Ilustrasi: IDEArt/Ryan |
Peraturan wajib lulus Test of English as a Foreign Language (TOEFL) dan Ikhtibar mi’yar al kafaah fii al lughoh al ‘arobiyyah (IMKA) yang diterapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semenjak 2012 lalu, mengalami banyak perubahan. Dalam Keputusan Rektor tentang Program Intensif Bahasa (PIB) untuk mahasiswa S1, pada Pasal 28 dan 29 menjelaskan bahwa sertifikat TOEFL dan IMKA merupakan syarat untuk mengikuti ujian Komprehensif, dengan standar kelulusan 400 untuk TOEFL dan 300 untuk IMKA. Namun, amendemen SK Rektor yang disahkan pada 10 Juni 2016, mengubah aturan TOEFL dan IMKA menjadi syarat Munaqosah.
Munculnya peraturan wajib lulus TOEFL-IMKA menjadi faktor penghambat mahasiswa lulus tepat waktu. Salah satunya dialami oleh mahasiswa angkatan 2013, Khoirotun. Ia terpaksa mengurungkan niatnya menjadi sarjana di semester delapan karena terkendala kelulusan TOEFL.
"Saya lebih menguasai bahasa Arab tapi lemah di bahasa Inggris. Mahasiswa IQ-nya kan nggak sama, ada yang ahli di bidang bahasa Arab ada juga yang hanya ahli di bidang bahasa Inggris," ucapnya (24/1/18).
Bahkan, kondisi demikian mengakibatkan satu angkatan di jurusannya tidak lulus pada semester delapan. Padahal kampus yang baru bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri pada tahun 2014 ini, menginstruksikan agar mahasiswanya lulus tepat waktu.
"Angkatan 2013 di jurusan saya tidak ada yang lulus tepat waktu karena masalah TOEFL-IMKA," ujar mahasiswi yang sudah mengikuti TOEFL sebanyak empat kali itu.
Sama halnya dengan mahasiswa angkatan 2014, Abdullah, ia juga mengeluhkan kendala bahasa yang menghambat kelulusannya. Ia menilai bahwa mahasiswa memiliki keahlianya masing-masing dalam bidang bahasa dan tidak dapat dipaksakan.
"Kadang kan kita bisa berbahasa Inggris tapi tdak bisa berbahasa Arab. Ada lagi yang bisa berbahasa Arab tidak bisa berbahasa Inggris. kalaupun sampai tes enam kali belum tentu bias lulus," ungkapnya (14/2/18). Di semester delapan ini, ia belum mampu lulus TOEFL setelah tiga kali mengikuti tes.
Beberapa keresahan mahasiswa tersebut, menjadi aspek penting bagi Redaksi untuk melakukan jajak pendapat, terkait problem TOEFL-IMKA yang menghambat kelulusan mahasiswa UIN Walisongo. Metode sistematic random sampling berdasarkan fakultas dan tahun angkatan secara proporsional digunakan untuk menentukan responden.
Jajak pendapat dilakukan pada bulan Juni hingga September 2017 di delapan fakultas UIN Walisongo, yakni Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kejuruan, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Psikologi dan Kesehatan, serta Fakultas Sains dan Teknologi. Dari delapan Fakultas tersebut, Redaksi mengambil sampel 150 mahasiswa tahun angkatan 2015, 2014, 2013, dan 2012 sebagai responden utama.
Terkait program TOEFL-IMKA yang dianggap dapat menghambat kelulusan, 50 persen responden menginginkan kelulusan TOEFL dan IMKA tidak dijadikan sebagai syarat pengajuan sidang komprehensif. Sedangkan 38,7 persen menyatakan sebaliknya dan 11,3 persen sisanya tidak menyatakan sikap terkait hal tersebut.
Wajar apabila banyak mahasiswa merasa resah terkait aturan tersebut, karena sosialisasi yang dilakukan belum dapat menjangkau seluruh kalangan. Dalam jajak pendapat didapatkan 52 persen responden merasa kampus belum melakukan sosialisasi terkait TOEFL-IMKA, sedangkan 48 persen menyatakan kampus sudah melakukan sosialisasi, baik melalui buku panduan, secara langsung ataupun melalui lembaga kemahasiswaan.
Selanjutnya, terhadap sosialisasi yang telah dilakukan pihak kampus, 85,3 persen responden menilai sosialisasi tersebut belum optimal. Hanya 10,7 persen yang menyatakan bahwa sosialisasi yang dilakukan kampus sudah optimal dan 4 persen menyatakan tidak optimal.
Problem yang Tidak Pernah Disadari
Banyak mahasiswa yang tidak mengetahui bahwasannya PPB UIN Walisongo tidak mematuhi aturan dan dapat dikatakan gagal dalam menjalankan aturan yang telah dibuatnya. Pada SK Rektor Tahun 2012 tentang PIB, pada Pasal 28 Ayat 5, 6 dan 7 serta Pasal 29 Ayat 5, 6 dan 7 dijelaskan, mahasiswa dapat melakukan tes TOEFL dan IMKA paling lambat pada semester enam. Mahasiswa yang belum lulus pada tes pertama, diberi kesempatan satu kali untuk mengulang dalam jangka dua minggu untuk TOEFL dan satu minggu untuk IMKA. Jika mahasiswa belum mampu mencapai skor yang telah ditetapkan, mereka wajib untuk mengikuti kursus di PPB UIN Walisongo.
Nyatanya, mahasiswa masih mengeluh karena terkendala kelulusan TOEFL dan IMKA hingga melampaui batas delapan semester. Waktu pelaksanaan tes juga menjadi permasalahan menahun, mahasiswa harus menunggu hingga berbulan-bulan untuk mengikuti satu kali tes.
Perubahan dilakukan pada SK Rektor tahun 2016 pada pasal 25 dan 24. Semula mahasiswa dijanjikan dapat mengulang tes ketika belum lulus dalam jangka satu hingga dua minggu, kini diperpanjang menjadi paling lambat satu bulan setelah tes pertama. Hal tersebut hanya sebatas aturan tertulis, tidak benar-benar terealisasi.
Beberapa pembaruan aturan kembali dilakukan, salah satunya pada sistem pendaftaran online yang diberlakukan pada akhir tahun 2017. Namun, hal tersebut belum mampu mempersingkat waktu tunggu untuk mengikuti tes, mahasiswa masih harus mengantre hingga empat bulan lamanya.
Kampus sebenarnya telah menyediakan Program Intensif Bahasa (PIB) sebagai mata kuliah wajib untuk meningkatkan kemampuan berbahasa asing mahasiswa. Program tersebut berupa mata kuliah Bahasa Arab I, II, III dan Bahasa Inggris I, II, III.
Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dirasakan 52 persen mahasiswa, bahwa PIB tidak membuat kemampuan berbahasa asing mereka menjadi lebih baik. Sedangkan, mahasiswa yang menilai kemampuan berbahasa asingnya lebih baik hanya 37,3 persen dan 10,7 persen mahasiswa tidak menjawab.
Pengajaran PIB juga dirancang agar mahasiswa dapat mengerjakan TOEFL-IMKA, hal tersebut sesuai Pasal 11 SK Rektor tentang PIB. Saat ditanya tentang tentang pengaruh PIB dalam mengerjakan TOEFL-MKA, 56 persen mahasiswa menjawab membantu, sedangkan 44 persen mahasiswa mengatakan program itu membantu mengerjakan TOEFL-IMKA.
Guna meningkatkan kemampuan berbahasa asing. 48 persen mahasiswa mengupayakan untuk belajar otodidak. Program kursus dari PPB kurang diminati mahasiswa, karena hanya 10 persen yang mengupayakannya. Sedangkan, 30,67 persen mahasiswa lebih berminat untuk les di luar kampus. Seperti yang dilakukan mahasiswa angkatan 2015, Firdaus, ia lebih memilih program kursus bahasa asing di Pare awal tahun 2018 ini.
"Ya orang juga kalu misalkan bobotnya yang di luar dengan yang di PPB itu sama, mungkin orang juga bakal milih di PPB karena bobot dari kualitas belajarnya," ujarnya (4/2/18). Kemudian, dari berbagai upaya yang dilakukan mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan bahasa asing, ada 6,67 persen mahasiswa yang mengaku tidak mengupayakan apapun dan 4,66 persen sisanya tidak menjawab.
Banyak mahasiswa menyoroti sertifikat TOEFL-IMKA yang diselenggarakan oleh PPB, karena hanya berlaku di UIN Walisongo. 41,33 persen mahasiswa menilai buruk kualitas sertifikat yang dikeluarkan oleh PPB. Selanjutnya ada 34,67 persen mahasiswa menilai bahwa sertifikat tersebut cukup baik kualitasnya dan hanya 5,33 persen mahasiswa yang menilai sertifikat tersebut baik. Sisanya, ada 18,67 persen mahasiswa tidak menjawab.
Berbeda dengan data di atas, Redaksi berhasil menghimpun data yang signifikan terkait bagaimana kualitas sertifikat tersebut seharusnya. 86,7 persen mahasiswa menjawab seharusnya sertifikat yang dikeluarkan PPB dapat berlaku umum, hanya 10 persen mahasiswa yang merasa pemberlakuan sertifikat cukup di lingkup UIN Walisongo. Sisanya 3,3 persen menyatakan tidak tahu. Menanggapi permasalahan itu, Khoirotun mempertanyakan kembali peraturan yang dinilai memberatkan tersebut.
"Kenapa harus lulus dengan syarat lulus TOEFL-IMKA, kalau memang ada persyaratan seperti itu, tiru dong Universitas lain, yang TOEFL-nya ketika dibawa di luar itu masih berlaku" pungkasnya.
Lalu, dari berbagai permasalahan yang muncul karena program bahasa yang diterapkan UIN Walisongo, apa yang dapat dilakukan oleh pihak kampus? Menanggapi pertanyaan tersebut, 39,3 persen mahasiswa UIN Walisongo menginginkan agar pihak kampus mau menindaklanjuti kritik dari mahasiswa. Kemudian, 34 persen mahasiswa menginginkan pihak kampus mengkaji ulang aturan yang telah diterapkan. Pilihan lain yang dapat dilakukan UIN Walisongo adalah dengan melakukan studi banding ke universitas lain sesuai dengan 20,7 persen jawaban mahasiswa dan 6 persen lainnya tidak menjawab.
Berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh mahasiswa perihal polemik program bahasa asing di UIN Walisongo tersebut, apakah UIN Walisongo yang mengklaim dirinya sebagai kampus riset itu akan cepat merespon berbagai persoalan tersebut?
)* Riset ini pernah dimuat di Majalah IDEA edisi 41 "Sesat Pikir Literasi Indonesia"
KOMENTAR