
Sebelum masuk dunia perkuliahan, saya tidak pernah terpikirkan jika ada status atau label yang membedakan dari mahasiswa. Saya pikir, mahasiswa tidak jauh berbeda seperti pelajar pada umunya. Mengikuti pelajaran di kelas, mengerjakan tugas dan kegiatan berorganisasi. Perbedaan paling menonjol itu dari segi penampilan, mahasiswa saat berkuliah tidak mengenakan seragam, layaknya pelajar lainnya.
Tetapi, setelah saya menjadi mahasiswa, saya baru mengetahui jika ada perbedaan label.
Pada awal-awal masa perkuliahan, saya disuguhkan dengan berbagai tawaran untuk mengikuti organisasi ektrakulikuler maupun dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Bergabung atau tidaknya itu pilihan dari individu masing-masing. Termasuk pilihan untuk menjadi mahasiswa "kupu-kupu" (kuliah pulang-kuliah pulang) atau menjadi mahasiswa aktivis.
Bagi para aktivis yang berkata kepada saya, saya diminta untuk agar tidak menjadi mahasiswa kupu-kupu. Karena nantinya saya tidak punya teman, tidak banyak ilmu, dan semacamnya.
Sedangkan mahasiswa lain yang saya temui dan tidak ikut organisasi juga berkata yang sebaliknya. Bahwa di dalam organisasi aktivis itu, saya hanya akan menghabiskan kegiatan yang tidak dapat meningkatkan nilai kuliah karena banyaknya acara. Selain itu, banyak pula organisasi yang di dalamnya hanya mencari anggota saja. Setelah masuk di dalamnya nanti akan ditemui kekecewaan.
Apa benar mahasiswa kupu-kupu kegiatanya hanya kuliah pulang begitu saja seterusnya? Sementara mahasiswa yang mengikuti organisasi selalu menjadi aktivis kampus?
Mahasiswa kupu-kupu, sejauh yang saya ketahui setelah menjadi mahasiswa, ternyata tidak hanya sekadar kuliah pulang saja. Banyak dari mereka yang juga lebih memilih untuk belajar di kos-kosannya. Mahasiswa kupu-kupu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pergi ke perpustakaan, belajar, membaca, mengerjakan tugas. Sementara mahasiswa aktivis, selalu menghabiskan waktunya untuk mengikuti kegiatan organisasinya.
Tentang nilai semester kuliah yang didapatkan, baik mahasiswa kupu-kupu maupun aktivis ternyata saat mengerjakan tugas seperti makalah dan presentasi, mereka yang hanya sekadar mereview dari buku saja. Soal keaktifan berdiskusi dan kemampuan keilmuan di dalam kelas ternyata hampir tidak ada bedanya.
Mahasiswa aktivis, yang digadang ia akan lebih pintar dari yang kupu-kupu, pada faktanya tidak semua dari mereka yang benar-benar mau belajar di dalam organisasinya. Ada beberapa dari mereka yang hanya sekadar ikut-ikutan saja, numpang selfie, ikut acara makan-makan tapi tidak mengikuti acara diskusi dan peningkatan kemampuan intelektualitasnya.
Di organisasi pula, tak jarang organisasi juga mati karena anggotanya yang tidak bisa mengembangkan organisasinya dan mengasah skill di dalamnya.
Mahasiswa kupu-kupu pun sama, dalam kegiatannya selain kuliah, banyak pula yang melakukan hal-hal sia-sia seperti halnya jalan-jalan dan lain sebagainya yang tidak mempengaruhi perkembangan dirinya selama kuliah.
Baik aktivis maupun mahasiswa kupu-kupu dalam hal akademik, sejauh yang saya ketahui, IP semester yang diperoleh juga sama saja. Lalu, saat keduanya sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, apa yang mebedakan dari keduanya?
Menjadi mahasiswa kupu-kupu atau aktivis tidak bisa diukur dari capaian nilai atau hal lain khususnya pelabelan ia aktivis atau tidak. Akan tetapi, sejauh mana selama ia kuliah terus mengambangkan pengetahuan dan skill yang dimiliki sebagai jalan atau bekal untuk masa depannya. Dan hal itu diperolah atas dasar niat dan kegigihan masing-masing untuk belajar dan maju.
Slogan kupu-kupu atau aktivis hanyalah slogan. Bukan sebuah gambaran martabat seorang mahasiswa. Mahasiswa bisa dikatakan berhasil adalah jika setelah lulus atau wisuda, ia memiliki banyak hal untuk kemajuan dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. [Gita]
KOMENTAR