Laporan Risiko Global 2021 (Global Risks Report 2021) yang diterbitkan World Economic Forum (WEF) bersama Zurich Insurance Group (Zurich) mencatat 80 persen anak muda di seluruh dunia mengalami penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi. Kemudian di Indonesia sendiri, menurut data yang dihimpun oleh layanan telemedicine Halodoc menunjukkan konsultasi terkait kesehatan mental di platform tersebut meningkat hingga 300 persen selama pandemi.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Psikolog dan kandidat doktoral psikologi klinis University of New South Wales (UNSW) Sydney Ratih Arruum Listiyandini menyebut lebih dari 20 persen remaja mengalami peningkatan gejala depresi, kecemasan, dan kesepian.
Menurunya kondisi mental generasi muda di masa pandemi Covid-19, salah satunya diakibatkan oleh sistem pendidikan yang terbatas. Sejak Maret 2020, kebijakan belajar dari rumah mengakibatkan pembelajaran di ruang virtual kurang efektif dan interaktif. Selain itu pelajar juga lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bermain smartphone. Sehingga rentan terkena stres dan depresi.
Pembelajaran di masa pandemi terkesan berjalan satu arah melalui platform digital seperti Google Meet atau Google Classroom. Forum yang kurang persuasif antara guru dan murid menghambat proses transfer pengetahuan. Peserta didik hanya diberikan materi tanpa mengukur seberapa jauh pemahamannya. Lantaran sulitnya melakukan pengawasan, kontrol, dan tidak adanya ruang interaksi membuat aspek afektif dalam pembelajaran juga tidak tersentuh.
Keadaan demikian secara tidak langsung telah membuat para generasi penerus bangsa mengalami lunturnya jati diri, baik secara pengetahuan, karakter, maupun mental. Mereka terbelenggu sistem yang menjadikannya mengalami stagnasi sehingga sulit berkembang. Padahal merekalah yang akan menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Indonesia emas tahun 2045.
Kualitas hidup generasi muda menjadi hal yang sangat penting untuk dibangun. Mengingat infrastruktur sosial seperti Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan bertalenta menjadi fondasi fundamental bagi kehidupan suatu bangsa. Di balik mapanya infrastruktur fisik, perlu adanya roda penggerak yang mampu memberikan nyawa untuk menghidupkan sisi fungsionalnya. Kualitas secara intelektual maupun karakter menjadi kunci yang mampu membangun peradaban bangsa.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
"Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" menjadi salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat. Cerdas yang berarti sempurna perkembangan akal budinya dan sempurna pertumbuhan tubuhnya. Sekaligus menyangkut berbagai sendi kehidupan baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Amanat mencerdaskan kehidupan bangsa telah termaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal itu menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Sebagaimana yang sudah menjadi tujuan dari bangsa Indonesia, bahwasanya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sesuatu yang harus selalu diupayakan sepanjang masa. Meskipun berada dalam kondisi krisis pandemi Covid-19 yang membuat segala sesuatu menjadi terbatas. Pendidikan menjadi sokongan bagi generasi bangsa di tengah menurunnya jati diri.
Di tengah stagnasi sistem pendidikan akibat Covid-19, fungsi pendidikan tidak hanya dijalankan pada satu titik saja, yakni lembaga formal atau sekolah. Dibutuhkan kerja sama aktor lain seperti peran orang tua dan pengaruh lingkungan masyarakat. Sebagaiman filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.
Karena pelajar lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, orang tua memilki peran penting yang dapat mendukung proses belajar sang anak. Melalui penanaman pendidikan karakter dan membangun kembali motivasi belajar. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang edukatif dan menanamkan nilai-nilai moral untuk membangun karakter yang luhur.
Selain itu, antara lingkungan, orang tua dan anak, harus menciptakan hubungan keterikatan yang nyaman atau mindfulness sehingga dapat membantu meningkatkan perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Sebagaimana kata Alva Paramitha, School Psychologist Sekolah Global Sevilla, penerapan mindfulliving atau praktik rutin harian sederhana adalah salah satu cara menjaga kesehatan mental. Kemudian orangtua selalu memberi dukungan kepada anak dengan menghindari kata-kata negatif dan menjadi tempat berbagi anak.
Di sini pendidikan memiliki peranan penting dalam membangun, membentuk dan melahirkan generasi bangsa yang berkualitas. Tidak hanya dari sisi intelektualitas, melainkan dari segi karakter dan juga mental. Sebagaimana doktrin Ki Hadjar Dewantara yakni ngerti (mengerti), ngroso (merasa) lan nglakoni (melakukan). Di mana model pendidikan ini tidak hanya terfokus pada sisi intelektual atau kognitif saja, melainkan harus ada keseimbangan dengan segi afektif serta psikomotorik.
Untuk membentuk pengetahuan dan karakter dalam proses pendidikan, seseorang membutuhkan kemerdekaan. Sebagaimana fungsi pendidikan yakni membebaskan manusia dari jurang kebodohan. Bagaimana kita perlu mengubah paradigma pendidikan yang linier dan sistem pendidikan yang saat ini mendikotomi pengetahuan. Pelajar hanya difokuskan untuk belajar sesuai jurusannya dan melanjutkan jenjang karir sesuai yang dipelajari di bangku kuliah. Misalnya hanya seorang mahasiswa psikologi yang boleh belajar dan melanjutkan karir di bidang psikologi.
Dalam pendidikan seharusnya pelajar bebas belajar apapun untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya. Hal ini sebagai bekal untuk membangun peradaban masyarakat di masa depan. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian serta kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berjuang dalam kemajuan bangsa.
Wujudkan Nasionalisme
Pemuda yang sadar dan mau terbebas dari ketidaktahuan, pemuda yang membuka hati dan pikiranya untuk terus belajar dan membangun semangat dalam dirinya untuk terus menjadikannya lebih baik. Artinya mereka memilih untuk merdeka dari penjajahan kebodohan dan menjadi pemuda yang berpengetahuan akal budinya. Pengetahun ini menjadi tombak bagi generasi muda untuk percaya kepada kemampuanya sendiri dan mampu berdiri sendiri untuk mensejahterakan kehidupan bangsanya.
Di tengah arus globalisasi proses sosial antara negara berjalan begitu mudah, melalui media massa, pariwisata internasional, lembaga perdagangan dan industri internasional, serta lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dunia menjadi tanpa batas, mengakibatkan budaya asing seperti koean wave mudah masuk dan menjadi racun bagi generasi muda Indonesia.
K-pop, K-Drama, skincare, make-up, fashion, food dan lain sebagainya yang berbau Korea sudah dengan mudah kita dapati setiap harinya. Bagaimana kita melihat anak muda di sekeliling berpakaian ala Korea, berbahasa Korea, makan makana Korea hingga menikmati hiburan Korea. Tidak dapat dipungkiri mapanya teknologi membuat akses terhadap hal ini menjadi semakin mudah dan menggila.
Konsumsi berlebih tanpa adanya filterisasi mampu menimbulkan fanatisme hingga perselisihan. Jika kebudayaan asing ini telah masuk ke hati generasi kita akan menggerus eksistensi budaya lokal dan fatalnya kita kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Tetapi dengan bekal pengetahun, karakter dan mental ini mampu membentuk kepercayaan diri setiap individu dapat membangun bangsanya dan melalui penguatan karakter dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Bagaimana setiap individu mampu memaksimalkan minat dan pontensi dalam segala bidang yang ada dalam dirinya untuk membentuk identitas diri. Karena pada dasarnya rasa nasionalisme menimbulkan rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang diperlukan untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan yang akan mengalahkan kita.
Nasionalisme tidak ditimbulkan berdasarkan rasa emosional atau sentimentil melainkan rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. Rasa cinta ini lebar dan luas sehingga mampu memberikan tempat bagi sesuatu yang lain. Tidak membedakan, tidak memihak dan tidak menimbulkan perselisihan, melainkan menghargai kebahinekaan bangsa Indonesia. Pasalnya jika setiap individu mampu menasionalismekan dirinya, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar berkat putra-putrinya. Sebagaimana ungkapan Ir. Soekarno “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka”.
[Gita]
KOMENTAR