gambar: https://deskgram.net/explore/tags/MDWalisongo |
Bapak-bapak birokrasi kampus menilai kinerja Sema selama ini tidak menunjukkan hasil maksimal. Ibaratnya, Sema itu "La yahya wa la yamut". Ngabisin dana, tapi tidak produktif.
Padahal, kampus telah menggelontorkan dana kepada Sema setiap tahunnya sebagai "modal" menggerakkan roda kepengurusan selama satu tahun. Namun fakta yang terjadi, Sema belum menampilkan capaian yang signifikan.
Dalam trias politika, kedudukan Sema itu sama seperti DPR. Ia dipilih langsung warga kampus dan didaulat sebagai anggota perwakilan mahasiswa.
Sema mempunyai tiga tugas pokok dalam menjalankan kerjanya: budgeting, controling dan legislasi. Tiga tugas pokok inilah yang harus dijalankan Sema selaku lembaga kemahasiswaan.
Sema memiliki wewenang untuk menampung aspirasi mahasiswa, mengawasi serta mengontrol kinerja dan kebijakan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema). Begitu juga kebijakan birokrasi kampus, baik di tingkat fakultas maupun universitas. Sema menjadi "garda" terdepan sebagai advokator dalam mengkritik lembaga yang diawasinya. Idealnya begitu.
Namun, penulis terkadang melihat Sema beralih fungsi menjadi dewan eksekutif. Di beberapa kesempatan, ia ikut terjun sebagai eksekutor suatu acara. Ada semacam bias fungsi Sema dalam hal ini. Bukannya mengawasi, malah terlibat di dalamnya.
Secara sepintas, apa yang dilakukan Sema itu baik. Namun esensinya justru menciderai fungsi Sema itu sendiri. Logikanya, orang akan sulit mengawasi dirinya sendiri. Jadi, menjaga jarak adalah langkah utama bersikap objektif Sema sebagai lembaga control.
Teman Sendiri
Sema yang menjadi perwakilan mahasiswa dipilih secara langsung lewat partai-partai yang ada. Di UIN Walisongo, ada dua partai yang selalu menduduki sebagian besar kursi Sema dan Dema, yakni PMD dan PPM.
Ketika pengurus Sema dan Dema berasal dari partai yang sama, ini akan melemahkan fungsi Sema secara kultural. Sebab, mereka yang menjabat anggota Sema atau Dema biasa berkumpul dan bersenda gurau bareng. "Ewoh" dan "sungkan" menjadi faktor utama tidak maksimalnya mengawasi kinerja eksekutif. Dalihnya, teman sendiri.
Di Faktultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHum), kinerja Dema periode 2018 sangat kurang maksimal. Selama kepengurusan tahun lalu, tidak ada capaian yang signifikan dari Dema FUHum. Namun, apakah ada teguran serius dari anggota Sema yang menjabat? Wallahu a'lam. Faktanya, sampai akhir kepengurusan Dema berakhir, tidak ada perubahan.
Selain itu, Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) jajaran lembaga eksekutif mahasiswa FUHum, dilaksanakan pasca Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa). Seharusnya, Sema menyelenggarakan LPJ lembaga eksekutif mahasiswa sebelum masa bakti selesai atau sebelum Pemilwa berlangsung.
Kurang berfungsinya Sema di UIN Walisongo bisa menjadi salah satu bukti "matinya" trias politika di lingkup civitas akademika UIN Walisongo. Penulis yakin anggota Dema dan Sema adalah aktivis kampus dan intelektual muda yang paham betul tentang trias politika, baik tugas dan wewenangnya.
Jangan sampai karena faktor ewoh kepada teman, nalar kebenaran dan keadilan tergadaikan. Bukankah Pram pernah mengatakan ‘Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Benar begitu?' [Kg]
KOMENTAR