
Berbicara mengenai Valentine, tentunya sebagian orang bersepakat bahwa itu adalah peringatan hari kasih sayang. Peringatan Hari Valentine seolah sudah menjadi budaya setiap tahunnya. Bagaimana tidak? Setiap tanggal 14 Februari, sebagian orang berlomba-lomba memperingati Hari Kasih Sayang.
Hal tersebut direpresentasikan ke dalam berbagai macam hal. Termasuk dengan memberikan hadiah, khususnya coklat dan bunga mawar. Coklat dan bunga mawar merah kiranya menjadi tren ketika Valentine tiba. Bunga mawar merah melambangkan kasih sayang dan cinta mendalam, sedangkan tren memberi coklat dipengaruhi bangsa Eropa, ketika mengungkapkan rasa kasih saya mereka cenderung memberikan sesuatu yang manis seperti coklat.
Tidak jarang pula Hari Valentine dipilih sebagai hari untuk menyatakan cinta kepada seseorang. Walau begitu, merayakan hari Valentine nampaknya sudah menjadi tren, khususnya di kalangan anak muda, bahkan dianggap cupu jika tidak merayakannya. Apalagi, ditambah dengan kebutuhan eksistensi di medsos. Mereka akan rela mengeluarkan budget demi sebuah unggahan di medsos.
Sebab itu, ketika Hari Valentine tiba, kita akan menjumpai berbagai macam postingan di media sosial (medsos). Mulai dari foto, video, hingga berita-berita. Isi kontennya pun sama, kalimat-kalimat, atau gambar-gambar yang merepresetasikan kasih sayang. Tidak sedikit pula yang mengupload foto berisi momen bersama teman, pacar, sahabat, dan keluarga. Bahkan jika kita memasuki twitter, akan menjumpai hastag tentang valentine, mulai ada yang pro hingga kontra.
Valentine menjadi budaya karena adanya hegemoni. Hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah Kekuasaan yang dimiliki satu kelompok sosial untuk mendominasi atas kelompok sosial yang lainnya. Valentine menjadi budaya global karena kelompok dominan mensosialisasikan sisi-sisi positif sehingga dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat pendukungnya. Pada saat yang sama, perayaan ini memberikan keuntungan pada kelompok kapitalis dalam mencari keuntungan, seperti produksi kartu ucapan, penjualan bunga, dan coklat.
Melihat dari sejarah penyebarannya hingga menjadi budaya semua aspek diatas sangat berkaitan, yaitu Diproduksinya kartu Valenitine atau ungkapan kasih sayang secara masal pada tahun 1847 di Amerika, oleh Esther A. Howland dari Worcester, Massachusetts. Dia mendapatkan ilham untuk memproduksikan kartu ini setelah menerima kartu Valentine yang diterima di Inggris dan merasa bahwa kegiatan ini sangat romantis dan memiliki nilai jual dan benar, orang-orang menerima dengan antusias adanya Hari Valentine.
Jika melihat sejarah mengapa Hari Valentine ada, kiranya masih simpang siur terkait hal tersebut. Terdapat dua versi mengenai lahirnya hari Valentine. Pertama, sejarah St. Valentinus dan Claudius II. Tanggal 14 Februari 278 Masehi, Valentinus, pendeta Roma dihukum mati karena melanggar perintah kaisar. Claudius II, kaisar Roma pada saat itu melarang prajuritnya untuk menikah agar lebih fokus pada peperangan, dan melarang para pendeta untuk menikahkan mereka. Valentinus menantang kebijakan itu dan diam-diam menikahkan prajurit yang ingin menikah. Kemudian Valentinus yang telah meninggal dinobatkan sebagai orang suci dan pengikutnya merayakan hari dimana dia meninggal untuk mengenang jasa Valentino.
Kedua, legenda gairah. Pada pertengahan bulan februari, masyarakat merayakan pernikahan Dewa Jupiter dan Dewi Juno atau yang lebih dikenal dengan Zeus dan Hera dan berharap untuk mendapatkan kesuburan. Dalam perayaan tersebut tidak terlepas dengan hal-hal yang berbau seks.
Karena adanya versi tersebut, makna Hari Valentine menjadi kabur. Hingga pada akhirnya orang bebas menginterpretasikan maknanya. Akhirnya, sebagian orang salah kaprah dalam memaknai Hari Valentine. Salah kaprah di sini kemudian menimbulkan kontroversi. Seperti, pada Valentine tahun 2019 kemarin terdapat kelompok tertentu yang menyatakan Valentine haram. Namun sebagian besar orang yang mengatakan haram hanya ikut-ikutan dan tanpa dasar.
Selain itu, terdapat pula kelompok yang saat dalam memperingati Valentine bentuknya tidak sesuai norma, misal melakukan seks bebas. Sebab itu, di Indonesia sendiri sebagian sekolah melarang siswa-siswinya memperingati Valentine agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
Di dalam Islam sendiri, terdapat pertentangan pula antar umatnya, mengenai perayaan Hari Valentine. Ada yang melarang umat muslim untuk merayakan, karena budaya Valentine dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dan khawatir seks bebas akan mempengaruhi kalangan muda.
Adapula yang masih taklid terhadap statement-statement pelabelan hukum terhadap valentine, tanpa mencari tahu informasinya terlebih dahulu. Contohnya, ketika mengucapkan selamat hari Valentine, merayakan dan sebagainya itu dilarang, orang-orang lebih dulu takut dicap kafir sebelum menilik lebih lanjut apa itu hari Valentine.
Selain itu Karena kontroversi ini, beberapa negara contohnya Palestina melarang perayaan hari Valentine, dan akan menangkap siapapun yang merayakannya. Di beberapa wilayah Indonesia juga melakukan hal yang sama seperti di Daerah Istimewa Aceh, Kaum muda disana sampai melakukan aksi demo agar hari Valentine di hilangkan saja, mereka berpikir bahwa hari ini lebih banyak mendatangkan mudarat ‘ hal-hal yang merugikan’ seperti yang menurunkan moral bangsa.
Berkaca hal di atas perdebatan mengenai hari Valentine kiranya tidak pernah usai. Masih ada kelompok-kelompok tertentu yang melarang adapula yang membolehkan. Akan tetapi, terpenting bukan soal keharaman atau kehalalannya. Melainkan, seberapa jauh ketika ingin memperingati suatu hal, orang mencari tahu informasinya terlebih dahulu dan mencari tahu nilai yang ada di dalamnya. Sehingga, suatu kegiatan yang sebenarnya sarat akan makna menjadi sebatas euforia atau bahkan seremonial belaka. [Alfi]
KOMENTAR