Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini, menimbulkan krisis kesehatan tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental. Menurut laporan Risiko Global 2021 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) bersama Zurich Insurance Group (Zurich) megatakan, 80 persen anak muda di seluruh dunia mengalami penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi Covid-19.
Tak terkecuali di Indonesia. Psikolog Inez Kristanti mengungkapkan, anak muda dengan rentang usia 18 sampai 34 tahun mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya di masa pandemi ini.
Gangguan mental yang menyerang masyarakat terutama anak muda, disebabkan oleh keterbatasan akses akibat pembatasan aktivitas. Selama pandemi Covid-19, kegiatan yang berhubungan dengan kontak sosial dibatasi dengan diberlakukannya sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Misalnya pembelajaran jarak jauh, work from home (WFH), karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga lockdown.
Pembatasan ini membuat kegiatan sosialisasi secara langsung dengan orang lain berkurang. Orang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah, dengan semua kegiatannya yang dialihkan secara virtual. Di masa produktif, banyak anak muda yang yang mengalami stres akibat keterbatasan akses dalam memanifestasikan rencana-rencana yang telah disusun.
Infodemik dan Serangan Kecemasan
Membludaknya informasi di tengah guncangan wabah juga menjadi salah satu faktor penyebab gangguan kesehatan selain virus Covid-19. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat dan melabeli 1.733 hoaks terkait Covid-19 dan vaksin selama pandemi berlangsung.
Kelebihan informasi baik fakta maupun hoax membuat kita bingung memilih informasi yang akurat dan kredibel. Ketika tidak diimbangi dengan dialektika dan penalaran terhadap informasi yang didapat, bisa saja memicu timbulnya disinformasi yang berpotensi seseorang mengalami bias pengetahuan. Selain itu, maraknya pemberitaan yang mengandung emosional pandemi seperti bahanya covid-19 maupun kasus yang terus meningkat, membuat seorang semakin jauh masuk dalam ruang ketakutan dan kecemasan.
Masifnya berada dalam kondisi emosional negatif seperti panik, takut dan cemas, bisa saja membuat seseorang terjebak dalam ruang delusi. Kungkungan ketakutan dan kecemasan yang menyelimuti kehidupan generasi muda di masa pandemi Covid-19, menjebak hidup dalam pikiran semata. Untuk melakukan sesuatu harus beradu dengan ketakutan dalam dirinya. Dimana hal ini justru membuat generasi muda semakin hidup dalam bayang-bayang pikirannya.
Hal ini terjadi bukan dalam kurun waktu yang singkat, sehingga membuat generasi mudah semakin kehilangan dirinya. Tidak mengerti apa yan harus dilakukan, bagaimana tujuan hidup, maupun tindakan apa yang mau dilakukan sekarang.
Aktualisasi Diri
Dahulu kita merepresentasikan pahlawan sebagai orang yang membela negara dengan berperang melawan penjajah. Bagaimana pahlawan ini selalu dilabeli sebagai orang yang dapat membantu orang yang sedang mengalami kesulitan. Pahlawan ialah orang yang bisa membawa perubahan untuk hidup orang banyak.
Namun dalam realitas pandemi Covid-19 yang sedang terjadi, urgensi perubahan justru muncul dari dalam diri setiap individu. Bagaimana kita harus terus mengupayakan diri berada dalam kesadaran untuk membaca krisis yang terjadi dan tetap mempertahankan hidup di dalamnya.
Ahli teori psikolog Carl Gustav Jung pernah mengatakan, “Kami tidak dapat mengubah apa pun kecuali kami menerimanya”. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwasanya langkah pertama yang perlu dilakuakan untuk menggugat stagnasi ialah dengan mengakui perlunya perubahan dalam cara hidup kita.
Bagaimana kita perlu menjajaki dunia realitas untuk menggugah kebebasan yang ada dalam diri kita. Kebebasan di sini bisa bermakna sebagai generasi muda yang bebas untuk berfikir, berpengetahuan, dan berkarya. Sebagaimana yang juga dijelaskan oleh psikolog Abraham Maslow, bahwasanya untuk melakukan transformasi, seseorang perlu mengaktualisasikan dirinya.
Aktualisasi diri ini dimulai dengan membangun kesadaran tentang tujuan hidup dan kesadaran tentang diri kita sendiri. Pasalnya menurut Maslow, setiap orang itu memiliki potensi yang sudah ada sejak lahir. Tinggal bagaimana kita berusaha mengupayakan untuk terus membangun dan menghidupkan potensi ini sehingga mampu menjadi bagian dari eksistensi diri.
Optimalisasi transformasi diri dengan membangkitkan dan mewujudkan produktivitas ini menjadi penting bagi generasi muda di masa sekarang. Mengingat generasi muda memikul berjuta harapan di masa depan sebagai generasi penerus yang membangun dan memajukan bangsa. Setiap generasi adalah pahlawan. Pahlawan selalu bermakna "yang mampu membawa perubahan". Tidak memandang siapa dan dari mana ia berasa, baik secara individu maupun kelompok.
Generasi muda saat ini, membawa mandat agent of change dan iron stock dalam bentuk dan cara yang berbeda. Karena medan dan kondisi krisisnya pun juga berbeda dengan yang terjadi di masa lalu. Generasi muda hari ini dituntut untuk mampu membawa perubahan terhadap dirinya sendiri lebih dahulu sebelum memaksakan diri untuk mengubah keadaan krisis secara lebih luas.
Karena ketika yang membawa perubahan saja masih belum bisa mengidentifikasi permasalahan dan membuat dirinya lebih "hidup", bagaiamana ia akan mentransfer energi perubahan itu kepada yang di luar dirinya? Kita masih dan akan selalu membutuhkan pengetahuan, kritisisme, mentalitas yang kuat, serta identitas diri yang berkualitas untuk mampu mengarungi peran sebagai "pahlawan". [Gita]
KOMENTAR