru.
Sudah menjadi tradisi, di tanggal-tanggal unik (12.12, 11.11, 10.10, dll), banyak e-commerce seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dll membuka promo besar-besaran sebagai strategi marketingnya. Diskon yang ditawarkan pun beragam. Mulai dari potongan harga, gratis ongkos kirim (ongkir) hingga cashback dengan syarat yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Kegembiraan dan antusiasme muncul bukan hanya karena membayar murah ataupun mendapatkan barang baru. Melainkan juga karena euforia memilih barang belanjaan dan memilih barang kesukaan, serta bertaruh dengan waktu untuk mendapatkan diskon yang tepat.
Dalam survei Jejak Pendapat (Jakpat) yang dilakukan oleh katadata.co.id menyatakan, pada tahun 2020 lalu, menyatakan jika diskon dan promo menjadi pilihan utama dalam berbelanja melalui e-commerce. Data ini mengungkapkan pilihan oleh 90.9 persen dari jumlah 1.493 konsumen yang menjadi responden.
Antusiasme berbelanja online terus meningkat dari waktu ke waktu. Mengingat kebutuhan akan kepraktisan dan efisiensi yang juga meningkat. Orang lebih banyak memilih berbelanja dari aplikasi karena lebih menyingkat waktu dalam perjalanan dan tidak memerlukan antrean.
Puncak diskon yang berhasil menarik transaksi hingga Rp 9.1 triliun terjadi di tanggal 12.12 tahun 2019 lalu. Di mana data ini jauh lebih besar dibandingkan ketika Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) ketika pertama kali diadakan. Kala itu di tahun 2013, Harbornas hanya mampu meraup transaksi Rp 740 miliar.
Banyak dari perusahaan e-commerce yang menyisipkan strategi berbau emosional untuk menarik pelanggan. Dikutip dari yoursay.id, Shopee memiliki strategi pemasarannya yang selalu mengikuti tren di masyarakat. Memberikan promosi untuk pelanggan, jaminan harga termurah, hingga menggunakan brand ambasador "kesukaan" untuk mengiklankan platformnya.
Namun perlu kita ketahui, hal ini mengakibatkan pusaran budaya konsumeris yang semakin kuat ketika semakin banyak orang yang terjebak di dalam arus strategi tersebut. Semakin padatnya iklan dan diskon memperkuat konsumerisme komoditas di Indonesia, sehingga menimbulkan ketidaksadaran para konsumen akan nilai barang yang dibeli.
Ketika membeli, para konsumen tentunya memiliki pertimbangan. Entah dari manfaat barang hingga kemampuan keuangannya. Filusuf Pos modernisme asal Prancis, Jean Baudrillard memetakan pertimbangan tindakan transaksi yang selalu memiliki unsur nilai-manfaat dan nilai-tukar barang.
Selain itu, juga ada peranan pemitosan dari simbol-simbol penjualan barang yang membius para konsumen untuk tertari dan membelinya. Nilai dari simbol ini yang sering kali menarik pembeli untuk melakukan akad transaksi tanpa harus mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut. Tetapi lebih banyak tertarik dengan iklan dan penawaran keunikan barang.
Ada pertanyaan yang menarik ketika melihat fenomena konsumerisme. Seperti, apakah seorang konsumen membeli barang berdasarkan kebutuhan atau keinginannya?
Sayangnya, hari ini kita semakin banyak melihat orang-orang melakukan suatu tindakan tanpa mempertimbangkan nilai guna. Tetapi lebih pada pemenuhan hasrat keinginan. Perubahan gaya hidup, lingkungan baru, serta gairah untuk menjadi "sama" dengan orang kebanyakan menjadi faktor yang menciptakan fenomena konsumerisme.
Padahal, dalam asas melakukan tindakan kita dituntut untuk selalu menyadari dan memahami apa, kenapa, bagaimana, serta risiko yang muncul akibat dari keputusan tersebut. Sehingga kita bisa meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang merugikan di waktu setelah melakukan tindakan.
Namun, sering kali kita berada di titik bias akan kesadaran. Melakukan tindakan hanya berdasarkan persoalan "ingin". Sebagaimana fenomena 12.12 hari ini, sudahkah kita mempertimbangkan setiap tarian jemari yang melakukan "klik" di atas layar Smartphone? [Wahhab]
KOMENTAR