Atlantis, Benua idaman yang diklaim sebagai asal-usul seluruh peradaban dunia, dari barat hingga timur. Sebagaimana cerita Plato, Atlantis sangatlah maju untuk ukuran peradaban saat itu. Baik sektor ekonomi, sosial, maupun agraria. Apalagi secara geografis Atlantis dikelilingi oleh banyak gunung api. Hal ini yang menjadi alasan Atlantis begitu subur. Namun, lambat laun masyarakat semakin tak beradab dan tanpa moral. Hingga akhirnya ditenggelamkan karena bencana. Hilang tanpa jejak.
Banyak penelitian yang dikerahkan untuk membuktikan apa yang dikatakan Plato. Orang berusaha menggali informasi dimana letak Atlantis berada. Pada 1970 telah dilakukan pengeboran di suatu wilayah yang diasumsikan sebagai Atlantis yang hilang. Hasilnya, ditemukan semacam lukisan yang mirip seperti apa yang diceritakan Plato. Akan tetapi tetap saja ini belum bisa menjadi bukti kuat terkait keberadaan Atlantis.
Lalu, tahun 1990 seorang Theosophist, CW Leadbeater melakukan penelitian yang mengatakan bahwa Indonesia adalah benua Atlantis yang hilang. Selain itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hilman Natawijaya juga mengataan hal serupa. Alasannya hanya karena Indonesia terdapat Piramida Gunung Padang di Jawa Barat yang ditaksir berumur 13 ribu tahun silam. Selain itu, letak geografi Indonesia juga dikatakan mirip dengan dekripsi Plato.
Klaim penemuan Atlantis tidak hanya di Indonesia. Banyak wilayah di dunia yang pernah diklaim mirip seperti deskripsi Plato, termasuk daerah Mediterania. Penulis buku Atlantis: The Final Solution, Zia Abbas mengatakan dalam bukunya bahwa letak Atlantis berada di landas kontinen Laut Tiongkok Selatan, Sundalandia. Ini membuktikan bahwa deskripsi parsial dan karakter Atlantis memang banyak dimiliki oleh tempat di berbagai belahan dunia.
Adanya klaim dan narasi mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia, membuat masyarakat berbangga diri atau bahkan jumawa karena telah menjadi bagian dari Golden World. Fenomena ini dapat dilihat dari obrolan di lini masa dan di setiap kerumunan. Malahan, baru-baru ini menjadi trending Twitter. Saking asiknya menepuk dada dengan gagah, masyarakat tidak sadar bahwa dirinya terlena dengan dongeng yang belum diketahui kebenarannya tersebut.
Faktanya, Atlantis hanya bagian dari mitos Plato yang ditulis dalam buku Timaeus dan Kritias. Aristoteles juga mengatakan bahwa Atlantis yang hilang hanya sebatas cerita fiktif. Lalu, kenapa banyak kesamaan nama dan ciri otentifitas ? Herwig Gorgemanns dalam Wahrheit und Fiktion di Platons Atlantis-Erzählung mengatakan, Plato menuliskan peradaban Atlantis terinspirasi dari peradapan Mesir, catatan dari letusan Thera, Bangsa Laut invasi, atau Perang Troya, serta peradaban sekitarnya yang dulu memang ada dan nyata.
Karya ini seperti menjadi sebuah pesan bahwa dalam diri manusia itu terbesit cita cita (utopia), termasuk ide ideal tentang tatanan negara dan sistemnya. Selain itu, juga menyiratkan pesan bahwa adigang adigung adiguna adalah perbuatan imoral, yang menyebabkan Tuhan murka dengan menenggelamkan peradaban maju melalui gempa tektonik.
Indonesia yang diklaim sebagai "Atlantik yang hilang" ternyata juga terbantahkan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo berpendapat bahwa bukti adanya Atlantis di Indonesia tidak dapat dinalar dan cenderung bersifat cocokologi. Menurutnya, kalaupun memang Atlantis itu ada, tentu letaknya tidak jauh dari Laut Mediterania, di sekitar gunung api Santorini.
Jika memang Atlantis berada di Indonesia (di bawah laut Jawa dan Selat Sundaland), seharusnya tempat itu sekarang ini tidak bisa dilewati kapal apalagi menjadi jalur dagang. Karena isyarat Plato dalam bukunya, dijelaskan bahwa setelah Atlantis ditenggelamkan, wilayah tersebut tidak bisa dilewati oleh siapapun dan kapanpun.
Atlantis dan Hegemoni Doxa
“Kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan. Tetapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran,” Paul Joseph goebbels.
Informasi yang tersebar berulangkali dan terus dibagikan oleh masyarakat, sering berubah menjadi narasi yang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Media Sosial (medsos) menjadi medium paling besar dalam memerankan peran sebagai "penyebar informasi". Karena terlalu banyak informasi yang muncul di medsos, masyarakat menjadi mudah tertipu dengan apapun yang dibaca dan dilihat.
Tak terkecuali informasi terkait misteri Atlantis. Ketidaktahuan masyarakat dalam mengolah informasi, bisa begitu saja menggiring dan menciptakan wacana baru. Menimbulkan klaim terhadap kebenaran serta ilusi tentang kebenaran itu sendiri.
Dalam himpitan masyarakat post-truth, emosi dan keyakinan personal mengambil peran paling banyak dalam penentuan keputusan dan tindakan di dunia informasi. Fenomena "mencari Atlantis yang hilang", banyak memunculkan kelatahan masyarakat dalam memahami dan memaknai informasi yang tersebar. Terlampau bangga dengan teks yang sifatnya utopis.
Saking terlenanya, bahkan sampai melupakan realitas negara sendiri pada saat ini. Banyak PR yang harus diselesaikan untuk sampai pada bentuk negara yang ideal. Pendidikan, ekonomi, hukum, maupun sektor-sektor lain yang masih belum tertangani dengan baik. Dibanding mengkhayal sesuatu yang utopis dan fiktif, bukankah lebih baik bersama-sama mewujudkan cita-cita bersama?
Hiperealitas maupun paralogisitas akan terus ada ketika penerimaan informasi masih dikonsumsi sebagai doxa (suatu yang diterima dan diafirmasi begitu saja). Proses pemahaman menjadi penting untuk mencerna dan menalar informasi yang didapat.
Untuk mampu mengurai informasi, paling tidak kita harus membuka belenggu pikiran. Mengetahui bahwa dirinya tahu dan mengetahui bahwa dirinya tidak tahu. Plato dalam karyanya pernah menuliskan tentang bagaimana manusia mampu mencapai penalaran. Pertama, Epithumia. Pengetahuan yang hanya berorbit pada spektrum materealistik dan insting primordial. Manusia pada tataran ini, hanya menyinggung persoalan yang tampak (dhohiri). Sehingga segala apapun yang ia terima dan diyakini, ia klaim sebagai kebenaran.
Selanjunya, pengetahuan dalam ranah Thumos. Manusia sudah mulai menggunakan akal budinya. Sehingga ia bisa mengendalikan insting primordial-nya dan mulai berpikir analitis meskipun masih didasarkan pada rasa. Terakhir, Logosticon. Dimana pengetahuan manusia sudah menjadi subjek sentral yang tidak lagi diperbudak dan dikekang.
Keberhasilan manusia, lebih-lebih masyarakat, dalam mencapai tingkat logosticon serta tidak terpaku pada dunia Hiperealitas, butuh proses penalaran mendalam terhadap segala sesuatu yang ada. Pun, sama halnya dengan merealisasikan salah satu cita cita UUD 45, "mencerdaskan kehidupan bangsa", tanpa bayang-bayang angan utopis.
[Faidhumi]
KOMENTAR